Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mengapa Drama Cina Digemari Penonton Indonesia

Iklan drama Cina membanjiri media sosial. Penonton terbujuk untuk berlangganan dan disuguhi adegan kekerasan.

12 Februari 2025 | 15.00 WIB

Kolase adegan drama Cina Asmara Diselimuti Dendam. GoodShort
Perbesar
Kolase adegan drama Cina Asmara Diselimuti Dendam. GoodShort

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Banyak orang Indonesia kepincut drama Cina setelah menonton iklan yang bertubi-tubi di media sosial.

  • Para penonton mengakui jalan ceritanya sederhana, tapi dibuat penasaran karena setiap episode serial ini disajikan secara singkat.

  • Drama Cina disebut memuat banyak cerita soal kekerasan domestik dan beredar tanpa pengawasan.

BELAKANGAN, Instagram, TikTok, X, dan YouTube Shorts dibanjiri potongan adegan dramatis dari drama Cina. Berdurasi 5-10 menit, klip video itu cukup untuk membangun tensi dan menggiring rasa penasaran. Dari konflik emosional hingga kisah cinta berbalut intrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Saat iklan berakhir di momen klimaks, satu-satunya cara untuk mengetahui kelanjutannya adalah mengunduh aplikasi layanan streaming atau over the top (OTT), seperti Dramabox, Flex TV, ReelShort, ShortMax, dan GoodShort.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Awalnya, penonton bisa menonton drama Cina secara gratis hingga episode sepuluh dengan durasi 90 detik per edisi. Begitu hendak membuka episode kesebelas, penonton diarahkan untuk membuka iklan demi mendapatkan lima episode tambahan atau memilih berlangganan agar bisa menonton hingga selesai. Satu judul dracin—sebutan populer drama Cina—bisa terdiri atas 60-100 episode.

Strategi cerita pendek per episode ini terbukti tokcer. Banyak penonton rela merogoh kantong demi mengetahui kisah akhirnya dengan banderol Rp 77-250 ribu per pekan—bandingkan dengan Netflix yang bisa dinikmati seharga Rp 65 ribu per bulan.

Tempo berlangganan aplikasi dracin dua bulan terakhir. Semua aplikasi ramah bahasa Indonesia. Pengelola menyajikan judul dalam bahasa Indonesia, subtitel, bahkan mengganti nama karakter di filmnya dengan nama Indonesia, seperti Yanto.

Dari ribuan judul, kebanyakan menyajikan cerita cinta yang alurnya sudah kita ketahui bersama. Seperti kisah Cinderella, saat seorang gadis miskin bertemu dengan pria kaya, biasanya CEO perusahaan besar, menjadi korban perundungan keluarga dan lingkungan sebelum berhasil mendapatkan cinta sejatinya.

Ilustrasi aplikasi layanan streaming atau over the top (OTT). Tempo/Nufus Nita Hidayati

Komedian Deddy Mahendra Desta mengaku kecanduan menonton drama Cina, meskipun ia mengakui kualitas akting para pemerannya kurang memuaskan. Dalam video di kanal YouTube VINDES yang tayang pada Senin, 27 Januari 2025, Desta bercerita bahwa ia sampai rela membayar demi menyaksikan setiap episode dracin.

“Gue sampai beli loh series-series yang aktingnya jelek banget. Ceritanya standar, tapi kok kita pengin tahu terus,” ujar Desta. Ayah tiga anak itu bahkan membagikan alur cerita beberapa drama Cina yang ia tonton, dari kisah kasim kerajaan hingga perjalanan hidup seorang CEO. “Yang CEO itu, dia dulu kaya banget, terus tabrakan, hilang ingatan, menghilang lama. Eh, terus ngelamar ke perusahaannya sendiri jadi (petugas) cleaning service. Seru banget, deh!” katanya.

Desta menjadi satu dari banyak orang yang terseret alur drama Cina berkat bombardir iklan di media sosial. Juan, 24 tahun, karyawan swasta di Jakarta Barat, awalnya tidak pernah tertarik menonton drama Cina. Namun, sekitar akhir 2024, ia mulai sering melihat iklan dracin di Instagram Reels.

“Mereka pintar banget bikin konflik bertubi-tubi. Walaupun ceritanya bisa ditebak, konfliknya itu yang bikin geregetan. Jadi, entah kenapa, malah dituntaskan sampai habis,” tuturnya kepada Tempo pada Jumat, 7 Februari 2025. Juan juga menyadari bahwa iklan-iklan ini merupakan bagian dari strategi aplikasi OTT asing. “Setiap habis menonton belasan menit, ending-nya tuh selalu bikin penasaran dan disuruh download aplikasinya.”

Sementara itu, Intan, 25 tahun, karyawan swasta asal Bekasi, mengakui drama Cina memiliki daya tarik sendiri. “Seru sih, bikin penasaran. Kadang enggak sadar bisa berjam-jam buka TikTok gara-gara ini,” ucapnya.

Kolase adegan drama Cina berjudul Pak Handi, Istrimu Mau Balas Dendam di aplikasi GoodShort. Dok. GoodShort

Efnie Indrianie, psikolog Universitas Kristen Maranatha Bandung, menjelaskan, iklan-iklan drama Cina tersebut, meski terasa tidak masuk akal bagi banyak orang, tetap memiliki daya tarik sendiri. Ia menilai unsur kekerasan dan adegan dramatis yang berlebihan dalam tayangan tersebut bisa membangkitkan sisi afeksi penonton, meski tidak selalu disadari.

Cerita drama Cina memang banyak berlatar kekerasan domestik. Misalnya, kisah gadis miskin yang jatuh cinta kepada CEO di atas dijual oleh kakak dan ibu tirinya, terlibat cinta satu malam lalu berujung kehamilan, serta si CEO impian pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan. “Perilaku agresif memang merupakan salah satu ciri khas manusia. Tanpa disadari, tayangan-tayangan itu memberikan sisi afeksi, yang membuat seseorang senang menonton, penasaran, lalu ingin lagi dan lagi,” kata Efnie kepada Tempo, Sabtu, 8 Februari 2025.

Iklan-iklan berdurasi panjang itu juga menarik perhatian karena selaras dengan pola konsumsi konten digital saat ini. Efnie menyoroti bagaimana media sosial telah membentuk kebiasaan baru, yaitu menjadikan kita cenderung lebih tertarik pada tayangan singkat yang langsung menayangkan klimaks.

“Manusia secara dasar punya rasa ingin tahu, tapi ingin cepat tuntas. Nah, hal inilah yang bikin seseorang merasa puas dengan short period yang langsung mendapat result,” ujarnya. Efnie juga mencatat tren ini dimulai dari media sosial, seperti TikTok, yang awalnya hanya berdurasi satu menit dan kini berkembang ke media sosial lain, seperti YouTube Shorts.

Tak semua aplikasi OTT yang memasarkan dracin ini berizin. “Layanan OTT di Indonesia diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Digital. Tapi apakah OTT drama dan hiburan ini sesuai dengan nilai-nilai atau norma masyarakat Indonesia?” ucap Alfons Tanujaya, pengamat keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, kepada Tempo, Sabtu, 8 Februari 2025.

Alfons menyoroti lemahnya regulasi terhadap OTT hiburan. Berbeda dengan film di bioskop yang diawasi oleh Lembaga Sensor Film, konten OTT hiburan berseliweran nyaris tanpa kontrol. Praktik ini, kata dia, disebabkan oleh peredaran serial drama yang sangat cepat dan multinegara sehingga masyarakat sulit membedakan serta mengidentifikasi aplikasi mana yang resmi. “Asalkan ada di Play Store atau App Store, secara tidak langsung dianggap bisa untuk dikonsumsi,” tuturnya.

Alfons menjelaskan, peraturan mengenai pengawasan iklan OTT di Indonesia masih abu-abu. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang mengawasi penyiaran televisi dan radio, tapi tidak untuk platform OTT asing sehingga terjadi ketimpangan. “Konten di platform lain diawasi oleh KPI. Namun justru platform yang paling banyak diakses masyarakat dalam mengkonsumsi media dan hiburan malah tidak bisa diawasi karena kurangnya payung hukum,” kata Alfons.

Pengawasan, dia melanjutkan, dibutuhkan karena banyak materi bermasalah pada iklan OTT. Misalnya, mempertontonkan adegan kekerasan, ujaran kebencian, dan perilaku lain yang secara normatif tidak akan lolos sensor di televisi atau bioskop.

Ada juga risiko keamanan siber yang mengintai pengguna yang tergiur mengunduh aplikasi OTT asing. “Secara teknis, memungkinkan bagi aplikasi menyebarkan malware atau mengumpulkan data penggunanya,” ujar Alfons. Namun, ia menambahkan, OTT dengan jumlah pengguna besar biasanya berpikir dua kali sebelum melakukan aksi ilegal semacam ini karena bisa diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Digital.

Materi yang lebih berbahaya, Alfons melanjutkan, adalah praktik abu-abu yang sulit dilacak. Misalnya, iklan bermuatan pornografi dan game yang lama-kelamaan mengarah ke judi online. “Karena ini memang menjadi sumber pendapatan aplikasi.”

Tempo menghubungi Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital Alexander Sabar untuk menanyakan regulasi iklan OTT asing. Namun, hingga artikel ini ditulis, belum ada jawaban.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus