Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Moralitas ada sebagai keniscayaan dalam pikiran manusia.
Membedakan baik dan buruk tak selalu harus terpengaruh oleh ajaran.
Seseorang yang tak bersentuhan dengan manusia lain selama hidup bisa punya moralitas.
ADA seorang anak manusia bernama Hayy ibn Yaqzan. Sejak bayi, ia tinggal di sebuah pulau terpencil, tanpa pernah bertemu dengan manusia lain. Berbeda dengan cerita Tarzan dalam Disney yang dibesarkan oleh primata besar, Hayy dibesarkan oleh seekor rusa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika dewasa, Hayy meninggalkan pulau itu dan terdampar di sebuah daratan peradaban manusia. Yang mengejutkan adalah, meski sama sekali tak pernah berjumpa dengan manusia lain, Hayy memiliki nilai-nilai yang mirip dengan pandangan manusia pada umumnya. Ia memahami konsep tuhan dan moralitas meski ia tak membaca teks agama atau filsafat. Ia mengetahui apa itu baik dan buruk tanpa diajari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hayy tentu saja adalah karakter fiksi. Ia muncul dalam novel karangan Ibn Tufayl, pemikir asal Andalusia, Spanyol, abad ke-13. Dalam novel filsafat yang disusun dalam tiga kelompok puisi itu, Ibn Tufayl sebenarnya ingin mengatakan bahwa tanpa informasi dan wahyu, hanya berdasarkan akal budi dan nurani, manusia bisa menemukan nilai kebenaran.
Intinya, menurut Ibn Tufayl, kemampuan untuk memilah baik dan buruk, atau soal moralitas, adalah sesuatu yang alamiah, semacam insting dalam diri manusia.
Moralitas mirip gravitasi, yang sudah ada di dunia miliaran tahun yang lalu, jauh sebelum Isaac Newton menemukan dan mempublikasikannya pada abad ke-17. Newton tidak menciptakan gravitasi, ia menemukannya. Demikian juga—menurut Ibn Tufayl—agama dan para filsuf hanya menemukan dan mencatatkan moralitas, bukan menciptakan.
Tentu saja pandangan seperti yang diyakini oleh Ibn Tufayl dianggap usang. Sebagian besar pemikir dan filsuf etika modern menganggap moralitas adalah sesuatu yang diciptakan manusia (invented), bukan sesuatu yang sudah ada dalam diri manusia dan menunggu diungkap (discovered). Hal itu yang hendak dijelaskan oleh Hanno Sauer dalam The Invention of Good and Evil: A World History of Morality.
Sauer seolah-olah ingin menjawab (atau membantah) pernyataan Nietzsche: “[Moralitas] adalah satu-satunya hal yang tak memiliki sejarah yang bisa dijelaskan.” Sebaliknya, menurut Sauer, “Moralitas memiliki sejarah yang kaya, dan karenanya terlalu rumit didefinisikan secara gamblang.”
Sejak awal Sauer sudah mewanti-wanti bahwa cerita yang hendak ia kisahkan dalam bukunya ini bukan tentang perjalanan filsafat etik atau filsafat moral. Ia juga tak ingin bercerita tentang kodifikasi moral seperti dalam Undang-Undang Hammurabi, Sepuluh Perintah Tuhan, dan lain sebagainya. Yang hendak dia jelaskan adalah bagaimana segala sesuatu yang terjadi di bumi ini—perubahan iklim, ekonomi, peperangan, politik, dan teknologi—berpengaruh pada penciptaan moralitas. Semua yang terjadi berpengaruh pada bagaimana manusia menentukan mana yang baik dan buruk.
Moralitas, karena itu, tidak seperti kertas kosong. Ia lebih mirip palimpsest, kertas bekas yang berkali-kali ditulisi dan dihapus, yang membuat semuanya terlihat kabur dan susah dilacak.
Kalaupun ada satu hal yang tak pernah berubah adalah moralitas selalu menggoda kita untuk menciptakan liyan, mereka yang berada di luar. “Sekali belajar mengucapkan ‘kita’, maka kita dituntut untuk mengucapkan ‘mereka’,” tulisnya. Hal ini muncul sejak 500 ribu tahun lalu, ketika cikal bakal manusia belum mengembangkan sistem punishment yang berguna untuk mengontrol moralitas (Chapter 2: 500.000 Years).
Ironisnya, godaan untuk me-liyan-kan ini tidak pupus ketika manusia berusaha membuat nilai yang lebih universal dan berlaku untuk semua orang (Chapter 6: 50 Years). Dalam 50 tahun terakhir, kita berusaha mati-matian menjadikan kesetaraan—gender, ekonomi, politik, asal-usul, dan lain-lain—sebagai prioritas moralitas kita. Masalahnya, hal itu tak mudah dilakukan.
“Kesulitan mengatasi ketidaksetaraan sosial yang tetap ada itu memunculkan kecurigaan pada mereka yang tidak memperjuangkan nilai yang sama,” tulis Sauer. Hal ini kemudian yang tetap memunculkan “kita” dan “mereka”.
Kita tentu bukan Hayy yang kecewa pada implementasi moralitas dalam masyarakat beradab, lalu memilih kembali ke pulau yang terpencil. Seperti halnya palimpsest, kita saat ini dan manusia di masa depan akan menghapus apa yang tak cocok dan menuliskan lagi standar kebaikan dan keburukan lain. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo