Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 terkait kesehatan yang salah satunya mengatur larangan penjualan produk tembakau (rokok) secara eceran satuan per batang, kecuali cerutu atau rokok elektronik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PP yang terdiri atas 1172 pasal itu ditetapkan Presiden Joko Widodo di Jakarta, pada 26 Juli 2024, dan diundangkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada tanggal yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun pelarangan tersebut tertuang dalam Pasal 434 ayat (1) huruf c, bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara eceran per batang, kecuali cerutu dan rokok elektronik.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pengesahan Peraturan Pemerintah ini merupakan salah satu langkah dari transformasi kesehatan guna membangun arsitektur kesehatan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan inklusif.
“Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” ujar Budi seperti dikutip dari Antara Selasa, 30 Juli 2024.
Budi mengungkapkan, dengan penerbitan PP ini, ada 26 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden yang tidak lagi berlaku, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja.
Lebih lanjut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan turut menanggapi penerbitan PP Kesehatan tersebut, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heriyanto menilai larangan penjualan rokok secara eceran tidak akan berdampak signifikan terhadap penerimaan negara. “Pembatasan nonfiskal, seperti tidak boleh dijual eceran, itu tidak mengurangi (penerimaan negara),” kata dia, dikutip dari Antara Rabu, 31 Juli 2024.
Penerimaan cukai dari rokok dipungut dalam tingkat pabrik, ujar dia, sehingga penjualan per batang tidak berpengaruh terhadap pungutan cukai. “Pungutan satu kotak rokok itu ada tiga, yaitu cukai rokok, pajak pertambahan nilai atas penyerahan hasil tembakau (PPNHT), dan pajak rokok yang totalnya 68 persen. Jadi, kalau misal satu kotak rokok ini harganya Rp10.000, maka pungutan negara itu Rp6.800,” kata dia.
Nirwala menilai, kebijakan pembatasan nonfiskal lebih menekankan upaya mengurangi prevalensi merokok,daripada menjadi strategi penerimaan negara. Melalui pelarangan penjualan rokok eceran, diharapkan dapat mengurangi keinginan masyarakat membeli rokok karena harga yang mahal. Selain itu, kebijakan tersebut juga diharapkan dapat mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan.
“Kalau harganya jadi lebih mahal, orang akan mengurangi pembelian atau berhenti merokok,” imbuhnya.
Untuk diketahui, hingga semester I-2024, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tercatat sebesar Rp97,84 triliun, terkontraksi 4,4 persen. Meski terkontraksi, nilai itu meningkat dari capaian Mei 2024 yang sebesar Rp77,94 triliun.
Melambatnya penerimaan CHT dipengaruhi oleh kebijakan relaksasi penundaan pelunasan cukai dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor PER-2/BC/2024. Peraturan tersebut memperpanjang penundaan pelunasan dari 60 hari menjadi 90 hari, sehingga sebagian penerimaan Mei 2024 bergeser ke Juni 2024. Selain faktor itu, downtrading ke golongan rokok yang lebih murah juga disebut memengaruhi perlambatan penerimaan CHT.