Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Denpasar - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi secara bulanan atau month-to-month pada dua bulan pertama 2025. Deflasi tercatat sebesar 0,76 persen month-to-month pada Januari 2025 dan 0,48 persen month-to-month pada Februari 2025. Berdasarkan data BPS pada Februari tahun ini deflasi secara tahun (year on year) sebesar 0,09 persen, pertama kali terjadi sejak Maret 2000.
Tanda yang menunjukkan adanya anomali konsumsi rumah tangga dapat dilihat dari deflasi tersebut menandakan lesunya daya beli masyarakat. “Penurunan tersebut harus diperhatikan dan diantisipasi oleh pemerintah. Terlebih lagi saat ini pemerintah menjalankan kebijakan efisiensi anggaran yang dikhawatirkan dapat membawa multiplier efek penurunan pertumbuhan ekonomi,” kata dosen program studi ekonomi pembangunan Universitas Udayana Ida Ayu Meisthya Pratiwi kepada Tempo, Sabtu, 29 Maret 2025.
Menurut dia pemerintah perlu menerapkan kebijakan ekspansif untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Meisthya mengatakan bahwa penurunan konsumsi masyarakat bisa menjadi tantangan bagi pemerintahan ke depannya. Hal ini juga mengingat Presiden Prabowo Subianto berambisi mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada tahun ini.
Efisiensi yang Tidak Tepat
Hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen pada Februari 2025. Pemerintah perlu mencermati serta mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat.
Soal efisiensi, ia menyayangkan langkah pemerintah dalam merespons situasi ekonomi. Menurut dia alih-alih melakukan kebijakan ekspansif yang menggenjot konsumsi masyarakat ketika ekonomi lesu, pemerintah justru melakukan hal sebaliknya. “Memang sebenarnya efisiensi itu baik terutama dalam hal meningkatkan efektivitas belanja. Namun, mungkin hal ini kurang tepat dilakukan di saat kondisi ekonomi global yang sedang tidak stabil,” katanya.
Tak hanya Ramadan terjadinya deflasi di kuartal pertama tahun ini juga dipicu oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. “Kebijakan efisiensi anggaran dan kenaikan pajak barang mewah menjadi salah satu penyebab penurunan konsumsi masyarakat,” ucapnya.
Ia menjelaskan berdasarkan struktur ekonominya Indonesia cenderung dominan dipengaruhi sektor riil ketimbang sektor keuangan. Seharusnya kebijakan yang diambil memperhitungkan dampaknya bagi sektor riil.
Bukan Pertanda Baik
Meisthya penurunan daya beli yang berlarut-larut dapat mendorong Indonesia menuju krisis. “Kondisi deflasi ini sebenarnya bukan pertanda baik. Bahkan Bank Indonesia saja menargetkan inflasi 1,5 sampai 3,5 persen untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi," katanya
Deflasi juga identik dengan pengangguran. “Seperti kurva phillips yang menunjukkan trade-off antara inflasi dan jumlah pengangguran," ujarnya.
Meisthya menyebut pemerintah harus peka dengan kondisi ini. Ia juga menyoroti pentingnya mendorong investasi serta pengembangan sektor ekonomi potensial yang mengarah perkembangan sektor riil. Peninjauan kembali terhadap kebijakan-kebijakan yang diterbitkan pemerintah serta pengaruhnya terhadap kondisi ekonomi dalam negeri juga dipandang perlu untuk dilakukan.
Selain kebijakan ekonomi, pemerintah juga perlu memperhatikan kualitas kelembagaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini terutama faktor kualitas kelembagaan yang mendorong investasi asing maupun domestik.
Meskipun menerapkan efisiensi anggaran, pemerintah juga bisa merelaksasi pajak penghasilan. “Kalau sekarang kan, pajak tetap tinggi, anggaran diefisiensi, sehingga pasti akan berdampak ke konsumsi. Kebijakan moneter juga perlu mengimbangi kebijakan fiskal untuk menjaga stabilisasi nilai rupiah yang saat ini anjlok,” katanya.
Deflasi
Pada Kamis, 13 Maret 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah pelemahan daya beli masyarakat setelah Indonesia mengalami deflasi dua bulan berturut-turut pada awal 2025. Menurut dia deflasi disebabkan oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Meski Indonesia mengalami deflasi tahunan untuk yang pertama kali dalam 25 tahun terakhir, Sri Mulyani beranggapan pemerintah masih bisa menjaga tingkat inflasi dalam rentang aman. “Banyak yang memberikan interpretasi, ‘oh kita deflasi karena masyarakat lesu’, enggak juga,” kata Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa Indonesia terakhir kali mengalami deflasi secara tahunan hampir 25 tahun silam dengan tingkat deflasi 1,1 persen year-on-year.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara year-on-year telah terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,58 pada Februari 2024 menjadi 105,48 pada Februari 2025. “Menurut catatan BPS, deflasi year-on-year pernah terjadi pada bulan Maret 2000 dan disumbang atau didominasi oleh kelompok bahan makanan,“ kata Amalia dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin, 3 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ervana Trikarinaputri turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Laporan CORE: Ada Anomali pada Daya Beli Menjelang Hari Raya Idul Fitri 2025