Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cangkang Baru Pasal Perusak Lingkungan

Perpu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup. Kontradiktif dengan klaim perubahan iklim yang dijadikan alasan keterdesakan penerbitan Perpu.   

2 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Alat berat membuka akses jalan di lokasi segmen tiga pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 6 Februari 2022. ANTARA/Bayu Pratama S

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Kalangan pegiat lingkungan hidup mengkritik penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Aturan anyar ini dinilai sekadar cangkang baru bagi pasal-pasal berbahaya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja—yang lebih dikenal sebagai omnibus law Cipta Kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manajer Kampanye Hutan Walhi, Uli Arta Siagian, mengatakan substansi materi Perpu Cipta Kerja tak banyak berbeda dengan muatan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 35 omnibus law Cipta Kerja yang mengubah Undang-Undang Kehutanan, misalnya, praktis dipindahkan begitu saja dalam Perpu Cipta Kerja. “Tak ada hal yang lebih baik dalam perpu ini,” kata Uli kepada Tempo, Ahad, 1 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itu, Uli mempertanyakan dicantumkannya “perubahan iklim” sebagai dalih kegentingan yang memaksa dalam keputusan pemerintah mengubah UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perpu. “Alasan itu kontradiktif dengan isi Perpu yang sama bahayanya bagi lingkungan,” kata Uli.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meneken Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Perpu ini mencabut UU Cipta Kerja, yang dalam putusan MK pada November 2021 dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena cacat formil dan cacat prosedur. Langkah pemerintah mengubah UU Cipta Kerja lewat penerbitan Perpu itu menuai kritik banyak kalangan, termasuk para pakar hukum tata negara.

Greenpeace melakukan aksi damai satu tahun pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, berdiri di depan gedung DPR RI, Jakarta, 05 Oktober 2021. TEMPO/Magang/Dwi Nur A Y

Penerbitan Perpu dinilai justru mengulang kekeliruan dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang tak terbuka dan minim partisipasi publik. Syarat kegentingan memaksa, yang harus dipenuhi dalam penerbitan Perpu, juga diragukan.

Dalam Perpu Cipta Kerja, pemerintah mencantumkan tujuh alasan kegentingan memaksa. Lima poin alasan kegentingan memaksa tersebut, yang tercantum pada bagian "menimbang", sebenarnya mirip-mirip dengan isi pertimbangan UU Cipta Kerja. Dua alasan lainnya benar-benar baru, yakni untuk melaksanakan putusan MK dan karena adanya dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim, serta terganggunya rantai pasokan.

Alasan kegentingan berupa perubahan iklim itulah yang dipersoalkan Uli. Perubahan iklim akibat pelepasan emisi karbon, kata dia, memang nyata. Masalahnya, alasan kegentingan itu justru bertentangan dengan muatan Perpu. “Tidak akan mungkin meminimalkan efek gas rumah kaca ketika di saat bersamaan pemerintah menerbitkan kebijakan yang justru mengakomodasi ekspansi industri ekstraktif,” ujarnya.  

Uli mencontohkan, Perpu Cipta Kerja mengadopsi UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 18 Undang-Undang Kehutanan. Semula, sebelum direvisi dalam omnibus law, pasal tersebut mengatur ketentuan bagi pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan, minimal 30 persen, dari luas setiap daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau. UU Cipta Kerja—yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perpu Cipta Kerja—menghapus angka minimal 30 persen tersebut, untuk kemudian akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. “Jika begini, kita tetap tidak bisa berharap banyak untuk penyelamatan hutan yang tersisa di Indonesia,” kata Uli.  

Contoh lainnya, Perpu Cipta Kerja juga menyadur sepenuhnya Pasal 38 Undang-Undang Kehutanan versi perubahan UU Cipta Kerja. Mulanya, pasal ini berisi ketentuan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Pasal ini juga mengatur pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan oleh menteri untuk kepentingan pertambangan, yang harus mendapat persetujuan DPR.

UU Cipta Kerja, juga kini Perpu Cipta Kerja, mengubah kewenangan pemberian izin pinjam pakai itu, semula dari menteri menjadi pemerintah pusat. Ayat yang mensyaratkan adanya persetujuan DPR juga dihapus sehingga dikhawatirkan menutup akses publik terhadap informasi pemberian perizinan.

“Logika mengekstraksi sumber daya alam ini tidak akan sesuai dengan tindakan-tindakan mitigasi perubahan iklim,” kata Uli. “Perpu ini mencantumkan climate change sebagai alasan keterdesakan, tapi isinya justru akan membawa kita ke situasi yang lebih buruk lagi.”

Tetap Bermasalah

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, sependapat dengan Uli. Dia menilai pemerintah mencantumkan “perubahan iklim” hanya untuk memenuhi unsur kedaruratan pembentukan Perpu. “Isi Perpu bertolak belakang dengan poin pertimbangan itu,” ujarnya.

Asep mengatakan, jika perubahan iklim benar-benar dianggap sebagai masalah darurat, pemerintah semestinya merombak pasal-pasal UU Cipta Kerja yang berpotensi memperburuk krisis iklim. Nyatanya, kata dia, Perpu Cipta Kerja justru menyalin pasal-pasal UU Cipta Kerja yang sarat dengan kebijakan pemutihan terhadap pelanggaran di sektor kehutanan. “Pasal yang memangkas hak masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan juga dipertahankan,” kata Asep, merujuk pada perubahan Pasal 25 dan 26 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.   

Menurut Asep, tak adanya perubahan dalam substansi Perpu menunjukkan produk perundang-undangan yang baru ini hanya kedok untuk mempertahankan UU Cipta Kerja dari putusan MK. “Ini jalan pintas, dan ini pelanggaran konstitusi,” kata dia.  

Hal senada diutarakan Direktur Hukum Yayasan Auriga, Roni Saputra. Perubahan dalam Perpu, kata dia, hanya sebatas pada ketentuan peralihan dan penutup. Perubahan di bagian ini, kata dia, juga bermasalah lantaran menyatakan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tetap memberikan legitimasi terhadap pemberlakuan perizinan berusaha yang sudah diterbitkan sejak UU Cipta Kerja disahkan. "Semua peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja dianggap tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perpu," ujarnya. “Saya melihat Perpu ini hanya ingin memastikan bahwa UU Cipta Kerja yang dianggap inkonstitusional bersyarat kembali dapat dipakai dan dilaksanakan.”

ILONA ESTERINA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus