Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Beragam Pemicu Orang Berutang Bukan karena Kebutuhan

Survei menemukan hampir 40 persen generasi milenial menghabiskan uang yang tidak dimiliki dan berutang demi gaya hidup dan hubungan sosial.

29 Agustus 2023 | 11.34 WIB

Ilustrasi utang. Pexels/Mikhail Nilov
Perbesar
Ilustrasi utang. Pexels/Mikhail Nilov

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah survei dari platform keuangan pribadi daring Credit Karma, beberapa waktu lalu, menemukan hampir 40 persen generasi milenial menghabiskan uang yang tidak dimiliki dan terlilit utang demi gaya hidup dan hubungan sosial. Rata-rata pengeluaran tersebut dihabiskan demi sebuah pengalaman seperti berlibur, pesta, kehidupan malam, hingga pernikahan. Bahkan, mereka rela berutang demi makanan, pakaian, alat elektronik, perhiasan, dan mobil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Antropolog ekonomi asal Amerika Serikat, David Rolfe Graeber, menjelaskan dengan bergulirnya sejarah dan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, utang berkembang melampaui urusan ekonomi, finansial, negara, dan pasar. Padahal, awalnya utang hanya bentuk relasi sosial sederhana yang berkaitan dengan jasa, balas budi, barter, dan aktivitas sosial ekonomi kemanusiaan sehari-hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berutang tanpa alasan darurat bisa menjadi awal petaka. Apalagi bila hanya digunakan untuk sekadar membiayai gaya hidup dan gengsi demi bisa seperti orang-orang. Bagaimana jika teman atau orang-orang yang menjadi kiblat gaya hidup itu telah mencapai kemerdekaan finansial sedangkan penirunya belum berpenghasilan, apa tidak akan babak belur?

Kampung utang
Tak jauh berbeda dengan masyarakat urban, warga perkampungan pun banyak terlilit utang akibat ingin dipandang orang. Seperti di pedesaan di wilayah Bogor, Jawa Barat, ada tradisi pesta pernikahan yang seolah mengharuskan disertai panggung hiburan musik dangdut dan rangkaian petasan untuk menyambut kedatangan rombongan besan. Jika dihitung secara kasar, rangkaian petasan berdurasi sekitar 15 menit itu membakar uang minimal Rp1 jutaan sedangkan panggung dangdut berbiaya belasan juta.

Bukan hanya orang berada yang menggelar pesta meriah tetapi warga penerima bansos pun memaksakan diri menikahkan anak dengan standar pesta semacam itu. Akibatnya, daerah itu terkenal dengan warga banyak utang. Sementara tingkat perceraian di wilayah tersebut cukup tinggi sehingga ada seloroh, “Utangnya saja belum lunas pengantinnya sudah cerai”.

Menggelar pesta pernikahan di daerah ini tak ubahnya seperti judi. Tuan rumah membiayai pesta, termasuk panggung dangdut, dengan uang pinjaman lalu berharap tertutupi dari sumbangan amplop para tamu yang datang. Bukan rumor, namun sudah menjadi rahasia umum. Jumlah sumbangan dalam amplop yang diberikan tamu kemudian dianggap sebagai utang, yang akan dikembalikan ketika pemberi sumbangan kelak menggelar pesta juga. Begitu bergulir seterusnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus