Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Sengkarut Panjang Lahan Pesantren Markaz Syariah FPI di Megamendung

Markaz Syariah FPI pernah mengurus sertifikat lahan di Megamendung ke Badan Pertanahan Nasional. Namun upaya itu gagal.

24 Desember 2020 | 12.47 WIB

Ribuan jamaah menyambut kedatangan Pemimpin FPI Rizieq Shihab di jalur Puncak, Simpang Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat 13 November 2020. Kedatangan Rizieq ke Pondok Pesantren (Ponpes) Alam Agrokultural Markaz Syariah DPP FPI, Megamendung, Kabupaten Bogor untuk melaksanakan salat Jumat berjamaah sekaligus peletakan batu pertama pembangunan masjid di Ponpes tersebut. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Perbesar
Ribuan jamaah menyambut kedatangan Pemimpin FPI Rizieq Shihab di jalur Puncak, Simpang Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat 13 November 2020. Kedatangan Rizieq ke Pondok Pesantren (Ponpes) Alam Agrokultural Markaz Syariah DPP FPI, Megamendung, Kabupaten Bogor untuk melaksanakan salat Jumat berjamaah sekaligus peletakan batu pertama pembangunan masjid di Ponpes tersebut. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - PT Perkebunan Nusantara VII atau PTPN telah mengajukan surat somasi untuk Front Pembela Islam (FPI) terkait keberadaan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI di Megamendung, Bogor. PTPN menyebut pondok pesantren pimpinan Imam Besar FPI Rizieq Shihab tersebut berdiri di lahan PTPN VIII.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bahkan surat somasi diberikan kepada seluruh pihak yang menempati tanah PTPN VIII di kawasan perkebunan Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor. "Dengan ini kami sampaikan bahwa PT Perkebunan Nusantara VIII telah pembuatan surat somasi kepada seluruh okupan di wilayah perkebunan Gunung Mas, Puncak," ujar Sekretaris Perusahaan PTPN Naning DT, Kamis, 24 Desember 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konflik antara PTPN dengan Front Pembela Islam ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Majalah Tempo edisi Februari 2017 pernah menurunkan laporan terkait sengketa ini. Laporan itu menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Markaz Syariah FPI pada 2015, pembangunannya telah diwarnai sejumlah masalah.

Melansir laporan Majalah Tempo edisi Februari 2017, lahan yang kini dikuasai Markaz Syariah sebelumnya merupakan lahan PTPN yang diserobot penduduk sekitar. Hingga 1998, seluruh area Gunung Mas masih dikuasai PTPN.

Setelah reformasi, sejumlah area ditempati masyarakat secara ilegal. Dari 1.623 hektare lahan milik PTPN di sana, yang diserobot mencapai 352 hektare. "Tapi di BPN sertifikatnya masih atas nama PTPN," kata Gunara, Direktur Manajemen Aset PTPN VIII saat itu.

Para penggarap ilegal itu kemudian menjual lagi lahan melalui calo tanah kepada orang Bogor dan Jakarta yang ingin bangun vila di sana. Sebenarnya, Markaz Syariah pernah mengurus sertifikat lahan di Megamendung ke Badan Pertanahan Nasional. Namun upaya itu gagal karena lahan masih tercatat atas nama PTPN.

Pada 21 Mei 2013, Markaz Syariah FPI menyurati PTPN untuk meminta hak guna lahan seluas 33 hektar dengan dalih corporate social responsibility (CSR). Namun permohonan atas nama CSR itu tak digubris PTPN.

Markaz Syariah kembali menyurati PTPN pada April 2014. Kali ini mereka mengajukan proposal baru. Persil yang diminta kali ini bukan lagi 33 hektar melainkan 40 hektare. Namun PTPN tetap tak merespons permintaan itu.

Pada 1 April 2016, Markaz Syariah Front Pembela Islam kembali mencoba usahanya. Kali ini mereka memberi tahu PTPN bahwa mereka telah mengambil alih lahan garapan masyarakat seluas 50 hektar di Afdeling Cikopo Selatan. Dalam suratnya, Markaz Syariah FPI mengabari bahwa mereka telah membangun pembangkit listrik 157 ribu watt untuk menerangi pesantren, mendirikan sejumlah bangunan di kompleks pesantren, dan mengaspal jalan sepanjang 7 kilometer dengan lebar 6 meter. Semua surat diteken oleh Rizieq Shihab selaku pengasuh pesantren.

Empat tahun lebih berselang, PTPN akhirnya memilih mensomasi FPI atas keberadaan Markaz Syariah. Dalam surat somasi bernomor SB/I.1/6131/XII/2020 tanggal 18 Desember 2020 itu, PTPN VIII menyebut lahan Ponpes FPI adalah aset mereka berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.

Direktur PTPN VII I Mohammad Yudayat yang menandatangani surat itu meminta pimpinan ponpes menyerahkan kembali lahan tempat berdirinya pesantren.

Kuasa Hukum FPI Aziz Yanuar mengatakan surat somasi dari PTPN VIII itu diterimanya pada Selasa 22 Desember. Namun Aziz membantah ponpes milik Rizieq Shihab itu telah menyerobot lahan milik PTPN VIII.

Menurut Aziz, perihal status sertifikat lahan berdirinya Ponpes Agrokultural itu sudah dijelaskan oleh Rizieq Shihab saat peletakan batu pertama pembangunan masjid di kompleks ponpes itu pada 13 November lalu. Aziz menyebut HGU lahan tersebut memang milik PTPN VIII, namun PTPN menelantarkan lahan tersebut dan tidak pernah menguasai fisik selama 30 tahun.

“Dalam Undang-Undang agraria tahun 1960 kan jelas, jika pemilik HGU menelantarkan maka kepemilikan HGU akan dibatalkan. Otomatis klaim PTPN batal dengan sendirinya,” kata Aziz ketika dihubungi Tempo, Rabu, 23 Desember 2020.

Menurut Aziz, UU Agraria tahun 1960 itu menyebutkan jika lahan kosong tidak ada kepemilikan dan digarap dan dimanfaatkan oleh masyarakat selama 20 tahun maka masyarakat berhak untuk mengajukan sertifikat kepemilikan lahan tersebut. Pada saat tanah itu dijual kepada Rizieq Shihab, Aziz mengklaim, masyarakat sudah menggarap lahan yang ditelantarkan PTPN VIII selama lebih dari 30 tahun.

"Kita bangun Ponpes di lahan itu bukan merampas, tapi membayar kepada petani yang datang dengan membawa surat yang ditandatangani oleh Pejabat setempat dan dokumennya lengkap, sudah ditembuskan ke Bupati dan Gubernur sebagai perwakilan institusi Negara," kata Aziz.

Ia pun menuding PTPN berbuat zalim karena ingin mengusir mereka dari lahan tersebut. Aziz menyebut FPI siap melepas lahan tersebut jika dibutuhkan negara, namun meminta PTPN lakukan ganti rugi uang yang sudah dikeluarkan untuk beli over-garap tanah dari petani dan biaya pembangunan yang telah dikeluarkan. "Agar biaya ganti rugi tersebut bisa kami gunakan untuk membangun kembali pesantren Markaz Syariah di tempat lain," kata Aziz.

LANI DIANA | MAHFUZULLAH AL MURTADHO | MAJALAH TEMPO

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus