Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Semakin banyak kasus pesepak bola yang terkapar di lapangan karena masalah jantung meski secara fisik tampak sehat dan masih muda. Kasus teranyar dialami pemain klub Serie A Fiorentina, Edoardo Bove. Pemain berusia 22 tahun itu terjatuh ketika timnya melawan Inter Milan, Minggu, 1 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bove segera mendapat pertolongan medis dan dibawa ke rumah sakit. Pihak klub menyatakan hasil pemeriksaan kardiologi dan neurologi menunjukkan tak ada kerusakan parah pada sistem saraf pusat dan sistem kardio-pernapasan. Penyebab ia jatuh belum diketahui secara pasti karena kasus seperti itu butuh waktu dan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pastinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya pada Agustus 2024, pesepak bola Uruguay, Juan Izquierdo, 27 tahun, mengalami hal yang sama dan nasibnya tak seberuntung Bove. Ia dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit. Sementara pada Desember 2023, kapten klub Liga Inggris, Luton Town, Tom Lockyer, terkena serangan jantung di lapangan. Jantungnya berhenti berdetak selama 2,5 menit.
Kasus yang sangat mencuri perhatian tentu saja saat bintang Denmark, Christian Eriksen, tak asadarkan diri pada pertandingan di Piala Eropa 2020. Pendapat pakar dan teori konspirasi yang beredar jelas berbeda. Kematian Izquirdo, misalnya, disebut karena infeksi virus yang menyebabkan tekanan tambahan pada jantungnya, menyebabkan iramanya tak beraturan, yang dalam istilah medis disebut aritmia jantung.
Pingsannya Lockyer disebut karena fibrilasi atrial, kondisi kesehatan yang menyebabkan jantung berdetak tak teratur, biasanya lebih cepat, dan dapat menyebabkan serangan jantung. Komunitas antivaksin menyalahkan vaksinasi Covid-19 yang telah merusak jantung anak-anak muda.
Program skrining kesehatan sebenarnya sudah dilakukan pada atlet untuk mendeteksi jika ada kondisi medis tertentu. Meski statusnya olahragawan, bukan berarti kesehatan mereka sempurna. Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) mewajibkan para pemainnya melakukan pemeriksaan kesehatan pada umur 16 tahun. Namun pemeriksaan pada usia lebih tua tetap dibutuhkan.
Skrining lebih sering
Terkait kasus terakhir, para pakar jantung meminta aturan diubah dengan pemeriksaan wajib diulang pada umur 20-an dan 30-an. Skrining ekstra tak hanya membantu menemukan pemain-pemain dengan masalah jantung tapi juga mengindentifikasi mereka yang berisiko terkena masalah jantung di kemudian hari.
"Jika pemain hanya diskrining di usia 16 tahun, tak ada jaminan saat berumur 29 tahun kondisinya masih normal. Beberapa penyakit baru muncul di usia akhir 20-an atau 30-an. Itulah alasan perlunya pemeriksaan lanjutan," ujar Professor Guido Pieles, pemimpin Klinik Kardiologi Olahraga di Institut Olahraga, dan Kesehatan, dikutip dari Daily Mail.
Asosiasi sepakbola di setiap negara punya standar berbeda terkait skrining kesehatan. Penelitian sebelumnya menyebut atlet yang menekuni olahraga yang disebut "start-stop" atau "stop and go" seperti sepakbola, yang ditandai lonjakan aktivitas fisik kemudian diam cukup lama saat tak berlari lebih berisiko mengalami masalah jantung.
Kasus lain penyebab atlet pingsan di lapangan adalah kasus cedera spesifik yang disebut commotio cordis, yakni saat dada mengalami benturan berkecepatan tinggi, misalnya kena bola, yang mengganggu sinyal saraf yang mengatur detak jantung.
Namun, penelitian juga menyebut angka kematian pada atlet-atlet muda mulai menurun. Sebuah penelitian yang diterbitkan tahun lalu yang mempelajari data olahraga kampus selama 20 tahun di Amerika Serikat menemukan kematian turun sekitar 29 persen setiap lima tahun. Para akademisi memuji sistem skrining kondisi jantung yang semakin efektif.