Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut Indonesia membutuhkan pendanaan sekitar US$ 1 triliun untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Menurutnya, pendanaan itu menjadi hal krusial sekaligus menjadi tulang punggung transisi energi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Opsi pembiayaan yang mudah diakses dan terjangkau dapat mempercepat transisi rendah karbon secara global, meningkatkan penerapan teknologi hijau, menghentikan penggunaan aset padat emisi, dan mengoptimalkan portofolio aset energi,” kata Fabby melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 18 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun, menurut Fabby, salah satu negara yang potensial mendukung Indonesia memenuhi kebutuhan tersebut adalah Cina. Ia pun mengatakan Indonesia dan Cina dapat membentuk kemitraan pembiayaan transisi energi melalui event Belt and Road Forum yang digelar di Beijing, Cina, pada 17-18 Oktober 2023.
"Kemitraan ini perlu melibatkan lembaga keuangan, penyedia teknologi, dan pemerintah, sehingga dapat membuka lebih banyak lagi pembiayaan domestik, memacu inovasi, dan mendorong kemakmuran ekonomi bersama,” kata Fabby.
Apalagi, menurut Fabby, dari sisi teknologi, Cina memimpin dunia dalam pengembangan energi terbarukan terutama dalam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Sedangkan pada peta jalan dekarbonisasi sistem energi Indonesia untuk mencapai target bebas emisi pada 2050, kata Fabby, Indonesia memerlukan pemanfaatan energi surya melalui PLTS hingga 80 persen dari sistem energi di Indonesia.
Selanjutnya: Lebih lanjut, Manajer Program Transformasi Energi IESR....
Lebih lanjut, Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan berdasarkan kajian Deep Decarbonization IESR pada 2030, kapasitas energi terbarukan perlu mencapai 138 GW yang didominasi PLTS.
Di sisi lain, menurut Deon, CIna menguasai sekitar 90 persen kapasitas manufaktur panel surya global dan setengah dari kapasitas manufaktur turbin angin global. Oleh karena itu, potensi pasar energi terbarukan yang masif di Indonesia dapat dipenuhi oleh perusahaan Cina.
Di saat yang sama, ujar Deon, juga perlu terjadi pembangunan kapasitas manufaktur energi terbarukan serta transfer teknologi ke Indonesia.
"Kerja sama bilateral kedua negara dapat memfasilitasi dan mengakselerasi terwujudnya hal tersebut,”kata Deon.
Deon melanjutkan, Cina sudah aktif berinvestasi di sektor energi, industri dan infrastruktur di Indonesia. Menurutnya, hal itu menjadi peluang bagi Indonesia-Cina untuk memperkuat kerja sama dengan mengalihkan rencana investasi, sehingga ada perubahan investasi yang saat ini berpusat pada dukungan terhadap energi fosil menjadi pembangunan industri energi terbarukan.