Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Digital

Mengenal Brian Acton, Pendiri WhatsApp yang Kini Jadi Bos Signal

Brian Acton memulai kiprahnya di Facebook ketika WhatsApp diakuisisi seharga US$ 19 miliar (Rp 250 triliun) pada tahun 2014.

14 Januari 2021 | 10.54 WIB

Pendiri WhatsApp Brian Acton. Kredit: WhatsApp/Recode
Perbesar
Pendiri WhatsApp Brian Acton. Kredit: WhatsApp/Recode

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Di balik aplikasi pesan WhatsApp dan pesaingnya yang kini semakin populer, Signal, ada satu orang yang sama, yaitu Brian Acton. Acton yang kini menjadi Executive Director Signal Foundation, mendirikan WhatsApp pada Februari 2009 bersama rekannya Jan Koum.

Baca:
Bos Signal: WhatsApp dan Signal 2 Aplikasi Pesan yang Berbeda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Acton memulai kiprahnya di Facebook ketika WhatsApp diakuisisi seharga US$ 19 miliar (Rp 250 triliun) pada tahun 2014. Dia memimpin bagian teknik secara internal untuk WhatsApp, dan seorang sumber yang dekat dengan perusahaan tersebut mengatakan bahwa dia adalah pendukung besar yang mendorong WhatsApp ke arah enkripsi, dan perannya saat itu tidak akan diisi karyawan lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, programer komputer ini mengumumkan kepergiannya ke rekan-rekannya dalam sebuah rapat besar WhatsApp di markas Facebook pada hari Selasa, 12 Septermber 2017. Dia mengirimkan berita tersebut ke halaman Facebooknya sore itu juga, seperti dikutip Recode, saat itu.

Yang menarik adalah, pria kelahiran 49 tahun lalu di Michigan, Amerika Serikat ini, sebelumnya pernah melamar di Facebook pada tahun 2009 setelah meninggalkan pekerjaan di Yahoo. Ironisnya, dia tidak diterima. Acton diterima sebagai karyawan ke-44 di Yahoo pada 1996.

Acton meninggalkan Facebook karena perbedaan seputar penggunaan data pelanggan dan iklan bertarget. "Saya sangat beruntung pada usia saya memiliki fleksibilitas untuk mengambil risiko baru dan fokus pada apa yang saya sukai," cuit Acton, saat itu di sebuah postingan Facebook.

Dia mengaku telah memutuskan untuk memulai sebuah usaha non-profit yang berfokus pada persinggungan nirlaba, teknologi dan komunikasi, yang kemungkinan adalah Signal Foundation. Ini adalah sesuatu yang dia pikirkan untuk sementara waktu, dan fokus untuk mengeksekusinya.

“Saya akan memiliki lebih banyak hal untuk dibagikan,” kata lulusan ilmu komputer Standford University itu.

Tidak jelas detail dari perusahaan non-profit yang dikelola Acton, tapi dia pasti memiliki banyak dana untuk memulainya saat itu. Forbes memperkirakan kekayaan bersih Acton sebesar US$ 6,5 miliar (Rp 85 triliun).

Kepergian Brian Acton terjadi saat WhatsApp, yang memiliki 1,3 miliar pengguna, sedang bersiap untuk menghasilkan sejumlah uang. Perusahaan ini mempekerjakan sejumlah posisi bisnis utama, dan sumber mengatakan bahwa WhatsApp sedang membangun beberapa produk yang akan membantu bisnis mengirim pesan dan berinteraksi dengan pelanggan yang menggunakan aplikasi ini.

Setahun setelah keluar dari Facebook, dia kerap memberikan kritikan terhadap raksasa teknologi garapan Mark Zuckerburg itu. Pada tahun 2018 itu dia menyatakan bahwa sudah waktunya bagi pengguna untuk meninggalkan Facebook, menyusul skandal baru dengan dugaan Facebook terlibat secara tidak langsung dalam dalam Pemilu Amerika tahun 2016.

Perusahaan data mining dan analytic Cambridge Analytica telah menyalahgunakan data pengguna Facebook yang melanggar pedoman dan ketentuan. Data tersebut memainkan peran besar dalam mempengaruhi pemilih pada Pemilu AS 2016, untuk mendukung kandidat Donald Trump.

Pada 2019, dia juga mengajak para pengguna Facebook untuk menghapus aplikasi berologo ‘f’ itu, dalam penampilannya sebagai pembicara tamu untuk kelas sarjana di almamaternya, Stanford. Acton mengkritik Facebook karena menghasilkan uang dengan memperdagangkan privasi penggunanya.

Mengutip Business Insider, Rabu, 13 Januari 2021, Acton kini menjabat sebagai Executive Director Signal Foundation, yayasan yang dia buat dengan CEO Moxie Marlinspike, menggunakan US$ 50 juta dari uangnya sendiri. Signal, pertama kali dibuat pada tahun 2014.

Aplikasi ini fokus pada privasi dan berjanji untuk tidak pernah menjual data pengguna atau menampilkan iklan dalam aplikasi. Menurutnya, Signal tidak akan menggantikan WhatsApp. “Kedua aplikasi ini memiliki tujuan yang berbeda,” ujar dia.

Acton yang juga pernah menjadi penguji produk Apple itu menyatakan bahwa dirinya tidak ingin melakukan semua hal yang dilakukan WhatsApp. Acton tidak menjelaskan detail bagian mana dari WhatsApp yang tidak ingin dia tiru.

“Saya berharap orang-orang mengandalkan Signal untuk berbicara dengan keluarga dan teman dekat sambil terus berbicara dengan orang lain di WhatsApp,” kata Acton.

Komentar Acton tersebut menanggapi WhatsApp yang mengumumkan akan mengubah persyaratan layanannya untuk memaksa pengguna membagikan beberapa data pribadi, termasuk nomor telepon dan lokasi, dengan Facebook. Pengguna ditetapkan akan kehilangan layanan chat dan panggilan mulai pada 8 Februari jika mereka tidak menyetujui perubahan tersebut. 

BUSINESS INSIDER | RECODE

Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus