Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ada anggapan bahwa label fashion berkelanjutan yang membuat koleksi ramah lingkungan pasti mematok harga yang lebih mahal dari rata-rata. Bagaimana para pelaku fashion menyikapinya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Chitra Subyakto, pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang, mengatakan bahan ramah lingkungan demi fashion berkelanjutan memang lebih mahal dibandingkan bahan lain seperti poliester.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bahan fashion berkelanjutan seperti tencel, linen, katun, tidak semurah poliester karena pengolahannya lebih banyak memakan waktu dan energi supaya ujung-ujungnya tidak jadi sampah," kata Chitra dalam konferensi pers Tinkerlust, Selasa 22 September 2020.
Namun, barang-barang tersebut bisa mengurangi limbah tekstil. Chitra menuturkan, berdasarkan penelitian sampah di Indonesia oleh Greenpeace, sampah tekstil adalah salah satu yang dominan, selain sampai plastik sekali pakai. "Banyak brand pakai poliester karena harganya terjangkau, tapi ujung-ujungnya jadi sampah abadi dan itu menyakiti kita semua."
Untuk berkontribusi kepada bumi, setidaknya seimbangkan antara pilihan produk fashion yang akan dibeli. Jika masih punya barang fast fashion, coba gunakan juga produk dari bahan ramah lingkungan yang tahan lama dan tak mudah berakhir di tempat sampah.
Secara otomatis, masa pakainya juga bisa lebih panjang sehingga berkontribusi mengurangi limbah tekstil. "Pakailah produk setidaknya 10 bulan, kita sudah kurangi emisi karbon gas 10 persen."
Chitra memilih untuk membuat busana yang gayanya tak lekang dimakan zaman dengan bahan ramah bumi agar bisa dipakai kapan pun, tak tergerus dengan tren yang cepat berganti.
Samira Shihab, CEO sekaligus Co-Founder marketplace daring Tinkerlust, mengatakan fashion berkelanjutan di Indonesia masih belum selazim di Eropa atau Amerika Serikat. Namun kondisinya sudah lebih baik dibandingkan satu dekade lalu. "Dulu fast fashion banyak, orang banyak beli karena gaya, bukan kualitas. Misi kami adalah mengajari konsumen bagaimana membuat perubahan kecil dalam hidup."
Platform tersebut awalnya dibuat untuk menjual barang-barang fashion bekas hasil kurasi yang masih laik pakai.
Aliya Amitra, COO dan Co-Founder Tinkerlust, menuturkan saat itu masih banyak orang yang malu membeli barang bekas meski platform tersebut menjamin kualitasnya tak kalah dengan barang baru.
Membeli baju bekas, meminjam, menyewa, bertukar atau menjahit sendiri adalah alternatif memberi baju baru, implementasi slow fashion demi mengurangi sampah fashion dan limbah tekstil yang digaungkan oleh komunitas Zero Waste Indonesia. Lewat ajakan ini, orang-orang diajak untuk membeli baju baru sesuai kebutuhan, bukan sekadar tergiur tren.