Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setiap 2 April diperingati sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia. Pakar kesehatan anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), mengatakan anak dengan spektrum autisme dapat didukung potensinya hingga menjadi orang hebat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pada masa balita, kenali kemampuan atau kelebihan anak, baik dari segi seni maupun ilmiah. Bila sudah diidentifikasi sebaiknya berikan porsi latihan kegiatan tersebut lebih besar, ajak berkompetisi atau melakukan pameran hasil karyanya," kata Rini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan spektrum autisme adalah gangguan perkembangan saraf otak pada awal kehidupan, ditandai adanya defisit dalam dua domain, yaitu interaksi sosial serta komunikasi dan perilaku serta aktivitas berupa pola perilaku stereotipikal, repetitif, restriktif, serta minat yang terbatas.
"ASD (autism spectrum disorder) bukan gangguan fungsional semata tetapi didasari gangguan organik seperti perubahan neurokimiawi otak, kelainan neuroanatomi, dan faktor genetik," jelasnya.
Rini menjelaskan autisme bukan penyakit infeksi dan penanganan dapat dilakukan antara lain berupa perbaikan perilaku serta kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi. Menurutnya, penanganan tersebut perlu waktu panjang dan peran orang tua serta anggota keluarga lain sanga penting. Keluarga wajib mengulang latihan yang dilakukan seperti terapi bicara dan okupasi. Semua anggota keluarga perlu kompak membantu anak dengan autisme untuk berkembang dan mandiri.
"Terapi dapat membantu meningkatkan fungsi dan kemampuan anak tetapi terapi yang utama dan pertama adalah keluarga," ujarnya.
2 faktor risiko autisme
Dia menjelaskan ada dua faktor risiko autisme, yaitu genetik dan lingkungan. Pada faktor genetik, jika orang memiliki saudara laki-laki atau perempuan, saudara kembar, atau orang tua yang autis, kemungkinan besar ia juga mengidap autisme.
"Misalnya, jika salah satu kembar identik didiagnosis ASD, kemungkinan kembar lainnya juga autis adalah 60-90 persen," ungkap Rini.
Adapun faktor-faktor risiko lain seperti kelahiran prematur atau berat badan lahir sangat rendah. Dia juga mengatakan risiko autisme lebih tinggi pada anak dengan tuberous sclerosis dibanding pada yang tidak menderita penyakit tersebut. Rini juga menyebut autisme lebih sering dijumpai pada anak laki-laki dibanding perempuan.
"Studi menunjukkan paparan orang tua terhadap logam berat dan racun lingkungan lain selama kehamilan," tambahnya.
Dia juga mengatakan pada faktor lingkungan lain, beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara infeksi virus tertentu atau ketidakseimbangan metabolisme dan kemungkinan terlahir dengan autisme.
"Anak-anak yang lahir dari orang tua yang lebih tua juga memiliki peluang lebih besar, menurut CDC," katanya.
Ada juga faktor prenatal atau ketika kehamilan anak tersebut, antara lain obesitas, demam, gizi buruk, polusi udara, dan paparan pestisida. Dia berharap pada momen Hari Peduli Autisme Sedunia 2024 ada perhatian lebih terhadap ketersediaan terapis serta peningkatan jumlah institusi yang dapat mencetak terapis sehingga anak dengan spektrum autisme di seluruh Indonesia dapat menjalankan terapi dengan maksimal.
Pilihan Editor: Kisah Inspiratif Office Boy yang Kini Sukses Menjadi Bos