Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Francisca Fanggidaej jadi buronan politik sejak G30S pecah di Jakarta.
Dia eksil selama 20 tahun di Cina sebelum mendapat suaka di Belanda.
Dia mengalami dua kali operasi militer pada 1948 dan 1965.
DIA tengah berada di kamar hotelnya di Santiago, Cile, pada 2 Oktober 1965 saat mendengar kabar tentang pecahnya Gerakan 30 September di Jakarta. Saat itu Francisca Casparina Fanggidaej meninggalkan rumahnya di Tebet, Jakarta; Supriyo, suaminya yang wartawan senior Antara; dan tujuh anaknya untuk menghadiri Kongres Organisasi Jurnalis Internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya jatuh ke lubang hitam. Saya teringat 1948. Di 1965, 17 tahun kemudian, saya bertanya, apakah sejarah berulang lagi?” tulisnya dalam sebuah catatan bertahun 2004 tentang peristiwa yang mengubah hidup dan masa depannya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Francisca adalah satu dari sedikit orang yang mengalami dua kali operasi militer untuk menghabisi komunisme di Indonesia. Keduanya memberinya penderitaan yang amat dalam. Ketika Peristiwa Madiun terjadi pada September 1948, ia sedang hamil muda anak pertamanya.
Pada 15 September tahun itu, rumah Gubernur Militer Surakarta Wikana di Solo, Jawa Tengah—tempat Francisca dan suami pertamanya, Sukarno, tinggal—dikepung massa penentang organisasi kemasyarakatan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Wikana adalah tokoh Pesindo dan Francisca pernah menjadi pemimpin organisasi itu.
Sore harinya, ketika situasi makin panas, Francisca melompati pagar halaman belakang. Bersama dua kawannya, ia kabur ke Cepu, Blora, Jawa Tengah, lalu ke Madiun, Jawa Timur. “Saya merasakan suasana yang mencekam. Saya sendiri tidak merasa panik. Ada kepercayaan yang membuat saya merasa tenang,” tulis Francisca.
Mereka akhirnya bergabung dengan rombongan Front Demokrasi Rakyat (FDR)—gabungan Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Pesindo, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Barisan Tani Indonesia, dan Sarekat Rakjat. Penduduk menyusuri desa, hutan, dan gunung di sepanjang kawasan Dungus, Madiun, selama dua bulan. Mereka sempat lolos dari kepungan Batalion Siliwangi, tapi kemudian tertangkap dan dijebloskan ke penjara di Solo.
Atas bantuan seorang sipir perempuan yang juga sedang hamil dan bersimpati kepadanya, kemudian Francisca dapat mengirim surat-surat pendek ke suaminya. Surat-menyurat terakhir mereka berlangsung pada 17 Desember 1948. “Kalau nanti aku bebas, kau juga bebas, dan anak kita sudah lahir, aku tak mau lagi berjuang. Mau menikmati menjadi istri dan ibu yang baik,” tulis Francisca saat itu.
Pada pagi hari 19 Desember, datang balasan dari suaminya. “Tanpa atau denganku, kuharapkan kau tetap meneruskan perjuanganmu,” tulis Sukarno. Itu adalah pesan terakhir yang diterima Francisca. Malam itu suaminya bersama 10 pemimpin FDR ditembak mati tentara.
Francisca Casparina Fanggidaej dalam sebuah forum pada 1966. Dok Pribadi via International Institute of Social History, Amsterdam
Ketika terjadi kebakaran di penjara, tahanan dipindahkan ke tempat lain. Di tengah jalan, ada kelompok pemuda yang membebaskan dan menyembunyikan Francisca dkk di sebuah rumah sakit Belanda. Di situlah putri pertamanya, Nilakandi Sri Luntowati, lahir dengan bantuan dokter Soemarno Sosroatmodjo, yang kemudian menjadi Gubernur Jakarta.
Pada 1965, kengerian serupa terulang. Saat Francisca mampir di Paris, Prancis, dalam perjalanan dari Cile ke Jakarta, koleganya meminta dia tidak naik pesawat. Dia sudah menjadi buron. Fotonya terpampang di koran-koran.
Setelah paspornya dicabut pada 1967, Francisca tinggal di Beijing, Cina, dan bekerja untuk organisasi jurnalis Asia-Afrika. Dia tinggal di sana selama 20 tahun tanpa pernah bisa berhubungan dengan anak-anaknya. Pada tahun-tahun pertama di Cina, Francisca menderita gangguan saraf. Ia berusaha agar tidak terus-menerus memikirkan rumah dan kerinduannya kepada buah hatinya.
Di Beijing, ia aktif melakukan kegiatan jurnalistik bersama eksil yang lain. Mereka menerbitkan publikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia serta beberapa buletin. Meskipun dianggap sebagai tamu dan diperlakukan dengan baik, mereka tak bisa keluar sembarangan dan dilarang berbaur dengan masyarakat setempat. Mereka juga menghadapi konflik internal karena benturan ideologi, pandangan politik, dan keinginan. Situasi ini juga dipengaruhi oleh dimulainya Revolusi Kebudayaan Proletar Besar, yang dikenal sebagai Revolusi Kebudayaan, yang dilancarkan Mao Tse-tung dan perpecahan Cina-Uni Soviet yang makin terasa.
Setelah Revolusi Kebudayaan selesai, pendulum politiknya bergerak lagi. Pada 1980-an sudah ada tanda-tanda bahwa Cina dan Indonesia akan memulihkan hubungan. Bersama dengan perubahan ini, makin banyak eksil yang meninggalkan Cina dan mencari tempat berlindung ke negara lain. Bagi Francisca, Belanda adalah pilihan yang aneh tapi paling realistis. “Aneh sebenarnya, negeri yang dulu saya lawan. Toh tetap saja saya memilih untuk pergi ke sini karena secara kultural yang paling dekat dengan saya. Terutama sastra Belanda,” tulisnya dalam sebuah catatan.
Alasan lain, dari Belanda Francisca berharap akan lebih mudah menghubungi anak-anaknya. Pada 13 Oktober 1985, Francisca dan tiga eksil lain mendarat di Bandar Udara Schiphol, Amsterdam, Belanda. Mereka menunggu giliran terakhir untuk melalui pemeriksaan imigrasi. “Kami pulang kemari untuk meminta suaka. Kami adalah buronan politik,” kata Francisca kepada petugas saat menyerahkan paspornya.
Mereka diinterogasi lama karena petugas imigrasi mengatakan bahwa paspor dan surat jalan mereka palsu. Namun akhirnya Francisca mendapatkan visa sementara dan baru bertahun-tahun kemudian memperoleh suaka kemanusiaan. Francisca mencatat pengalamannya ini kemudian.
Bulan-bulan pertama Francisca lalui dengan sangat berat. Biarpun lancar berbahasa Belanda dan sejak kecil mendapat pendidikan Belanda di Europeesche Lagere School dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs—sekolah dasar dan menengah zaman Hindia Belanda—ia sering merasa segan dan takut untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Ia merasa sangat asing di negeri barunya.
Berulang kali ia mempertanyakan perasaan-perasaannya. “Apa itu rasa rendah diri? Rasa tidak mempunyai hak atas hidup itu sendiri? Rasa seorang yang kalah? Yang terpukul? Saya tahu bahwa saya harus melawan. Saya harus melawan dengan justru berbuat yang saya segan atau takut melakukannya,” tulisnya dalam sebuah catatan.
Perlahan-lahan ia menata lagi kehidupannya di Zeist, pinggiran Kota Utrecht. Ia mendapat bantuan dari kawan-kawan eksilnya. Dari Darmini, salah satu teman dekatnya, ia belajar memasak. Ia belajar lagi menjalani kehidupan sehari-hari yang sangat berbeda di Belanda dibandingkan dengan di Cina.
Ia juga terus menulis dan menghadiri pertemuan demi pertemuan dengan kawan-kawan yang lain. Ia melanjutkan kegiatan politik dan aktivisme sembari menua di Negeri Kincir Angin. Ia segera bergabung dengan Komite Indonesia, organisasi yang didirikan Willem Frederik “Wim” Wertheim, sosiolog Belanda yang pertama kali mempertanyakan G-30-S versi Orde Baru, untuk mengadvokasi masalah kemanusiaan di Indonesia, termasuk peristiwa 1965. Banyak aktivis dan eksil Indonesia yang ikut di dalamnya.
“Untukku, Komite adalah tempat di mana orang-orang Indonesia dapat bekerja untuk tanah air dan bangsa dan untuk pembebasannya dari rezim. Ini adalah satu-satunya tempat hal itu bisa dilakukan. Saya tidak pernah melihatnya sebagai organisasi Belanda,” tulis Francisca.
Francisca aktif selama bertahun-tahun di sana dan memberikan berbagai ceramah serta mengisi diskusi di sejumlah organisasi di Belanda. Dia memberikan ceramah pertamanya untuk kelompok Maluku di Kota Assen, Belanda. Pada waktu itu sepuluh pemuda Maluku baru ditangkap karena dituduh menembak mobil polisi. Ia juga ikut dalam kampanye berbagai organisasi kemanusiaan di Belanda untuk Timor Timur ketika korban jiwa berjatuhan akibat operasi tentara Indonesia di sana.
Francisca Casparina Fanggidaej (lima dari kiri) dalam sebuah acara di Cina setelah ia tidak dapat kembali ke Indonesia pada 1966. Dok Pribadi via International Institute of Social History, Amsterdam
Sejarawan University of Melbourne, Australia, Katherine McGregor, mengatakan bahwa Francisca, seperti banyak perempuan dari kalangan politik kiri Indonesia, tidak takut mengkritik tatanan dan hierarki internasional, baik selama maupun setelah revolusi Indonesia. “Ini terutama dalam hal perjanjian diplomatik, berlanjutnya dominasi global atas kalangan kiri, serta ancaman militerisme. Ia juga kritis terhadap dimensi feodal dari beberapa aspek budaya Indonesia. Tapi saya juga ingin melihatnya melangkah lebih jauh dalam kritiknya terhadap gender,” tulis McGregor dalam sebuah artikelnya dalam buku Rethinking Histories of Indonesia, yang akan terbit tahun depan.
Francisca juga berkiprah dalam Yayasan Dian. Pada 1987, dia ikut membentuk Yayasan Dian bersama perempuan-perempuan eksil dan eks tahanan politik 1965, seperti Stasia Ave, Darmini Diran, Rusijati, dan Francisca C. Pattipilohy. Melalui Yayasan Dian, mereka bergerak dalam isu-isu kedudukan dan hak perempuan Indonesia dengan belajar dari sejarah dan aktif berkegiatan bersama organisasi-organisasi perempuan serta organisasi masyarakat Indonesia yang senasib di Belanda. Francisca pernah menyusun tulisan panjang tentang sejarah gerakan perempuan Indonesia selama 1945 hingga masa kini.
Pada ulang tahun ke-25 Yayasan Dian pada 2012, setahun sebelum tutup usia, Francisca masih menulis pesan di buklet peringatan ulang tahun itu. Di situ dia mengatakan bahwa ia ingin Dian terus bekerja sama dengan organisasi perempuan di Belanda dan Indonesia serta membantu menyingkap kejahatan kemanusiaan agar tidak terpisah dari situasi di Tanah Air. Selain Dian, banyak organisasi eksil tumbuh di Belanda ketika itu. Beberapa masih bertahan sampai hari ini, seperti Dian dan Persaudaraan. Francisca sendiri menjadi anggota aktif di sejumlah organisasi yang didirikan oleh atau terkait dengan eksil, seperti Persaudaraan, Stichting Azie Studie, dan Yayasan Sejarah Bangsa Indonesia.
Di Stichting Azie Studie atau Yayasan Studi Asia, Francisca dan para eksil lain menyelenggarakan diskusi; pendokumentasian; penelitian; serta publikasi mengenai isu demokrasi, politik, dan hak asasi manusia di kawasan Asia. Mereka juga bekerja sama dengan lembaga studi dan kampus di Belanda ataupun berhubungan dengan organisasi internasional.
Francisca aktif di berbagai bidang. Di politik, ia berperan dalam penyebaran kabar kondisi hak asasi manusia di Indonesia pada masa Orde Baru di dunia internasional. Ia juga peduli kepada isu perempuan dan penuh harapan terhadap orang muda. “Ia juga berperan dalam membuka hubungan dengan organisasi-organisasi Belanda,” kata Farida Ishaya, rekannya sesama eksil yang ikut membangun Yayasan Dian. Menurut Farida, Francisca mengalami banyak kesedihan, tapi itu tidak menghalangi cita-citanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Rika Theo (Amsterdam)