Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak polisi mengungkap penyebab kematian Akbar Alamsyah secara terbuka. Akbar merupakan salah satu korban kerusuhan pasca-demonstrasi pelajar di sekitar gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada 25 September lalu.
Sebelum meninggal, Akbar, 19 tahun, sempat koma dan menjalani perawatan di tiga rumah sakit, yakni RS Pelni Petamburan, RS Polri Kramat Jati, dan RSPAD Gatot Subroto. "Penyebab kematian Akbar harus dijelaskan secara transparan dan menyeluruh oleh Polri sebagai penanggung jawab keamanan pada saat aksi itu,” ujar Koordinator Kontras, Yati Andriyani, Jumat 11 Oktober 2019.
Yati menilai informasi yang diberikan polisi tentang kondisi Akbar selama ini hanya berupa pernyataan defensif, tak utuh, serta berubah-ubah. Dia merujuk kepada keterangan kronologis versi polisi tentang jatuh dari pagar di kawasan Senayan dan jatuh di antara massa yang kocar kacir di trotoar Slipi. Adapun surat penetapan tersangka diberikan ketika Akbar masih koma di rumah sakit.
Rosminah, ibu Akbar, menduga anaknya menjadi korban kekerasan. Sebab, tubuh Akbar babak belur, terutama di bagian wajahnya. Sang ibu tak mempercayai penjelasan polisi bahwa anaknya terluka karena jatuh ketika memanjat pagar. "Kalau jatuh dari pagar, kok mukanya bonyok, matanya lebam," ucap dia, usai pemakaman, Jumat.
Rosminah menuturkan, Akbar selama ini tinggal bersama neneknya di Kebayoran Lama. Pada malam terjadinya kerusuhan 25 September, Akbar pergi bersama dua temannya, sekitar pukul 23.00 WIB, dengan mengendarai sepeda motor. Meski telah diingatkan untuk tak keluar rumah, Akbar tetap pergi untuk menonton unjuk rasa pelajar yang berujung rusuh di sekitar gedung DPR.
Berdasarkan kesaksian teman Akbar, Rosminah menceritakan, ketiga remaja tanggung itu awalnya memarkir sepeda motor di kawasan Palmerah. Tiba-tiba, datang polisi dari arah belakang mereka. Karena takut, mereka berpencar melarikan diri. Satu teman Akbar lolos setelah kabur ke arah masjid. "Satu lagi sempat kena injak polisi, tapi berhasil kabur. Nah, anak saya hilang," kata Rosminah.
Keesokan harinya, dua teman Akbar mencari sahabatnya itu ke sejumlah tempat. Sebab, Akbar tak bisa dihubungi dan tak memberi kabar. Mereka lalu mendatangi rumah nenek Akbar. Ternyata Akbar belum pulang.
Akbar Alamsyah, korban meningggal dalam kerusuhan demonstrasi di DPR. Foto: Istimewa
Mendapat kabar anaknya hilang saat kerusuhan, Rosminah langsung mencari Akbar ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tapi sang ibu gagal menemukan anaknya. "Saya diminta cek ke Polres Jakarta Barat," ucap dia.
Di Polres Jakarta Barat, Rosminah menemukan nama Akbar dalam registrasi peserta unjuk rasa yang ditahan. Tapi sang ibu tak bisa bertemu dengan anaknya karena polisi tak mengizinkan. Rosminah hanya menitipkan makanan dan berniat kembali keesokan harinya.
Sepulang dari Polres Jakarta Barat, Rosminah justru mendapatkan kabar bahwa Akbar kritis dan dirawat di Rumah Sakit Pelni, Petamburan. Ia pun bergegas menuju rumah sakit itu. "Sampai sana, anak saya katanya sudah dibawa ke Rumah Sakit Polri," ucapnya.
Di RS Polri, Rosminah berhasil menemukan anaknya yang sudah menjalani operasi di bagian kepala. Sang ibu masih mengingat wajah anaknya yang penuh lebam; bibirnya bengkak hingga hidung dan kepala bagian belakangnya membesar.
Setelah beberapa hari dirawat di RS Polri, Akbar kemudian dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto. Alasannya, peralatan medis di RSPAD lebih lengkap untuk menangani pasien yang kritis. Akbar akhirnya meninggal pada Kamis, 10 Oktober, lalu.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Prabowo Yuwono, menepis kecurigaan bahwa Akbar menjadi korban kekerasan aparat. Menurut dia, Akbar ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di dekat gerbang gedung DPR, Kamis dinihari 26 September, itu.
"Menurut keterangan saksi, yang bersangkutan jatuh ketika menghindari kerusuhan dengan melompati pagar di depan gedung DPR," kata Argo. Meski begitu, menurut Argo, kepolisian akan menyelidiki penyebab luka di tubuh Akbar. "Nanti kita lihat hasilnya."
Argo juga membenarkan penerbitan surat penetapan tersangka untuk Akbar. Status tersangka itu, menurut dia, ditetapkan berdasarkan pemeriksaan tersangka lain. "Yang bersangkutan disebut juga ikut melempari polisi dengan batu dan bom molotov serta ikut merusak fasilitas publik." Dengan meninggalnya Akbar, menurut Argo, status tersangka itu juga dihapuskan.
Rosminah (kiri) menangis saat prosesi pemakaman anaknya yang menjadi korban demo ricuh, Akbar Alamsyah di Taman Pemakaman Umum (TPU) kawasan Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta, Jumat, 11 Oktober 2019. Akbar menjadi korban demo ricuh di DPR pada 25 September lalu. ANTARA
Kepolisian juga menyatakan tengah menyelidiki kasus kematian pengunjuk rasa lainnya. Tercatat lima orang tewas dalam rangkaian unjuk rasa penolakan atas pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah lainnya itu. Di Kendari, dua mahasiswa Universitas Haluoleo, Randy dan M. Yusuf Kardawi, tewas setelah unjuk rasa yang berlangsung ricuh. Di Jakarta, ada tiga orang korban tewas, yaitu Bagus Putra Mahendra, Akbar Alamsyah, dan Maulana Suryadi alias Yadi.
Lebih jauh, Kontras mendesak pemerintah membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki penanganan unjuk rasa di Jakarta dan di sejumlah daerah. "Sejak awal, kami mendukung adanya semacam tim independen," ujar Yati.
Menurut Yati, tim tersebut, antara lain, harus melibatkan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman RI, Komisi Kepolisian Nasional, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia. "Tim independen itu idealnya ada di bawah Presiden," ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini