Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Memiliki keturunan tentu menjadi salah satu keinginan utama pasangan yang baru menikah. Beberapa mungkin bisa mendapatkan momongan tidak lama setelah menikah. Lainnya, terkadang mengalami kesulitan untuk mendapatkan buah hati. Tidak jarang mereka mencari penanganan medis seperti inseminasi atau bayi tabung sampai ke luar negeri demi mendapatkan pelayanan terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional pada 2015, setidaknya ada 47 juta pasangan usia subuh di Indonesia. Dari jumlah tersebut, diketahui 10-15 persen di antaranya mengalami gangguan kesuburan alias infertilitas. Gangguan kesuburan merupakan sebuah kondisi ketika pasangan suami istri telah berhubungan intim secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi selama satu tahun namun, usaha itu belum berhasil menciptakan kehamilan.
Baca : Masih Minta Bayi Kembar Dalam Program Bayi Tabung? Waspada Risikonya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Chief Executice Officer Rumah Sakit Pondok Indah Group Yanwar Hadiyanto mengatakan data di Rumah Sakit Pondok Indah, rata-rata ada sekitar seribu pasien pertahun yang datang dengan keluhan kesulitan mendapatkan buah hati sebelum pandemi melanda. "Saat pandemi, jumlah pasiennya masih di atas 500an," kata Yanwar pada acara bertajuk RS Pondok Indah IVF Center Harapan Baru untuk Miliki Buah Hati' pada 4 Februari 2021.
Infertilitas bisa menjadi hal yang menyebabkan kegelisahan. Dokter spesialis kebidananan dan kandungan konsultan fertilitas endokrinologi, dan reproduksi RS Pondok Indah IVF Centre, Aida Riyanti mengatakan infertilitas terbagi menjadi dua, ada primer dan sekunder. Infertilitas primer dialami pasangan suami istri yang belum bisa dan belum pernah mempunyai anak sesudah satu tahun berhubungan seksual rutin tanpa memakai alat kontrasepsi dalam bentuk apapun. "Wanita yang pernah hamil tapi mengalami keguguran juga masuk dalam kategori ini," kata Aida.
Infertilitas sekunder dialami pasangan suami istri yang sudah mempunyai anak sebelumnya tetapi belum memiliki anak lagi sesudah satu tahun berhubungan seksual rutin tanpa memakai alat kontrasepsi atau metode dalam bentuk apapun. Sejak melahirkan anak pertama, tentu ada banyak hal dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan dan tubuh pasangan sehingga menyebabkan proses terjadinya kehamilan jadi terganggu. "Bedanya, kalau infertilitas primer pasangan belum memiliki anak, kalau sekunder pasangan sudah memiliki anak," katanya.
Aida menjelaskan bahwa gangguan kesuburan sekunder, bisa saja penyebabnya sama dengan kasus kesuburan primer. Faktor penyebabnya bisa suami, istri, ataupun keduanya. Dari faktor istri, gangguannya bisa terjadi karena masalah pematangan sel telur, sumbatan saluran telur, gangguan pada rahim dan indung telur, atau juga munculnya mioma/polip setelah kelahiran anak pertama.
Sebaliknya kasus infertilitas pada suami faktornya terjadi pada masalah sperma. Menurut kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah rata-rata konsentrasi sperma normal adalah lebih dari 15 juta per mililiter. Sperma yang bergerak cepat dan lurus sebaiknya berada pada jumlah di atas 32 persen. Sedangkan sperma yang memiliki bentuk normal minimal sebanyak 4 persen. "Masalah sperma yang dialami suami bisa terjadi dari segi jumlah, bentuk, gerakan, dan materi genetiknya," kata Aida.
Ilustrasi hamil. Unsplash.com/John Looy
Sedangkan faktor infertilitas keduanya masalahnya bisa terjadi pada sumbatan saluran sebanyak 35 persen, gangguan sperma 35 persen, gangguan pematangan telur sebanyak 15 persen dan penyebab yang masih belum diketahui sebanyak 10-15 persen.
Aida menjelaskan bila masalah yang terjadi adalah karena anovulasi atau sel telur tidak dilepaskan oleh indung telur (ovarium) dan masuk ke tuba fallopi maka ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Istri bisa saja mengalami sindrom ovarium polikistik, cadangan ovarium berkurang, gangguan fungsi hipotalamus, atau juga gangguan hormon prolaktin. "Bila kasus ini terjadi, istri perlu lakukan pemeriksaan hormon, ultrasonografi atau USG, juga pemantauan folikel antral basal" kata Aida.
Istri juga bisa mengalami sumbatan saluran telur yang terjadi karena infeksi pelviks, chlamydia atau salah satu penyakit menular seksual yang ditularkan melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom, endometriosis tuba, atau ada riwayat operasi tuba. Pada kasus ini, istri bisa melakukan pemeriksaan Histerosalpingografi (HSG) yaitu pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen (sinar-X) untuk melihat kondisi rahim dan daerah di sekitarnya. Bisa pula melakukan pemeriksaan laparaskopi alias prosedur untuk memvisualisasi rongga perut dan indung telur menggunakan sejenis teleskop dan serat optik khusus.
Ada pula gangguan yang bisa dialami istri, yaitu gangguan bentuk rahim. Beberapa contoh gangguan itu adalah adanya mioma, polip atau kelainan bawaan/sekat. Pada kasus seperti ini, istri perlu melakukan pemeriksaan USG dan histeroskopi alias proses histeroskopi menggunakan tabung fleksibel panjang yang melewati leher rahim untuk mencapai ke dalam rongga rahim.
Pada pria, beberapa gangguan sperma yang bisa menjadi faktor infertilitas adalah karena adanya masalah dalam hal jumlah gerakan bentuk dan DNA. Gangguan sperma pun bisa terjadi karena varikokel alias pembengkakan pada pembuluh darah vena dalam kantong zakar (skrotum). Penyebab lain masalah sperma bisa terjadi karena trauma, infeksi, kanker, penyakit kronik seperti diabetes melitus, kelainan genetik serta gangguan hormon. "Dalam kasus ini, suami perlu mengikuti prosedur menganalisis sperma DFI," kata Aida.
Ilustrasi wanita hamil dan suaminya. Freepik.com/Drobotdean
Menurut Aida, saat konseling awal dengan dokter, biasanya pasangan suami istri akan ditanya gaya hidup mereka, hubungan seksual, pekerjaan, serta usia mereka. Usia tentunya sangat berpengaruh pada pasangan yang hendak mendambakan anak. Pada wanita, khususnya peluang kehamilan akan semakin menurun seiring dengan usia.
Aida menjelaskan pada usia 20-24 tahun, peluang kehamilan bisa menjadi 86 persen. Usia 25-29 tahun, peluangnya menurun menjadi 78 persen, lalu usia 30-34 tahun peluangnya bisa menjadi 63 persen. Peluang terus menurun menjadi 52 persen pada kehamilan di usia 35-39 tahun. Lalu usia 40-44 tahun, peluangnya bisa 36 persen saja, dan pada usia 45-49 tahun peluang kehamilan hanya 5 persen saja.
Setelah konsultasi dan pemeriksaan serta penanganan, Aida menjelaskan biasanya ada 5 kategori umum masalah infertilitas yang dialami pasangan suami istri. Pertama adalah masalah sperma, pematangan telur, kista cokelat, masalah saluran telur hingga tidak diketahui alasannya.
Ada beberapa opsi dari dokter agar pasangan bisa memiliki buah hati. Bila masalahnya terjadi pada sperma suami, dokter biasanya akan menyarankan untuk melakukan inseminasi intrauterine. Inseminasi intrauterine adalah tindakan non-invasif untuk menempatkan sperma yang telah dipersiapkan langsung ke rongga rahim menggunakan kateter khusus. Tindakan ini diharapkan bisa mendekatkan jarak tempuh perjalanan sperma menuju sel telur di saluran telur. Bila inseminasi intrauterine sudah dilakukan 4 kali dan belum menghasilkan kehamilan, dokter akan menyarankan untuk melakukan program bayi tabung.
Pada istri, bila masalahnya adalah kista cokelat dan saluran telur, maka dokter akan menyarankan melakukan tindakan bedah, lalu mengikuti program inseminasi intrauterine. Bila selama 4 kali program inseminasi intrauterine tidak juga terjadi kehamilan, maka bayi tabung pun bisa menjadi opsi terakhir. Bila istri mengalami masalah pematangan telur, maka dokter akan menyarankan pemberian obat pemicu sel telur terlebih dahulu sebelum menyarankan mengikuti program inseminasi intrauterine hingga 4 kali, lalu bayi tabung.
Bila kasus infertilitas tidak diketahui, maka dokter biasanya akan menyarankan untuk mengikuti program inseminasi intrauterine sebanyak 4 kali, lalu program bayi tabung. "Secara umum, program yang ditawarkan dokter ada 3 lini. Lini pertama adalah pemberian obat pemicu ovulasi, dan bedah. Lini kedua adalah inseminasi intrauterine sebanyak 4 kali. Lini ketiga adalah fertilisasi In Vitro alias bayi tabung," kata Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fertilitas, Endrokrinologi dan Reproduksi RS Pondok Indah IVF Centre Yassin Yanuar Mohammad.
Perbedaan utama antara inseminasi intrauterine dengan bayi tabung ada pada letak mempertemukan sperma dan sel telur. Pada proses inseminasi, pertemuan sperma dan sel telur dilakukan di dalam tubuh calon ibu. Namun pada program bayi tabung, pertemuan itu terjadi di laboratorium khusus alias di luar tubuh manusia.
Baca: Selain Teknologi Canggih, Ini yang Membuat Layanan Bayi Tabung Mahal
Pertanyaannya, apakah boleh pasien langsung memilih prosedur bayi tabung setelah mengetahui sumber masalah infertilitas itu tanpa harus mengikuti tahap program inseminasi intrauterine?
Konferensi Pers bertajuk 'RS Pondok Indah IVF Centre, Harapan Baru untuk Miliki Buah Hati’ pada 4 Februari 2021/RSPI
Yassin mengatakan berbagai tata laksana penanganan pasien itu bertujuan untuk mempermudah pasien. Dokter dan pasien perlu lebih teliti mendiskusikan latar belakang gangguan kesuburan. Bila memang pada kasus yang dialami pasien, pasien boleh memilih, bisa saja mereka bisa langsung memilih prosedur bayi tabung sepanjang kasus ini dianggap layak untuk langsung diikuti dalam program bayi tabung. "Harus jelas, gangguan kesuburan masalahnya di mana? Menangani gangguan kesuburan itu tidak boleh coba-coba atau asal lihat. Harus tetapkan masalahnya apa," kata Yassin.
Dokter pun biasanya akan menjelaskan soal proses dan biaya yang diperlukan bila ingin langsung ke tahap bayi tabung dan melewatkan lini inseminasi intrauterine. "Keduanya memiliki perbedaan proses dan makan biaya, jadi perlu kesediaan pasien untuk menjalaninya," kata Yassin.
Namun, kata Yassin, kondisi pasien pun bisa menjadi pertimbangan sehingga langsung memilih program bayi tabung untuk mengatasi masalah infertilitas mereka. Misalnya kasus long distance marriage. "Misal suami hanya sebulan saja di Jakarta saat bertemu istri. Walau ada pilihan untuk lakukan inseminasi intratuterine, bisa saja disarankan langsung program bayi tabung. Waktu mereka kan terbatas, lagi pula keberhasilan kehamilan inseminasi intrauterine belum setinggi bayi tabung," kata Yassin.
Faktor lain yang bisa membuat pasien untuk memilih program bayi tabung adalah bila sang suami memiliki infeksi HIV, Hepatitis B, Hepatitis C. Ketiga penyakit itu bisa menular dengan hubungan seksual. Sehingga untuk melindungi orang-orang terkasih, bayi tabung bisa menjadi pilihan utama dalam kondisi ini.
Terakhir, bayi tabung pun menjadi opsi yang perlu diambil untuk mencegah penularan penyakit genetik. "Kalau menemukan indikasi peluang genetik, maka akan bisa dilakukan teknologi pemeriksaan kromosom," kata Yassin.
Pemeriksaan kromosom ini di RS Pondok Indah IVF Cetre dilakukan dengan metode pre-implantation genetic testing for aneuploidy (PGT-A) untuk mendeteksi kelainan genetik embrio serta mengurangi risiko keguguran.
Jadi, Anda sudah yakin akan mengambil langkah program bayi tabung?