Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, bisa terjadi kapan saja, bahkan sejak tahap wawancara kerja. Apalagi terhadap kelompok yang lebih rentan, yakni penyandang disabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, mereka juga perlu mencari nafkah, ingin memanfaatkan keterampilan, dan memberi kontribusi kepada masyarakat. Namun nyatanya, keterbatasan mereka malah menjadi sasaran perilaku diskriminatif, pelecehan, dan kekerasan di dunia kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data katadata.co.id, pada 2020, sebanyak 28,37 persen pekerja disabilitas memutuskan untuk bekerja sendiri dan sebanyak 20,68 persen bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai. Kemudian sebanyak 18,76 persen merupakan pekerja keluarga, 5,36 persen pekerja bebas pertanian, 3,96 persen pekerja bebas non-pertanian, dan 3,08 persen berusaha dibantu buruh tetap.
Adapun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2022, dari 17 juta penyandang disabilitas yang telah memasuki usia produktif, hanya 7,6 juta memilih untuk bekerja. Rendahnya tenaga kerja penyandang disabilitas ini tentu menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah lingkungan kerja di Indonesia sudah cukup inklusif, aman, dan nyaman bagi pekerja dengan disabilitas?
Selain itu, perlu ditelusuri kembali implementasi amanat Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada Pasal 53 ayat 1 dinyatakan, bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2 persen dari jumlah pegawai.
International Labour Organization (ILO), menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia telah mengadopsi sejumlah peraturan perundangan, kebijakan, standar, dan prakarsa terkait penyandang disabilitas. Namun, banyak pasal-pasal dari peraturan undang-undang ini masih berperspektif amal atau kemurahan hati (charity-based).
Seperti, Undang-Undang No. 4/1997 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah 43/1998 tentang Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas; Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang No.25/2009 tentang Layanan Publik; Undang-Undang No.28/2002 tentang Pembangunan Gedung; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-205/MEN/1999; dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 01.KP.01.15.2002.
Dari banyaknya perlindungan hukum tersebut, belum ada satu pun yang mengatur tentang diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan kepada pekerja disabilitas. Sehingga, masalah tersebut bisa menghambat mereka untuk ikut berpartisipasi dalam pasar kerja.
Konvensi ILO 190 yang berjudul “Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” adalah perjanjian internasional pertama, yang mengakui hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Perjanjian ini menjadi standar baru tentang ketenagakerjaan internasional, yang menyoroti peran penting berbagai pihak dalam melawan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk peran pemerintah, pemberi kerja, dan serikat pekerja.
Kehadiran KILO 190 menjadi relevan untuk melengkapi hukum pidana dan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, mengingat kerentanan pekerja Indonesia yang masih tinggi dan banyaknya korban yang sulit mendapat keadilan. Karena itu, lingkungan kerja yang produktif dan layak, tentunya juga bisa mewujudkan aspirasi para pekerja disabilitas, agar mereka terus berpartisipasi dalam masyarakat.
Saatnya, bersama-sama mendesak pemerintah Indonesia untuk menjamin dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, dengan menandatangani petisi ini. Sebarkan petisi ini, agar pemerintah Indonesia segera meratifikasi instrumen KILO 190. Selain itu, mari berpartisipasi dalam survei ini untuk turut serta memetakan dan memutus mata rantai kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. (*)
Petisi Lawan Predator Dunia Kerja.