Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Pengaruh Besar Pramoedya Ananta Toer dalam 100 Tahun

Seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer dirayakan di Jakarta. Rencana penamaan Jalan Pramoedya di Blora ditolak Pemuda Pancasila.

16 Februari 2025 | 08.30 WIB

Pramoedya Ananta Toer di rumahnya kawasan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, 29 September 2005. Dok. Tempo/Ramdani
Perbesar
Pramoedya Ananta Toer di rumahnya kawasan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, 29 September 2005. Dok. Tempo/Ramdani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer dirayakan di Jakarta dan Blora.

  • Rencana penamaan Jalan Pramoedya di Blora ditolak Pemuda Pancasila.

  • Karya-karya Pramoedya juga mempengaruhi para aktivis hingga kini.

LAGU “Darah Juang” ciptaan aktivis John Tobing berkumandang di jalan lingkar selatan yang masih penuh batu dan tanah di sudut selatan Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada Sabtu siang, 8 Februari 2025. Lagu itu mengiringi lima perempuan yang mengibarkan bendera warna-warni yang diikat pada tongkat panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Aksi anggota komunitas Perempuan Rumah Juang Blora ini dilakukan sebagai dukungan terhadap rencana penamaan jalan itu dengan nama Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang lahir di daerah tersebut seratus tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Jalan sepanjang 1,7 kilometer itu baru dibangun sekitar tujuh tahun lalu dan menghubungkan daerah timur Kota Blora dengan kawasan Pasar Sidomakmur di Kecamatan Blora. Koordinator Rumah Juang Blora, Exi Wijaya, menyebut pemberian nama Pram—sapaan Pramoedya—untuk jalan itu merupakan bentuk penghormatan kepada pengarang penerima Hadiah Ramon Magsaysay pada 1995 tersebut atas jasanya di bidang sastra. Berkat Pram pula Kabupaten Blora makin dikenal di tingkat nasional hingga dunia. “Kami berharap Pram juga dikenang dengan nama jalan,” kata Exi.

Jalan ini masih terbilang sepi. Tak banyak orang yang melintasi jalan yang pembangunannya masih menyisakan lahan persawahan di samping kanan dan kirinya tersebut. Ada beberapa warung kopi yang buka di pinggir jalan. Sepi saat siang, warung-warung itu menjadi tempat kongko anak muda ketika malam. Sayangnya, jalan tersebut gelap lantaran fasilitas penerangan yang terbatas.

Rencana penamaan jalan dengan nama Pramoedya muncul setelah dia wafat di Jakarta pada 30 April 2006. Saat itu keluarga dan penggemar Pram sedang memperingati seribu hari wafatnya Pram di rumahnya di Jalan Sumbawa, Kelurahan Jetis, Kecamatan Blora. Dari diskusi dalam peringatan itu, muncul ide menjadikan “Pramoedya Ananta Toer” nama jalan di Blora. “Usul itu dari keluarga atas dorongan banyak pihak,” ucap Aditya Ananta Toer, cucu Pram. Salah satu pendorongnya adalah Soesilo Toer, adik Pram.

Pramoedya Ananta Toer, 9 September 1998. Dok. Tempo/Rully Kesuma

Gagasan tersebut tak berjalan mulus. Organisasi kemasyarakatan Pemuda Pancasila menolak nama Pram dijadikan nama jalan di Blora. Ketua Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Kabupaten Blora Munaji beralasan bahwa masih terdapat beberapa tokoh lain asal Blora yang lebih berhak dan layak diabadikan sebagai nama jalan. Misalnya, dia mencontohkan, Samin Surosentiko, pendiri ajaran Samin; Tirto Adhi Soerjo, pelopor pers modern yang diabadikan Pram dalam Sang Pemula; Adi Soemarmo, pahlawan penerbangan; mantan Menteri Pertahanan, Leonardus Benjamin Moerdani; eks Menteri Penerangan, Ali Moertopo; dan mantan Menteri Agama, Mukti Ali. “Saya lebih tertarik mengusulkan nama-nama ini daripada Pramoedya,” tutur Munaji.

Penolakan itu juga tertuang dalam sepuluh surat mereka yang ditujukan kepada Bupati Blora Arief Rohman. Dalam warkat tersebut mereka meminta Bupati mengkaji ulang sisi sejarah dan kontribusi tokoh dalam rencana pencantuman nama Pramoedya sebagai nama jalan di Blora.

Ketua Panitia Festival Blora Kick-Off Seabad Pramoedya Ananta Toer, Dalhar Muhammadun, setuju jika nama Pramoedya dijadikan nama jalan di Blora karena Pram termasuk tokoh teladan dan inspiratif. Namun Dalhar meminta Pemerintah Kabupaten Blora mencari regulasi yang kuat sebelum memutuskan pemberian nama itu karena sampai saat ini semua nama jalan di Blora belum mempunyai rujukan aturan penamaan jalan. “Artinya, belum banyak peraturan daerah mengenai mekanisme penamaan jalan yang kemudian dijadikan peraturan bupati atau surat keputusan bupati,” kata Ketua Dewan Kesenian Blora dan Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia Blora itu.

Pramoedya Ananta Toer ketika akan meninggalkan Pulau Buru setelah dibebaskan, 1979. Dok. Tempo/Putu Setia

Bupati Arief Rohman menyatakan penamaan jalan menggunakan nama Pram bisa menjadi bentuk penghormatan yang baik kepada sastrawan besar Tanah Air itu. Namun dia mengakui sampai saat ini mereka belum memiliki dasar hukum untuk urusan penamaan jalan. “Kami kaji lagi. Legalitas soal jalan ini belum ada,” ujar Arief pada Sabtu, 8 Februari 2025.

Arief menambahkan, saat ini Pemerintah Kabupaten dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Blora masih berkoordinasi untuk menyusun peraturan daerah tentang aturan penamaan jalan. Dia berharap upaya penghormatan kepada tokoh asli Blora itu bisa sejalan dengan mekanisme hukum.

Peresmian nama jalan itu seharusnya menjadi bagian dari perayaan seabad Pramoedya Ananta Toer yang digagas Pramoedya Ananta Toer Foundation bersama Komunitas Beranda Rakyat Garuda di Blora. Meskipun rencana itu batal, acara lain tetap berlangsung, seperti diskusi, pameran cetak ulang buku-buku Pram, pemutaran film dokumenter, pembacaan dramatik surat-surat Pram oleh siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Blora, konser musik “Anak Semua Bangsa”, dan pentas teater. Acara ini dibuka oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 6 Februari, hari ulang tahun Pram, dan dihadiri antara lain oleh pengajar Institut Kesenian Jakarta, Hilmar Farid, serta pematung Dolorosa Sinaga.

•••

LAGU “Darah Juang” juga bergema di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada hari yang sama. Lagu itu membuka acara Satu Abad Kelahiran Pramoedya Ananta Toer yang digagas sembilan organisasi, yakni Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia, Kesatuan Perjuangan Rakyat, Konfederasi Serikat Nasional, Serikat Pekerja Kampus, Sekolah Mahasiswa Progresif, Solidaritas.net, dan Koreksi.org. Sebagian besar yang hadir adalah anak muda. Hanya segelintir orang tua yang tampak.

Acara utamanya adalah pidato dan diskusi bersama Maxwell Ronald Lane atau Max Lane, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, dan penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Ada juga pentas musik, penampilan komika, dan bazar yang menjajakan beragam barang koleksi tentang Pram, dari buku, poster, hingga kaus. Pesertanya membeludak, melebihi kapasitas teater yang hanya 250 kursi. Namun panitia telah memasang layar yang menayangkan langsung acara di ruang teater untuk penonton di lobi.

Komika Nadia saat stand up comedy dalam peringatan satu abad kelahiran Pramoedya Ananta Toer di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 Februari 2025. Tempo/M Taufan Rengganis

Tawa membahana di ruang Teater Kecil saat komika Nadia Sarasati tampil. Perempuan berhijab itu memperkenalkan diri sebagai ibu rumah tangga yang kagum kepada Pram dan deretan karyanya. Dia menyatakan pekerjaan ibu rumah tangga masih dipandang sebelah mata hingga sekarang. “Ibu rumah tangga, orang yang kerjanya hampir 24 jam tapi kalau isi formulir yang dicentang kolom tidak bekerja,” katanya.

Nadia memuji Pram yang memperhatikan isu perjuangan perempuan sejak puluhan tahun silam. Dalam novel legendarisnya, Bumi Manusia, Pram menampilkan sosok hebat Nyai Ontosoroh, perempuan Jawa yang menjadi gundik seorang warga Belanda. Alih-alih pasrah menjadi istri tak resmi orang asing, ia malah belajar menjadi perempuan mandiri dan berpendidikan hingga paham akan urusan dagang. “Coba Nyai Ontosoroh hidup di zaman sekarang, pasti ia sudah diundang di podcast-podcast sebagai narasumber inspiratif,” tutur Nadia.

Dalam pidatonya, Max Lane menyebut Pram sebagai sastrawan yang mendukung emansipasi perempuan. Dia setuju jika kehadiran sosok Nyai Ontosoroh disebut sebagai cara cerdas Pram dalam menggambarkan perempuan Indonesia. Menurut dia, Pram mendapat inspirasi karakter Nyai Ontosoroh dari Raden Ajeng Kartini. Lane baru-baru ini menemukan kalimat-kalimat Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia yang mirip dengan potongan surat-surat Kartini.

Penampilan seni dalam peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer oleh komunitas anak muda bernama Perempuan Rumah Juang Blora di sebuah jalan di sudut selatan Kecamatan Blora Kota, 8 Februari 2025. Tempo/Widiatmiko

Salah satunya kalimat Nyai Ontosoroh yang kondang: “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki”. Lane mengungkapkan, semangat kalimat tersebut hampir satu tema dengan garis perjuangan Kartini. “Figur Nyai Ontosoroh banyak menginspirasi perempuan Indonesia,” ucap Lane, orang pertama yang menerjemahkan Tetralogi Pulau Buru, empat novel yang ditulis Pram selama ditahan di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, ke bahasa Inggris.

Lane mengaku senang bila sampai saat ini nama Pram masih dikenal dan dicintai oleh penikmat sastra di Indonesia. Bahkan buku Tetralogi Pulau Buru masih laris. Ini sungguh berbeda dengan di masa Orde Baru, ketika buku-buku Pram terlarang dibaca karena dianggap mengandung paham komunisme dan Marxisme-Leninisme. Namun, di tengah pelarangan itu, buku-buku Pram justru makin dicari. Tulisan-tulisan Pram menjadi bacaan mereka yang menentang pemerintah Orde Baru yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Diakui Lane, karya-karya Pram membawa semangat perlawanan terhadap penindasan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga merayakan satu abad kelahiran Pramoedya Ananta Toer dengan merilis lagu baru berjudul “Freedom Writer” bersama grup musik Usman and The Blackstones. Usman, vokalis band tersebut, mengatakan penulisan lagu itu terinspirasi kesaksian Pram yang merasakan betapa beratnya kehilangan kebebasan, keluarga, dan pekerjaan sebagai penulis tatkala menjadi tahanan politik di Pulau Buru. “Pramoedya adalah pengingat betapa pentingnya menulis dan berbicara tentang kebenaran,” ujar aktivis 48 tahun itu kepada Tempo, Rabu, 12 Februari 2025.

Indonesianis Max Lane memberikan kuliah umum dalam peringatan satu abad kelahiran Pramoedya Ananta Toer di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 Februari 2025. Tempo/M Taufan Rengganis

Usman berharap lagu itu bisa mengingatkan orang akan pentingnya kebebasan berekspresi sekaligus menjadi bentuk penghormatannya kepada Pram. Di mata Usman, Pram bukan sekadar sastrawan, melainkan juga pejuang hak asasi manusia. Dia pun berharap perayaan seratus tahun kelahiran Pram menjadi momentum bagi negara ini untuk membebaskan orang-orang yang dipenjara hanya karena ekspresi damai, termasuk mereka yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tuduhan penodaan agama, dan tudingan makar, juga kasus pornografi. Menurut data Amnesty International Indonesia, selama Agustus 2019-April 2024, terdapat 128 tahanan dari 82 kasus pelanggaran undang-undang tersebut di Tanah Air. “Kami akan terus menyuarakan pembebasan para tahanan nurani seperti yang pernah kami lakukan untuk Pram,” kata Usman.

Usman juga berharap peringatan satu abad kelahiran Pram bisa membuat anak-anak muda lebih mengenali dan menyelami karya-karya penulis itu. Anak muda, dia mengungkapkan, harus berani melanjutkan perjuangan Pram dengan bersuara lantang atas ketidakadilan yang dilakukan negara.

Menurut Usman, pada masa pergerakan mahasiswa melawan Orde Baru, karya Pram banyak mengilhami mahasiswa. Perjuangan Pram dengan tulisan yang membela rakyat tertindas dan membawa semangat kebebasan menjadi inspirasi pergerakan mahasiswa. “Intinya, Pram sangat mempengaruhi etos pergerakan mahasiswa, dari berpikir secara kritis, berani melawan, hingga mendobrak sistem,” tuturnya.

Seorang warga bersepeda melewati jalan lingkar selatan Kecamatan Blora Kota yang diusulkan diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Tempo/Widiatmiko

Max Lane mengatakan pengaruh Pram dan karyanya terhadap aktivis 1980-1990-an tidak hadir secara nyata, tapi memberi inspirasi. “Pram kan tidak bisa apa-apa. Dia di rumahnya di Utan Kayu. Kecuali mahasiswa itu datang untuk bertukar pikiran, yang lebih banyak membicarakan isi bukunya,” ucap Lane kepada Tempo, Ahad, 9 Februari 2025.

“Untuk mahasiswa yang kemudian menjadi aktivis, bukunya membangkitkan kepekaan terhadap sejarah. Orang mulai tertarik kepada sejarah Indonesia,” kata Lane. Dia yakin akan makin banyak skripsi tentang gerakan buruh dan kelompok kiri awal pada 1990-an itu.

Hal tersebut, menurut dia, disebabkan oleh adanya kontradiksi besar. “Propaganda antikomunis Orde Baru adalah propaganda paling kasar di dunia. Partai Komunis Indonesia dicap ateis, penyiksa. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menyiksa orang, orgi, dan semacamnya. Di sebagian besar negara di dunia tidak seperti itu. Mereka lebih lincah. Misalnya, orang komunis dianggap hanya materialistis, yang spiritual tidak dipedulikan, meskipun materialisme historis dalam Marxisme bukan begitu artinya. Tapi di Indonesia tidak. Hitam-putih. Komunis jahat, biadab,” ujarnya.

Propaganda itu berbenturan dengan kenyataan bahwa mata mahasiswa menjadi lebih terbuka setelah Bumi Manusia terbit. “Kalau orang baca Bumi Manusia, mana biadabnya? Katanya orang dibuang ke Pulau Buru karena biadab, tapi kenapa bukunya kayak gini? Kan, ada kontradiksi,” ucap Lane. “Orang mungkin mulai bertanya, kalau mereka bohong tentang itu, mungkin mereka bohong juga tentang banyak hal.”

Lane sering bertemu dengan para aktivis muda yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi, termasuk dalam aksi mahasiswa dan pelajar pada September 2019 yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang melemahkan lembaga antirasuah itu. Bahkan dalam demonstrasi itu ada anak sekolah menengah yang memakai kaus bergambar Tirto Adhi Soerjo.

“Mereka mendapat inspirasi nilai-nilai dari bukunya, nilai kemanusiaan, keadilan, perlawanan,” kata Lane. “Kesan saya, kaum muda Indonesia sekarang, kalau baca Pram, sangat terinspirasi. Tapi terinspirasi oleh apa di dalam bukunya dan kemudian akan melakukan apa, itu yang belum jelas.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Pengaruh Pram Setelah 100 Tahun

Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus