Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Keuntungan dari Kenaikan PPN 12 Persen Dinilai Tak Sepadan dengan Dampak Buruknya

Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN 12 untuk meningkatkan penerimaan perpajakan dan mendongkrak rasio pajak.

24 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi unjuk rasa Warga Sipil Menggugat di depan Istana Negara, Jakarta, 19 Desember 2024. Aksi damai ini menuntut pemerintah membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025. Hal ini dinilai akan memicu lonjakan harga barang dan jasa yang memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendongkrak rasio pajak. Namun sejumlah analisis menilai strategi ini tidak sepadan dengan dampak buruk yang bakal terjadi. Dampak tersebut antara lain daya beli melemah, potensi inflasi, hingga meningkatnya kesenjangan ekonomi.

Direktur lembaga kajian kebijakan Next Policy Yusuf Wibisono menilai kebijakan ini hanya jalan pintas untuk meningkatkan penerimaan perpajakan yang stagnan selama satu dekade terakhir. Yusuf menyarankan pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tahun depan. “Tambahan penerimaan dari kenaikan tarif ini berpotensi tidak sepadan dengan dampaknya, mulai dari semakin lemahnya daya beli masyarakat, potensi inflasi, hingga meningkatnya kesenjangan ekonomi,” ujar Yusuf dalam keterangan tertulis pada Senin, 23 Desember 2024.

Tercatat rasio pajak pada 2023 hanya sebesar 10,21 persen dari produk domestik bruto (PDB), turun dari tahun sebelumnya di angka 10,39 persen. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan rasio pajak pada awal pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi pada 2015, yaitu 10,76 persen terhadap PDB.
 
Setelah kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, penerimaan dari PPN meningkat dari 3,25 persen dari PDB pada 2021 menjadi 3,51 persen dari PDB pada 2022. Sedangkan pada 2023, penerimaan dari PPN mencapai 3,62 persen dari PDB.
 
Namun, peningkatan itu diikuti stagnasi dan penurunan kinerja penerimaan pajak penghasilan (PPh). Penerimaan PPh sebelumnya sempat meningkat dari 4,10 persen dari PDB pada 2021 menjadi 5,10 persen dari PDB pada 2022. Kemudian, angka tersebut stagnan di 5,03 persen pada 2023, dan diproyeksikan turun menjadi 4,70 persen dari PDB pada 2024.
 
Pemerintah menargetkan kenaikan penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp 61,5 triliun pada 2024. Jumlah itu berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2023 dan Perpres Nomor 201 Tahun 2024. Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, target tersebut diharapkan naik menjadi Rp 133,8 triliun pada 2025.
 
Sebagian besar kenaikan target pendapatan PPN 2025 berasal dari PPN dalam negeri, yang diproyeksikan naik sebesar Rp 115,7 triliun tahun depan dibandingkan kenaikan tahun ini sebesar Rp 31,0 triliun. Sedangkan target pendapatan PPnBM dalam negeri justru turun menjadi Rp 9,8 triliun.
 
Yusuf berpandangan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN di tengah penurunan target pendapatan PPnBM bersifat kontradiktif. Menurut dia, PPN seharusnya ada untuk menciptakan keadilan fiskal, bukan sekadar sarana untuk mengejar penerimaan negara. “Ironis jika pemerintah justru menurunkan target pendapatan PPnBM yang sejatinya ditujukan untuk barang mewah,” kata dia.
 
Bersamaan dengan kenaikan PPN, pemerintah juga bakal menerapkan insentif untuk barang mewah di sektor otomotif tahun depan. Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) akan mendapat berbagai insentif, termasuk PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) 10 persen, PPnBM DTP 15 persen untuk KBLBB yang diimpor secara utuh (Completely Built Up atau CBU) dan dalam bentuk komponen rakitan (Completely Knock Down atau CKD), serta bea masuk 0 persen untuk KBLBB CBU.
 
Mobil CBU biasanya merupakan mobil mewah seperti Porsche hingga Lamborghini. Sementara, mobil CKD biasanya lebih terjangkau karena dibuat di Indonesia dari komponen yang diimpor. Selain itu, kendaraan bermotor hybrid akan diberikan insentif berupa PPnBM DTP sebesar 3 persen.
 
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menilai penerapan PPnBM DTP tidak kontradiktif dengan keputusan untuk menerapkan PPN 12 persen pada barang mewah. Menurut dia, fungsi insentif ini adalah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
 
Ia menjelaskan, pemerintah melakukan hal ini untuk mendorong pertumbuhan pada kuartal keempat 2024 dan kuartal pertama 2025. “Jadi sektor-sektor yang dipilih (untuk insentif pajak) itu yang memang berkontribusi besar terhadap PDB yakni properti, otomotif, sektor padat karya,” kata Susi di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, pada Jumat, 6 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nabiila Azzahra

Nabiila Azzahra

Reporter Tempo sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus