Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ikatan Dokter Indonesia menyoroti pungutan impor bahan baku obat dan alat kesehatan yang berlapis.
Malaysia dan Singapura mengenakan tarif pajak rendah untuk alat kesehatan dan impor bahan baku obat.
Pemerintah memberikan insentif untuk menekan biaya impor alat kesehatan untuk penanganan Covid-19,
JAKARTA — Tarif pajak impor serta bea masuk alat kesehatan dan bahan baku obat tengah menjadi sorotan. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi, menuturkan jenis pungutan dan pajak impor barang-barang tersebut berlapis sehingga beban biaya yang harus ditanggung rumah sakit ataupun pelaku usaha farmasi cukup besar.
“Ada proses di Bea-Cukai untuk membayar bea masuk, ada pajak impor, pajak pertambahan nilai (PPN), juga pajak penjualan atas produksi,” ujar Adib kepada Tempo, kemarin, 13 Maret 2023.
Pungutan bea masuk dikenakan Direktorat Jenderal Bea-Cukai atas kegiatan memasukkan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Tarifnya bervariasi, bergantung pada jenis barang dan peruntukannya, yang kemudian disesuaikan dengan harga barang atau nilai transaksi, asuransi, serta ongkos kirim barang.
Berikutnya adalah pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor barang dan atau jasa kena pajak yang dikenai tarif 11 persen dari nilai impor barang tersebut hingga PPh Pasal 22 impor yang berhubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang atau pungutan kepada wajib pajak yang melakukan kegiatan impor.
Petugas laboratorium memproduksi obat kanker di pabrik PT Sanbe Farma, Cimareme, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan Malaysia dan Singapura
Menurut Adib, kondisi tersebut berbeda dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, yang mengenakan tarif pajak rendah bahkan 0 persen untuk alat kesehatan dan impor bahan baku obat. Padahal tingkat impor bahan baku obat di Indonesia cukup tinggi setiap tahunnya. Lebih dari 90 persen bahan baku obat dipenuhi dari luar negeri. “Persoalan inilah yang menjadi masalah utama penyebab harga obat di Indonesia lebih tinggi,” ucapnya.
Bahan baku dan kemasan itu, kata Adib, menyumbang 35 persen dari harga obat yang dijual di pasaran. Sedangkan sisanya dipengaruhi oleh biaya marketing ataupun promosi serta keuntungan perusahaan farmasi. Menurut Adib, solusi utama untuk menekan harga obat di dalam negeri adalah menurunkan impor atau mengembangkan industri farmasi yang bisa memproduksi obat sendiri.
Adib mengatakan, hingga saat ini, pemerintah belum bisa memberikan solusi untuk menurunkan pajak ataupun mengembangkan industri farmasi yang bisa memproduksi obat sendiri. Jadi, harga obat jauh lebih tinggi dibanding di negara lain. Adapun obat yang banyak diburu di luar negeri karena harganya jauh lebih murah, antara lain, adalah obat kanker, autoimun, serta human immunodeficiency virus-acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS).
Tak berbeda jauh dari bahan baku obat, data Kementerian Kesehatan mencatat transaksi alat kesehatan di Indonesia, baik yang sudah jadi maupun yang bahan bakunya masih didominasi impor, pada periode 2019-2020 mencapai 88 persen. Sedangkan produk lokal hanya sekitar 12 persen.
Baca: Penyebab Orang Berobat ke Luar Negeri
Harga obat yang mahal disinyalir menjadi penyebab banyak warga Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri. Pada Senin pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyayangkan banyaknya masyarakat yang berobat ke luar negeri lantaran fasilitas layanan kesehatan di Indonesia sudah mumpuni. Menurut Jokowi, hamper dua juta warga Indonesia yang berobat ke luar negeri. Sebanyak 1 juta pasien memilih ke Malaysia dan 750 ribu ke Singapura.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Syahril, membenarkan bahwa harga sejumlah obat tertentu yang berkualitas lebih tinggi di dalam negeri. Hal itu terjadi lantaran pemerintah belum bisa memproduksinya dan adanya pajak impor bahan baku obat. Kemenkes pun telah meminta Kementerian Keuangan mengevaluasi pajak impor bahan baku dan produk kesehatan untuk menekan biaya produksi di dalam negeri. “Kami memang sudah mengusulkan pengurangan pajak. Jadi, beban pasien lebih berkurang,” ucapnya.
Direktur Jenderal Bea-Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, mengatakan usulan pengurangan beban bea masuk hingga tarif pajak impor akan dikoordinasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF). “Kami koordinasikan implementasinya dari kebijakan yang dipimpin BKF,” kata dia kepada Tempo.
Askolani menambahkan, pemerintah sebenarnya telah memberikan sejumlah insentif untuk menekan biaya impor, khususnya untuk kebutuhan bidang kesehatan pada masa pandemi. Impor alat kesehatan dalam kerangka penanganan Covid-19, misalnya, diberi fasilitas bea masuk. Pajak untuk komoditas obat, alat PCR, masker, oksigen, dan alat terapi pernapasan juga ditanggung pemerintah. Kebijakan ini diterapkan sejak 2020 dan masih terus berlanjut. “Pada Januari 2023, fasilitas perpajakan yang dimanfaatkan sebesar Rp 2,36 miliar dan pada Februari Rp 10,21 miliar,” ucapnya.
IMAM HAMDI | GHOIDA RAHMAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo