Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam hubungan, dan perceraian orang terkenal nyaris tak pernah sepi dari pemberitaan setiap hari. Lalu, apakah Anda masih percaya pada keajaiban cinta pertama?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buat yang sudah menjalin hubungan di usia 19 tahun, apakah masih berpikir pasangan adalah belahan jiwa yang akan mendampingi sampai akhir hayat nanti? Jawabannya mungkin ada yang ya dan tidak tapi coba simak pendapat pakar berikut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Otak masih belum terbentuk penuh, begitu juga bagian emosional di otak mengalami hal-hal secara intens," ujar psikoterapis dan penulis Amy Morin kepada USA Today.
Selain itu, menurutnya di usia tersebut orang masih mencari jati diri sehingga bisa memilih pasangan yang keliru dan mengencani orang yang tak bisa dijadikan pasangan hidup untuk waktu lama meski di usia ini bisa menjadi waktu yang baik untuk menggali pengalaman hidup. Usia 19 juga dianggap sebagai periode transisi dari remaja ke dewasa.
"Buat kebanyakan orang, kita belum terlalu paham siapa diri kita. Jadi, mencari jawaban dengan siapa ingin menghabiskan hidup pun masih sulit," tambah Morin.
Belum mampu menentukan batasan
Kemudian, anak muda masih sulit menatap hidup jauh ke depan, yang bisa menyebabkan hubungan yang tak rasional dan impulsif. "Karena saat usia bertambah, Anda cenderung lebih fokus pada masa datang dan merencanakan masa depan. Tapi di umur 19, Anda masih senang menikmati masa itu atau hanya memikirkan beberapa tahun ke depan saja," jelas psikoterapis Stephanie Sarkis.
Dan bukan cuma perempuan yang mengalami fenomena umur 19 tapi juga berlaku pada jenis kelamin apapun. Di usia transisi ini, banyak orang yang masih kurang kemampuan menjaga hubungan dan keterampilan berkomunikasi yang kuat sehingga membuat lebih sulit mendeteksi tanda bahaya.
Ketika orang sedang dimabuk asmara, apalagi cinta pertama, hal-hal yang baik bisa ditenggelamkan oleh yang buruk. Mereka belum mampu menentukan batasan atau membela diri dan mendapati diri terjebak dalam situasi sulit.
"Kita mungkin lebih rentan mengalami hubungan tak sehat karena tidak memahami apa yang terjadi, apakah orang hanya memanipulasi, melempar bom cinta di suatu hari dan kemudian meninggalkan Anda," kata Morin.
Sarkis pun menyebut pentingnya orang mengedukasi diri dan juga teman-temannya tentang tanda bahaya dalam hubungan sehingga mereka lebih mudah mengakhiri hubungan beracun,menghindari kekerasan dalam hubungan, dan mencari bantuan.