Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Keraton Surakarta Gelar Tradisi Tabuh Gamelan Sekaten, Sempat Diwarnai Insiden

Sekaten merupakan rangkaian menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini sudah ada sejak Mataram Islam dan Kerajaan Demak.

9 September 2024 | 20.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Solo - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar tradisi Ngungelaken Gangsa atau mengeluarkan dan menabuh untuk pertama kali pusaka gamelan Sekaten yang bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, Senin, 9 September 2024. Ritual yang dihelat di halaman Masjid Agung itu biasanya dilangsungkan menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ritual tersebut juga sebagai penanda dimulainya tradisi budaya Sekaten dan Hajad Dalem Gerebeg Maulud yang akan diselenggarakan Senin, 16 September 2024. Dua gamelan pusaka itu dibawa dari Keraton Surakarta ke bangsal Pradangga atau Pagongan Masjid Agung. Di lokasi itu, kedua gamelan akan ditabuh nonstop selama tujuh hari enam malam.

Insiden Saling Dorong

Namun, ditabuhnya dua pusaka Keraton Surakarta itu sempat diwarnai insiden saling dorong dan pukul antara kubu Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari atau Gusti Moeng, dengan kubu Raja Paku Buwono (PB) XIII yang diwakili Kanjeng Pangeran Haryo Raditya Lintang Sasongko. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gesekan dipicu aksi protes pihak PB XIII yang merasa mendapatkan titah atau perintah untuk membunyikan dua gemelan pusaka Sekaten, tetapi didahului pihak LDA. 

Pantauan Tempo, gesekan bermula saat LDA menabuh gamelan sekaten tiba-tiba didatangi perwakilan PB XIII, Kanjeng Haryo, yang memprotes ditabuhnya gemelan tersebut. Padahal, ia merasa yang berhak memulai menabuh gamelan tersebut dengan dibuktikannya adanya surat perintah langsung dari PB XIII.

Aksi protes itu pun mendapat respons kubu LDA dengan menarik Kanjeng Haryo keluar halaman parkir Masjid Agung. Pendukung keduanya bahkan terlibat adu mulut dan saling pukul. Gesekan tak berlangsung lama setelah TNI dan Polri melerai dan Kanjeng Haryo meninggalkan lokasi dengan wajah kecewa.

“Saya dapat perintah langsung dari Sinuhun (PB XIII) untuk memulai gongso (menabuh gemelan), kenapa harus harus diwiwiti (dimulai) dulu. Adatnya, saya diutus (perintah) dari Masjid Agung baru menabuh gamelan, benar atau tidak. Ini dawuh (perintah) PB XIII, kok dimulai sendiri (LDA),” kata Kanjeng Haryo.

Ia memastikan kejadian ini tidak bisa dibiarkan. Terlebih aturan penabuhan sekaten dimulai dari Masjid Agung Keraton Surakarta. 

“Saya sudah sesuai adat, kalau ini menyalahi adat. Keraton Surakarta itu harus sesuai dawuh Sinuhun. Perintahnya sudah jelas pada saya,” katanya. 

Miskomunikasi

Perwakilan LDA Keraton Surakarta, Kanjeng Pangeran Eddy Wirabhumi di Solo, menyebut masalah ini hanya karena miskomunikasi.

“Ini salah miskomunikasi saja. Karena saya mendengar sendiri yang mendapatkan perintah menabuh gemelan sekaten. Lalu ada yang protes. Jadi mungkin yang protes ndak tahu kalau dawuhnya (perintah) dari sana tadi Kanjeng Sinuhun (PB XIII) itu saja,” ungkap dia.

Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Dipokusumo mengatakan, sesuai aturan, yang mendapatkan perintah PB XIII membuka penabuhan gamelan sekaten adalah Kanjen Haryo. Namun, yang terjadi seperti itu. 

“Kalau saya sesuai SOP saja, sesuai dawuh Ndalem dalam hal ini yang ditugaskan adalah menantu PB XIII (Kanjeng Haryo). Sah secara prosedur. Memang terjadi seperti itu ditabuh dulu kita lihat nanti,” kata Gusti Dipo.

Tradisi Sekaten

Dia menjelaskan dua gamelan ini akan dibunyikan selama sepekan atau tanggal 9-15 September.

"Dua pusaka gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari kami keluarkan untuk ditabuh selama tujuh hari ke depan sebagai penanda dimulainya adat budaya Sekaten, yang masuk warisan budaya dunia tak benda UNESCO,” kata dia.

Ia menambahkan, sekaten ini merupakan rangkaian menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini sudah ada sejak Mataram Islam dan Kerajaan Demak.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus