Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam Isu Utama Pembangunan di Daerah Kepulauan

Pendekatan pembangunan untuk daerah berciri kepulauan perlu dibedakan dengan daerah daratan. #Infotempo

16 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jembatan Emas di Pangkalbalam, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia adalah negara kepulauan. Sebab itu, pendekatan pembangunan untuk daerah berciri kepulauan perlu dibedakan dengan daerah berciri daratan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, mengatakan pendekatan pembangunan untuk daerah berciri kepulauan perlu dibedakan dengan daerah daratan. Menurut dia, ada enam enam isu utama dalam pembangunan di daerah berciri kepulauan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya memaparkan pokok-pokok pikiran bagaimana kami membangun atau berkolaborasi memajukan Indonesia dari daerah kepulauan," kata Ali Mazi dalam Focus Group Discussion (FGD) RUU Daerah Kepulauan di Jakarta, Senin, 3 Oktober 2022.

Berikut enam isu pembangunan di daerah kepulauan:

1. Ekonomi biaya tinggi

Ongkos logistik di Indonesia termasuk ekonomi biaya tinggi. Kebutuhan logistik karena sarana transportasi yang belum memadai memakan hingga 25 persen dari ongkos produksi dasar. Padahal di negara lain kurang dari 15 persen.

2. Besarnya potensi daerah yang tidak diiringi peningkatan kesejahteraan masyarakat

Delapan daerah berciri kepulauan yang tergabung dalam BKS Provinsi Kepulauan memiliki sumber daya alam yang besar. Di antaranya minyak bumi, gas alam, pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, pariwisata, dan sebagainya.

Untuk sektor perikanan saja, Ali Mazi mengatakan, terdapat sebelas potensi yang dapat dikembangkan dengan estimasi total pendapatan sebesar US$ 1.338 miliar per tahun. Sebelas potensi itu adalah perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, coastal forestry, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil dan sumber daya non-konvensional.

Sayangnya, di balik potensi yang begitu besar, sebagian besar masyarakat daerah kepulauan masuk dalam kelompok miskin ekstrem, terutama yang tinggal di pulau terluar, terpencil, dan tertinggal (3T). Hal ini berhubungan dengan poin keempat isu utama pada daerah kepulauan.

3. Keterbatasan infrastruktur dasar

Daerah kepulauan mengalami keterbatasan infrastruktur dasar, seperti komunikasi, trasportasi, dan sarana prasarana ekonomi

4. Keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia

Keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia ini merupakan dampak dari rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Kondisinya berbeda dengan daerah berciri non-kepulauan yang lebih mudah mengakses sarana pendidikan. Kondisi ini merembet pada rendahnya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

5. Ancaman kejahatan lintas negara

Ancaman kejahatan lintas negara yang kerap terjadi antara lain penyelundupan dan pencurian ikan, human trafficking, narkoba, dan sebagainya.

6. Interaksi sosial dan ekonomi dengan negara tetangga

Daerah berciri kepulauan dekat dengan sejumlah negara tetangga, yakni Singapura, Malaysia, dan Filipina.

Ali Mazi menambahkan Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia. "Kami berada di posisi strategis Samudera Hindia dan Pasifik," ucapnya. "Dari aktivitas perdagangan global yang melalui laut, 40 persen di antaranya melewati perairan Indonesia."

Cara untuk mendorong pembangunan yang setara dan berkeadilan di daerah kepulauan, Ali Mazi melanjutkan, adalah dengan dukungan regulasi dan kebijakan. "Mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Daerah Kepulauan merupakan entry point pembangunan daerah kepulauan yang mayoritas mewakili wajah Indonesia di wilayah pinggiran," ujarnya.

Ali Mazi mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo yang akan membangun Indonesia melalui pinggiran. "Pinggiran di sini maksudnya adalah daerah-daerah pesisir, daerah kepulauan," tuturnya. "Yang artinya membenahi infrastruktur, sumber daya manusia, sampai regulasinya. Jangan ada inflasi, kemiskinan, dan lainnya."

Dalam membangun daerah berciri kepulauan, Ali Mazi menjelaskan, perlu membangun sinergitas antar-daerah, dukungan dari kementerian/lembaga terkait dan TNI/Polri, BUMN, BUMD, sektor swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan stakeholder lainnya. Dukungan kementerian yang dibutuhkan berasal dari Kementerian Koodinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi; Kementerian Koordinator Perekonomian; Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; serta seluruh kementerian/lembaga di bawah koordinasi empat kementerian koodinator tersebut.

Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara Syamsudin Abdul Kadir mengatakan, RUU Daerah Kepulauan perlu didorong supaya ada manajemen baru tentang pengelolaan kelautan dengan lebih baik demi pembangunan dan perekonomian di daerah. "Tidak ada negara yang kaya atau miskin. Yang ada adalah negara yang di-manage dengan baik dan tidak diurus dengan baik," ujarnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (Apeksindo) Andi Fajar Asti, mengatakan RUU Daerah Kepulauan memberikan sentuhan berbeda kepada masyarakat yang tinggal di kepulauan dan pesisir. "Selama ini, terjadi ketidakikhlasan memberikan kue-kue pembangunan ke kawasan kepulauan dan pesisir," kata dia. "Sebab, katanya di sana sepi, enggak ada penduduknya, jadi tak perlu banyak-banyak anggaran. Dikasih sedikit sajalah kuenya."

Contoh sederhana, menurut Andi Fajar, bagaimana mengatasi persoalan sampah di pantai. Ada bupati dan wali kota yang tidak mau mengurusi persoalan sampah di perairan mereka karena memang bukan wewenangnya. Sebab berdasarkan aturan pembagian teritori laut, radius 0-12 mil dari garis pantai ke tengah laut adalah kewenangan pemerintah provinsi dan lebih dari 12 mil adalah kewenangan pemerintah pusat.

"Pemerintah kabupaten/kota akan bilang, sampai di tepi pantai itu urusan pemerintah provinsi. Lantas apakah gubernur mampu menyelesaikannya? Tidak juga karena berbagai alasan," ujarnya. Di antaranya, lokasi yang jauh dan tidak ada "kepanjangan tangan" untuk melaksanakan tugas itu dari provinsi ke kabupaten/kota.

Kalaupun pemerintah kabupaten/kota berinisiatif menangani urusan sampah di pantai dan perairan di sekitarnya, menurut Andi Fajar, pertanyaan berikutnya adalah dari mana anggarannya? Sebab pemerintah kabupaten/kota juga tidak bisa serta-merta mengambil dana APBD karena tidak ada peruntukannya. Jika mereka mengalokasikan anggaran untuk itu, justru bisa menjadi "temuan" yang dipertanyakan dan tak menutup kemungkinan berujung pada masalah hukum.

Sebagai solusinya, menurut Andi Fajar, pemerintah provinsi dapat melimpahkan beberapa kewenangan ke pemerintah kabupaten/kota beserta kompensasinya. "Ada persoalan-persoalan yang dapat diselesaikan oleh pihak-pihak yang lebih dekat," ujarnya. (*)

Iklan

Iklan

Artikel iklan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus