Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Samosir - Jauh sebelum hukum pidana dari Barat didatangkan bersamaan dengan kehadiran para misionaris di Sumatera Utara pada abad ke-19, masyarakat Desa Siallagan yang tinggal di timur laut Pulau Samosir telah memiliki cara untuk menyelesaikan kejahatan dan pelanggaran sesuai hukum adat. Raja Siallagan menjadi pelopor sistem peradilan pidana khas Batak Toba di desa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia membentuk sebuah peradilan untuk mengadili berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Gading Jansen Siallagan, keturunan Raja Siallagan ke-17 sekaligus pemuka adat setempat, menyebut bahwa sistem peradilan pidana khas Batak itu lahir karena kebiasaan masyarakat yang sering menggelar rapat. Raja Siallagan, jelas Gading, kerap menyelesaikan berbagai urusan seperti dari penentuan tanggal perkawinan, tata cara mengurus jenazah, hingga cara memutus perkara hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak mengasal, tidak tiba-tiba ada, pengadilan itu menunjukkan karakter orang Batak yang suka menyelesaikan masalah dengan berunding dan bermusyawarah," kata Gading saat ditemui di Desa Siallagan, Pindaraya, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Senin, 29 April 2024.
Pada 2019, Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama istrinya mengunjungi desa ini. Gading mengklaim kedatangan Jokowi berkaitan dengan rasa penasaran soal replika Batu Kursi Raja Siallagan yang disimpan di Museum Mahkamah Agung. Tak lama setelah itu, Jokowi memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, agar melakukan revitalisasi dan selesai pada 2022.
Pria yang bergelar insinyur ini menjelaskan ketika populasi penduduk meningkat dan permasalahan masyarakat makin kompleks, Raja Siallagan mencetuskan ide untuk mengumpulkan orang-orang bermasalah di dalam suatu pengadilan untuk diadili. Tempat itu dahulu termasuk ke dalam kompleks istana kerajaan dan kini disebut sebagai Batu Kursi Raja Siallagan. "Siapa pun yang berbuat salah akan disidangkan di istana," ujarnya.
Komposisi Peradilan Raja Siallagan
Gading memaparkan peradilan pidana yang diterapkan Raja Siallagan terdiri atas berbagai pihak. Persidangan berlangsung di bawah pohon hararia yang dikeramatkan.
Raja Siallagan berperan sebagai hakim dalam persidangan dengan menduduki kursi tunggal yang berlengan (ada sandaran untuk tangan). "Di sebelah kanan raja ada kursi panjang. Itu untuk keluarga raja," tutur Gading.
Batu Kursi Raja Siallagan di Desa Siallagan, Pindaraya, Kabupaten Samosir, Sumatera, Senin, 29 April 2024. Situs ini merupakan bukti sejarah keberadaan pengadilan yang dipimpin Raja Siallagan dalam memutuskan berbagai perkara. Sistem peradilan pidana khas Batak, termasuk pidana hukuman mati, lahir di tempat ini. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
Kemudian, ada sosok datuk atau dukun yang ikut serta dalam persidangan untuk memberi berkat pada persidangan. Dukun ini, jelas Gading, duduk di dekat patung di samping keluarga raja. "Di atas kursi yang paling kecil di hadapan raja, ada terdakwa yang diadili," ucapnya.
Selain itu, Gading menyampaikan ada pula kursi panjang tanpa lengan yang diperuntukkan bagi pengawal raja. Kursi itu terletak di belakang terdakwa.
Tak sampai di situ, Gading menerangkan terdapat lima kursi di sisi kiri Raja Siallagan. Masing-masing kursi itu nantinya akan ditempati oleh dua penasihat hukum korban, dua penasihat hukum terdakwa, dan satu penasihat hukum kerajaan. "Sekarang posisi lima orang itu dikenal sebagai pengacara. Jadi, tak heran jika bakat menjadi pengacara sudah mendarah daging bagi orang Batak," katanya.
Klasifikasi Tindak Pidana dan Hukum Acara ala Raja Siallagan
Gading mengatakan ada tiga jenis tindak pidana yang diakui oleh Raja Siallagan. Masing-masing dari jenis pidana itu menggunakan hukum acara yang berbeda.
Pertama, tindak pidana ringan, misalnya, mencuri. Gading menyebut Raja Siallagan dapat mengampuni kesalahan terdakwa jika ada tebusan empat kali lipat yang diberikan oleh terdakwa. "Apabila terdakwa mencuri satu kerbau, maka dia wajib menggantinya dengan empat kerbau. Satu kerbau untuk korban, tiga kerbau lain untuk raja," ujarnya mencontohkan.
Namun, Gading melanjutkan jika terdakwa tidak dapat mengganti barang curian, maka akan diberi hukuman untuk menjadi budak raja dengan jangka waktu sesuai kesepakatan kelima penasihat hukum. Gading kemudian menjelaskan soal tindak pidana umum yang meliputi pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan, dan perkelahian.
Terdakwa yang diputus bersalah akan dijatuhi hukuman penjara. Namun, sambung Gading, raja tak menentukan secara langsung berapa lama masa penjara. "Keputusan bukan di tangan raja, tapi berada di tangan kelima pengacara. Raja hanya mengesahkan hukuman," tuturnya.
Terakhir, Gading menyebut adanya tindak pidana serius atau berat, yakni makar seperti penghinaan terhadap harkat dan martabat Raja Siallagan. Dia mencontohkan perbuatan yang dapat dikategorikan dalam kasus ini seperti percobaan menyerang kerajaan, pengkhiatan terhadap raja, dan selingkuh dengan salah satu istri raja.
"Tidak ada sanksi lain selain hukuman mati. Hanya ada satu putusan: bunuh! penggal kepala," ucap Gading.
Saat ditanya spesifik soal kasus pidana korupsi, Gading menyebut Raja Siallagan akan mengkategorikannya ke dalam tindak pidana umum. "Namun, kalau kerugiannya merusak kerajaan, bisa saja dianggap menghina raja. Jadi, bisa dihukum mati," ujarnya.
Konsep Pemidanaan bagi Terpidana Mati
Gading mengatakan Raja Siallagan menjadikan bagian bawah rumahnya sebagai penjara bagi para terpidana hukuman mati. "Rumah raja adalah penjara bagi orang yang siap dibunuh," kata Gading.
Dalam tradisi Batak Toba, Gading menguraikan, rumah adat terdiri atas tiga tingkat: tingkat paling atas untuk penyimpanan, tingkat kedua untuk tempat tinggal, dan tingkat paling bawah diperuntukkan bagi hewan ternak. "Bagi Raja Siallagan, siapa pun yang merendahkan martabat raja dan kerajaan sudah dianggap binatang," ujarnya.
Raja Siallagan, kata Gading, juga akan bertanya kepada dukun tentang tanggal yang tepat sesuai penanggalan Batak, Maniti Ari, untuk menentukan kapan eksekusi mati dijatuhkan. Dukun akan bersemedi di bawah pohon keramat dan melakukan ritual.
Proses pemenjaraan di bawah rumah ini juga dilakukan dengan cara pemasungan. Jika terdakwa mati saat dipenjara, maka hukuman selesai. Namun, jika terdakwa masih hidup, maka dianggap punya ilmu hitam.
Proses Eksekusi Mati
Eksekusi hukuman mati berlangsung melalui sejumlah tahap. Pertama, dukun adat akan membaca kalender dan kitab Pustaha Laklak. Dukun akan memastikan apakah hari pemenggalan sudah tepat.
Gading melanjutkan, algojo akan merebahkan tubuh terpidana di atas sebuah batu besar dan memukulnya tiga kali dengan Tongkat Tunggal Panaluan. Menurut Gading, proses pemukulan itu ditujukan untuk melunturkan ilmu hitam terpidana sebelum dihukum mati.
Gading mengatakan algojo kemudian meletakkan leher terpidana di atas sandaran batu untuk memenggal kepalanya. Setelah itu, raja akan meminum darah dan jantung terpidana usai kepala terpidana disajikan. Raja juga turut menawarkan rakyatnya jika ada yang bersedia mencicip daging itu.
Gading Jansen Siallagan, keturunan Raja Siallagan ke-17, menerangkan sejarah Huta Siallagan yang terletak di timur laut Pulau Samosir, Senin, 29 April 2024. Dia menyebut sistem peradilan pidana khas Batak telah lahir sebelum masuknya sistem peradilan pidana dari Barat. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
Kedatangan Barat dan Kepunahan Kanibalisme
Gading mengatakan praktik kanibalisme yang dilakukan oleh masyarakat desanya di masa lalu merupakan sebuah ritual yang tak boleh didiskreditkan begitu saja. Menurut dia, ada alasan kultural yang melatarbelakangi.
"Namun, setelah misionaris dari Barat datang, sudah masuk Kekristenan, tidak ada lagi adat yang seperti itu," ujar Gading. Dia menyebut titik itu menjadi peralihan di mana hukum pidana modern menggantikan hukum pidana Batak.