Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Sejak zaman dulu, orang Indonesia suka sekali membuat arsip. Tradisi ini salah satunya ditunjukkan masyarakat Bali yang gemar menulis di dinding-dinding kayu, termasuk saat menatah nama anak mereka yang baru lahir pada dinding-dinding kayu rumah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Namun sejak zaman Hindia-Belanda, tradisi itu surut karena ingatan kita sudah diambil alih penguasa Belanda. Kita sedang kehilangan kebudayaan arsip,” kata kritikus seni, Agus Dermawan T. saat tampil sebagai pembicara dalam Ngobrol@Tempo yang mengangkat tema "Arsip Seni sebagai Warisan Budaya", di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, Selasa, 31 Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara yang diadakan Museum Basoeki Abdullah dan Tempo ini juga menghadirkan Direktur Kesenian Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan, kolektor seni, Ciputra, dosen Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, dan kurator museum MACAN (Modern and Contemporary Art in Nusantara), Agung Hujatnikajennong.
Agus menuturkan hilangnya kebudayaan arsip juga terjadi di bidang seni. "Pelukis kita jarang memuat informasi tentang jumlah lukisan yang mereka pamerkan dalam katalog pameran, padahal itu bagian dari pengarsipan seni," ujarnya.
Hal senada dikatakan Agung. Menurut dia, pencantuman jumlah lukisan dalam katalog pameran penting sebagai bagian dari pengarsipan seni. "Itu bisa menunjukkan otentisitas karya seni yang dipamerkan pelukis," ucapnya.
Sementara Agus Aris Munandar mengatakan arsip seni sebagai warisan budaya tidak hanya mewariskan budaya berupa benda seni, tapi lebih dari itu adalah nilai-nilai budaya. "Jangan dilihat bendanya saja tapi nilai-nilainya," tuturnya.
Sedangkan Restu menuturkan seniman dan pelukis Indonesia perlu membuat narasi dalam setiap karya yang mereka buat. "Narasi tersebut penting agar karya lukis sebagai bagian dari arsip seni dan warisan budaya bisa dinikmati generasi muda," katanya.
Ciputra juga menilai arsip seni memiliki nilai estetika. "Dibandingkan dengan arsip tulis, membuat arsip seni lebih menyenangkan," ujar lelaki yang pernah membuat arsip seni saat melakukan korespondensi dengan pelukis Hendra Gunawan.
Agus menambahkan pengarsipan seni yang dilakukan Basoeki Abdullah patut dicontoh pelukis muda Indonesia. "Selain melukis, Basoeki Abdullah rajin menulis di koran-koran Belanda. Itu bagian dari pengarsipan seni," ucapnya.
Acara diskusi ini merupakan pra-event pameran bertajuk “Lacak!!! Dokumentasi Maestro Basoeki Abdullah” yang akan diadakan di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, mulai 7-21 November 2017.
Dian Ardianto selaku co-curator pameran mengatakan kata “lacak” dipilih karena memiliki makna tersendiri. "Ibarat perintah, kata ‘lacak’ untuk menambah rasa gereget, gemas, sekaligus semangat, dan ketertarikan untuk menemukan serta membaca kembali jalan pedang Basoeki Abdullah melalui dokumen yang dipamerkan," katanya.
Dian menuturkan pameran “Lacak!!! Dokumentasi Maestro Basoeki Abdullah” terbagi menjadi empat tema, yaitu “Aku”, “Daya”, “Rupa”, dan “Masyhur”. "Pada tema ‘Daya’ akan ditampilkan proses kreatif Basoeki Abdullah saat melukis," tuturnya.
Semasa hidupnya, pelukis kelahiran Solo, 27 Januari 1915, ini pernah berujar, "Saya berjuang untuk negara saya tidak pakai senjata, tapi senjata saya kebudayaan, budaya seni." (*)