Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Emil Salim Pantang Berhenti Menulis

Emil Salim menjaga kesehatan dengan membaca dan menulis. Ikut meluncurkan buku karya keponakannya pada Hari Sumpah Pemuda.

1 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menulis menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian Emil Salim, 94 tahun.

  • Dia berkontribusi dalam penulisan tiga buku karya tiga keponakannya yang diluncurkan pada Senin, 28 Oktober 2024.

  • Emil Salim mulai menulis sebagai kolumnis surat kabar dan menjadi asisten dosen Soemitro Djojohadikoesoemo.

ADA yang tidak pernah berubah dari Emil Salim: pandangan mata teduh di bawah alis yang terbentang tebal. Hal lain yang selalu melekat padanya adalah semangat tinggi saban kali membicarakan ekonomi dan lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecintaan akan lingkungan dan ilmu ekonomi itu yang mendorong Emil terus aktif berdiskusi, menulis, dan mengajar di usia 94 tahun. Dia masih ingat betul mulai rutin menulis, yaitu ketika berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) pada 1951 sampai 1958. "Pengalaman yang saya hadapi dalam kenyataan ekonomi, itu yang saya tulis," kata Emil kepada Tempo di rumahnya di Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa petang, 29 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehari sebelumnya, Emil Salim hadir dalam peluncuran tiga buku di Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, pada perayaan Sumpah Pemuda. Ada Playing the Part: Seeking Equilibrium karya Farry Salim, A Diplomatic Calling: Breaking the Convention dari Chandra Salim, dan A Draft of a Scrapbook: Stream of Thoughts and Insightful Truths from a Banker and Engaged Activist yang ditulis Felia Salim. Ketiganya adalah anak Ferdy Salim—abang Emil—mantan duta besar di Jerman, Venezuela, dan Brunei Darussalam.

Emil Salim saat menjadi ketua delegasi Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCFCC) di kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, November 2007. TEMPO/Imam Sukamto

Emil berkontribusi dalam penulisan ketiga buku karya keponakannya tersebut. "Mereka sendiri yang mengambil prakarsa," kata ekonom senior itu, menjawab pertanyaan soal penggagas pembuatan buku.

Bagi Emil, hal yang paling penting dalam menulis adalah berkarya secara jujur dan berasal dari hati nurani. Bukan atas pertimbangan komersial dan popularitas. "Kau tulis seperti apa yang kau rasa itu benar," ujar Emil dari atas kursi rodanya.

Ketiga buku tersebut lahir dari diskusi Emil dan para keponakannya. Misalnya, Emil melanjutkan, mengapa dunia tak kunjung mendapatkan pola yang menjurus pada kesetimbangan abadi? Jawabannya, karena selalu ada gangguan besar. Pada abad lalu, ada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Kini, ada perubahan iklim. "Jadi, selalu dibikin oleh manusia. Pencemaran bukan dibikin oleh alam," tuturnya.

Pada suatu siang di Februari 2023 di Cilandak, Jakarta Selatan, Emil bertandang ke rumah Chandra, penulis A Diplomatic Calling. Saat itu, Chandra dalam masa penyembuhan dari kanker prostat. Dalam percakapan santai, Emil meminta Chandra menulis pengalamannya selama bertugas, termasuk pekerjaannya sebagai diplomat.

"Pak Emil bilang, 'Mengapa kamu tidak menulis? Menulis-lah, kamu kan punya banyak pengalaman di luar negeri, berdiplomasi. Ini bagus untuk sejarah,'" kata Chandra, 68 tahun, seusai diskusi buku di TIM. Ia mulai menulis pada Mei tahun lalu.

Emil juga menyarankan Chandra menulis tentang Papua dan Timor Timur. Sebab, Emil menilai Duta Besar untuk Republik Kepulauan Fiji periode 2010-2013 itu mengetahui langsung apa yang terjadi di sana.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pernah menugaskan Chandra menangani isu Papua saat menjabat Duta Besar untuk Fiji. "Saya disuruh meredam isu Papua di Asia-Pasifik," kata anggota Delegasi Indonesia dalam Konferensi Internasional Mendukung Ekonomi Palestina untuk Rekonstruksi Gaza di Sharm El Sheikh, Mesir, pada 2009 itu.

Dalam A Diplomatic Calling, Chandra menjelaskan tiga pemicu gerakan Papua merdeka. Pertama, perasaan masyarakat yang dipinggirkan, didiskriminasi, dan kurang mendapat pengakuan atas kontribusi mereka terhadap pembangunan Indonesia. Kedua, pembangunan infrastruktur kurang optimal, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Ketiga, integrasi politik, ekonomi, dan budaya yang tak kunjung rampung.

Dorongan menulis dari Emil Salim diserap pula oleh Felia. Ia mencatat perjalanan kariernya yang bermula sebagai bankir, tapi aktif dalam isu sosial-budaya dan lingkungan. Dalam A Draft of a Scrapbook, mantan Wakil Presiden Direktur PT Bank Negara Indonesia itu menuangkan catatannya mengelilingi banyak desa di belahan timur Indonesia, serta tinggal dan belajar dari masyarakat adat setempat.

Felia menulis soal pandangan orang-orang di Jakarta yang merasa perlu membantu desa. Yang terjadi malah sebaliknya. "Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat adat tentang pengelolaan sumber daya dan pembangunan berkelanjutan adalah sesuatu yang telah hilang sama sekali dalam kehidupan modern," tulis Felia dalam buku setebal 214 halaman itu.

Dialektika tumbuh subur di lingkungan keluarga Salim. Diskusi Felia dan Emil Salim, juga anggota keluarga lain, terus terbangun. "Dari Pak Emil terus ada wejangan-wejangan dan diskusi secara intelektual," kata Felia.

Emil Salim bersama sejumlah tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, September 2019. TEMPO/Subekti

Ingatan tentang Emil Salim di era 1960 sampai 1970-an masih tertancap di kepala Farry Salim—anak sulung dari lima bersaudara. Ia mengenang Emil sebagai pekerja keras, terutama dalam menunaikan tugasnya sebagai dosen dan menteri. Dia selalu larut dalam pekerjaan. Sampai-sampai, dalam setiap acara keluarga, kata Farry, sang paman selalu mojok untuk membaca bahan pekerjaan. Emil baru berubah pada 1980-an setelah kematian ibunda dan saudara perempuannya. "Dari situ dia baru benar-benar hadir dan care sama keluarga," kata Farry.

Kedekatan itu pula yang membuat Emil mendorong para keponakannya untuk menulis. "Bukan sekadar mendorong, tapi rasa sedikit memaksa," ujar mantan pegawai perwakilan bank Jerman itu, tertawa. Farry pun terpacu mencatat berbagai hal dalam catatan-catatan pendek, juga puisi.

Playing the Part merupakan rangkaian renungan dari apa yang dialami dan disaksikan Farry, yang mulai dia tulis 15 tahun silam. "Carilah yang baik di dalam buruk orang, itulah akhlak. Carilah buruk di dalam kebaikan diri sendiri... itulah ikhlas," tulis dia di halaman 209.

Dorongan Emil Salim untuk menulis disertai dengan panutan. Emil sejauh ini telah melahirkan 13 buku. Temanya mulai kumpulan esai tentang ekonomi-politik sampai kerusakan lingkungan.

Emil memulai perjalanan menulisnya sebagai pengisi kolom di surat kabar Harian Kami dan Angkatan Bersenjata. Dia menggunakan nama samaran Pembantu Ekonomi. Belakangan, setelah merasa matang dan cermat memahami ilmu ekonomi, barulah dia menuliskan nama lengkap pemberian orang tuanya.

Sampai detik ini pun, Emil masih menulis. Dosen program doktoral di Sekolah Ilmu Lingkungan UI itu menyiapkan sendiri bahan ajarnya. "Biasanya, mengambil bahan dari buku-buku di perpustakaan rumah," kata Amelia Farina Salim, putri Emil.

Emil mengajar saban Rabu secara daring. Namun materi dia susun sejak Jumat dan Sabtu. Lalu, dia tuliskan pada Senin dan Selasa. Seperti judul bukunya, Revolusi Berhenti Hari Minggu, Ahad adalah waktu untuk keluarga dan beristirahat. "Di Zoom, saya tidak bacakan, tapi kami berdialog. Setelah kuliah, barulah tulisan dikirim ke mahasiswa," kata Emil.

Pakar ekonomi jebolan University of California, Berkeley, Amerika Serikat, ini pantang mengajar sekadar berbekal teori. Semua materi perlu disertai studi kasus yang berlangsung di Indonesia, bukan Amerika Serikat atau Eropa. "Jangan mengajari hal yang tak ada hubungannya dengan kenyataan," ujar Emil.

Pengalamannya sebagai pengajar dia mulai saat menjadi asisten dosen Soemitro Djojohadikoesoemo di Fakultas Ekonomi UI pada 1950-an. Begawan ekonomi yang juga ayah Presiden Prabowo Subianto itu selalu membekali diri dengan catatan sebelum masuk kelas. Jika berhalangan, Soemitro menyerahkan catatan itu kepada Emil dan dia yang menyampaikannya kepada para mahasiswa.

Mencatat menjadi kunci pembelajaran bagi Emil. Dia menyadari bahwa kapasitas otak manusia terbatas dan tak mungkin mengingat semua hal. Maka, dia selalu mencatat ide-ide yang terlintas di kepalanya. Selain di kertas, Emil "mencatat" lewat alat perekam.

Belakangan, Emil larut dalam kesibukan baru, bermain piano. Dia belajar piano sejak 2022 dengan waktu latihan saban Rabu, pukul 19.00-20.00. Menurut Emil, memainkan musik juga bagian dari upaya memperkuat daya ingat.

Selama puluhan tahun, Emil lebih banyak mengandalkan otak kirinya. Bagian otak ini lebih banyak digunakan untuk proses berpikir secara analitis. Sedangkan otak kanan lebih sering difungsikan untuk proses kreatif, termasuk bermusik. "Ini bentuk ekuilibrium. Kalau otak kanan dan kiri seimbang, kerjanya jadi lebih sempurna," kata Emil.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus