Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Media perjalanan dan pariwisata TelusuRI menggelar Pameran Foto Ekspedisi Arah Singgah: Fambi Mait Teme. Kegiatan yang bisa diikuti secara gratis ini berlangsung di Institut Français Indonesia (IFI-LIP) Yogyakarta dari tanggal 11 hingga 20 Oktober 2024. Editor in Chief TelusuRI, Mauren Fitri mengatakan pameran ini merupakan rangkuman dari perjalanan Arah Singgah tim TelusuRI dalam 3 tahun terakhir, yaitu tahun 2022-2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selama tiga tahun itu, Mauren dan timnya melakukan perjalanan ke 12 kabupaten di 8 provinsi, termasuk Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Papua Barat Daya, dan Papua. "Arah Singgah, sebuah program ekspedisi jurnalistik yang mengusung pendekatan berbeda dari liputan perjalanan biasa, dengan fokus pada harmonisasi manusia dan alam dalam kerangka ekonomi restoratif yang dilakukan komunitas adat di Indonesia," kata Mauren pada pembukaan Jumat 11 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Foto Ekspedisi Arah Singgah “Fambi Mait Teme”/TelusuRI
Pameran ini merupakan karya para ekspeditor yang melalui Ekspedisi Arah Singgah berangkat dari keresahan terhadap penyempitan ruang hidup masyarakat dan keanekaragaman hayati di dalamnya akibat masifnya industri ekstraktif. Misalnya, perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar, hingga pertambangan.
Hasil perjalanannya, Mauren dan tim menemukan sejumlah sosok dan komunitas adat yang masih mau berjuang menjaga keseimbangan ekosistem yang menjadi tempat mereka tinggal turun-temurun di tengah keterbatasan mereka. Komunitas adat itu mengajarkan bahwa melestarikan alam berarti menjaga budaya dan tradisi. Melalui konsep ekonomi restoratif menjadi solusi jalan lestari untuk merawat budaya dan alam sebagai sumber penghidupan.
Masyarakat adat memiliki cara unik untuk menjaga keseimbangan ini. Dengan mempraktikkan perladangan berpindah yang tidak merusak tanah, memanen hasil hutan (selain kayu) seperti pelepah nipah, rotan dan madu. Kisah-kisah ini mengajarkan kita untuk lebih menghargai hutan dan keberlanjutannya dalam kehidupan manusia. Mauren mengatakan timnya mencoba mengangkat berbagai suara dari berbagai pelosok Indonesia yang mereka temui. "Kami mencoba mengangkat suara mereka yang tidak didengar. Agar teman-teman tahu mereka hidup harmonis dengan alam," katanya.
Dalam pemeran itu, terlihat beberapa foto yang dipajang dalam beberapa kelompok foto. Ada foto yang bertema soal ekowisata yang dilakukan masyarakat adat di daerahnya masing-masing. Ada pula kelompok foto yang menjelaskan soal usaha ramah lingkungan yang dilakukan komunitas daerah. Di kelompok foto lain terlihat tim TelusuRI memamerkan foto para tokoh adat, yang cukup bersuara nyaring untuk melindungi tanah adat mereka.
Kurator Pameran Ayos Purwoaji mengatakan Pameran Foto Ekspedisi Arah Singgah: Fambi Mait Teme, memiliki filosofi yang berarti hutan adalah ibu dalam bahasa Tehit. Ia membantu para ekspeditor TelusuRI menyaring puluhan foto dari ribuan dokumentasi yang berhasil diambil.
Foto Ekspedisi Arah Singgah “Fambi Mait Teme”/TelusuRI
Perjalanan ini merupakan perjalanan yang menggugah kisah-kisah pribadi dan kelompok dari berbagai sudut pandang, berangkat dari pemikiran bahwa setiap pribadi adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Ekspedisi Arah Singgah sebagai wadah untuk mengusung isu ekonomi restoratif. Menurut Ayos, selama ini orang hanya berpikir bahwa peningkatan ekonomi lokal hanya bisa dilakukan dengan pembangunan yang merusak alam. "Tapi dari ekspedisi ini, kita jadi bisa melihat bahwa ekonomi masyarakat tidak harus bertolak belakang dengan lingkungan hidup. Masyarakat bisa dapat keuntungan ekonomi sambil menjaga lingkungan mereka," katanya.
“Fambi Mait Teme menyoroti pentingnya alam sebagai sumber kehidupan sekaligus bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat adat. Melalui pameran ini, penonton diajak untuk menyelami kompleksitas hubungan antara manusia dan lingkungan serta memahami berbagai tantangan yang dihadapi komunitas adat dalam merawat bumi yang mereka tinggali. Pameran ini menyajikan sebuah ruang refleksi yang mendalam tentang peran hutan dan alam dalam keberlanjutan hidup manusia,” ujar Ayos.
Selain menampilkan karya fotografi, acara ini juga menyediakan diskusi publik, temu wicara, pemutaran video dan film dengan melibatkan pembicara dan beberapa komunitas lokal Yogyakarta. Serta kesempatan berjejaring bagi komunitas dan individu yang memiliki perhatian terhadap isu serupa. Masih dalam rangka pameran foto, @ayotelusuri x @walkthepast_ygy menggelar Walking Tour: Potret Kotabaru Era Kolonial pada 19 Oktober 2024 mulai pukul 08.00 dari IFI-ILP Yogyakarta. Kegiatan ini bisa diikuti secara gratis oleh masyarakat.