Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tak Bisa Dicegah, Hipotermia Saat Mendaki Bisa Dilawan dengan Ini

Tiga pendaki berusia remaja ditemukan tewas di kawasan Gunung Tampomas, Sumedang, diduga karena hipotermia.

4 Maret 2019 | 17.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi hipotermia. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tiga pendaki berusia remaja ditemukan tewas di dalam tenda di kawasan Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu, 3 Maret 2019. Mereka meninggal diduga akibat kedinginan atau terserang hipotermia.

Baca: 3 Pendaki Korban Hipotermia di Gunung Tampomas Remaja Indramayu

Juru Bicara Kantor Badan SAR Nasional Bandung, Joshua Banjarnahor mengatakan, ketiga korban yang belum teridentifikasi itu pertama kali ditemukan dalam kondisi meringkuk seperti menahan dingin.

"Korban MD (meninggal dunia) dikarenakan hipotermia, korban diperkirakan berumur belasan, posisi korban meringkuk sambil menahan kedinginan," kata Joshua.

Hipotermia memang salah satu yang penting diwaspadai para pendaki gunung. Hipotermia adalah kondisi darurat medis saat tubuh gagal mengembalikan suhu panas tubuh karena rendahnya suhu lingkungan. Ini menyebabkan suhu tubuh seseorang turun drastis.

Dokter spesialis kedokteran olahraga, Michael Triangto, mengatakan hipotermia adalah suatu keadaan yang harus dihadapi saat mendaki gunung. "Tidak bisa dicegah, tapi bisa dilawan dengan baju dingin beberapa lapis dan tidak memberatkan," kata Michael kepada Tempo beberapa waktu lalu.

Michael menjelaskan, untuk melawan hipotermia setiap pendaki disarankan melakukan aklimatisasi atau penyesuaian tubuh terhadap sesuatu yang ada di ketinggian. "Mulai mendaki dari gunung yang lebih rendah, berlatih, baru kemudian di gunung yang tinggi," ujarnya.

Pendaki sebaiknya juga dapat mengatur metabolisme tubuh dengan meminum air yang cukup. "Jangan sampai dehidrasi, karena tanpa disadari buang air kecil yang banyak atau sering dapat membuat dehidrasi," kata dia.

Sebab, Michael melanjutkan, saat dehidrasi di ketinggian akan mengalami penipisan oksigen. Hal ini akan membuat seseorang kesulitan bernapas. "Gejala yang dialaminya seperti pusing dan sakit kepala."

Cara lain menghadapi hipotermia adalah dengan berlatih di tempat yang tinggi, misalnya jogging atau berlari. Hal itu akan menghasilkan sel darah merah yang lebih banyak. Sel darah merah ini nantinya yang akan mengikat oksigen. "Karena saat di ketinggian, oksigen yang tipis pasti terjadi," ujarnya.

Menurut Michael, orang yang tinggal di ketinggian akan memiliki hemoglobin tinggi. "Mereka sudah terbiasa,” kata dia. Sedangkan orang yang hidup di dataran rendah sel darah merahnya lebih sedikit, sehingga mereka perlu aklimatisasi setiap akan naik gunung.

Udara atau oksigen yang tipis, Michael menjelaskan, akan membuat denyut jantung lebih cepat. Hal ini akan berbahaya jika ditambah hipotermia. "Ujung jari akan menjadi sangat beku dan bisa diamputasi."

Jika sudah berada di puncak gunung, sebaiknya pendaki tidak berlama-lama berada di sana. “Oksigennya tipis,” kata dia. Jadi, "Setelah selesai (sampai di atas) sebaiknya langsung turun lagi. Umumnya begitu, tidak lama-lama," ujarnya.

Baca3 Pendaki Tampomas Ditemukan Tewas di Tenda, Diduga Hipotermia

SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA | YUDONO YANUAR | AFRILIA SURYANIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus