Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hatib Abdul Kadir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Antropologi Universitas Brawijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerinah mendorong perguruan tinggi menjadi mitra pembangunan demi tumbuhnya industri, energi, pangan, dan inovasi digital. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato konsolidasi fiskal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, Agustus lalu
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengamini pernyataan tersebut. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp541,7 triliun. Sebab riset dan inovasi perguruan tinggi perlu terhubung dengan kepentingan industri serta pembangunan. Lantas bagaimana fungsi ilmu sosial agar mampu menjawab kesempatan tersebut?
Melakukan Kritik Konstruktif
Meski dalam penerapannya cenderung mengikuti cara kerja ilmu sains, ilmu sosial dalam pembangunan sering kali terkunci dalam rumus matematis dan metrik yang terukur. Padahal, pembangunan bukan ilmu murni matematika. Tugas ilmu sosial adalah memberikan kritik terhadap kekurangan dalam pembangunan sehingga terus mengalami perbaikan.
Dalam satu dekade terakhir, ilmu sosial ikut mempengaruhi pembangunan. Pertama, mengubah mentalitas dan motivasi masyarakat. Profesor Tania Li dari Universitas Toronto yang meneliti pembangunan di Sulawesi menyebutnya sebagai “the will to improve”. Ilmu sosial menjadi agen pembangunan yang secara partisipatif mengubah hasrat dan mentalitas masyarakat di tingkatan bawah. Tentunya agar mereka antusias dan mempunyai motivasi terhadap pembangunan.
Hingga 2010, ilmu sosial kerap menggunakan model pembangunan Community-Driven Development (CDD) yang dibiayai oleh Bank Dunia senilai jutaan dolar AS. Banyak ilmuwan sosial, bahkan humaniora seperti etnograf, terlibat dalam pembangunan model CDD tersebut. Pada dekade ini, para ilmuwan sosial telah menghasilkan sejumlah riset fantastis. Persis seperti gerakan misionaris pada abad ke-19. Para ilmuwan sosial merekrut tenaga ahli dari desa atau anggota komunitas mereka. Asumsinya, masyarakat desa mau menerima bila yang mengubah adalah warga setempat. Masyarakat lokal juga diberi pelajaran soal literasi keuangan dan komoditas baru yang akan menguntungkan mereka.
Sayangnya, model pembangunan ini tidak menekankan pada hasil. Justru menciptakan satu relasi kuasa baru dari kalangan LSM terhadap masyarakat desa. Contoh paling nyata adalah pada kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini menyisakan banyak ketegangan antara para perangkat desa. Merespons kritik terhadap model pembangunan di atas, para ilmuwan sosial terus mengubah sistem pendekatan yang mereka lakukan.
Kedua, transparansi politik. James Ferguson (1994), yang meneliti berbagai kasus pembangunan di Afrika, menyebut teknik pembangunan berjalan sebagai The Anti Politics Machine. Pola ini merata di semua tempat, termasuk Indonesia. Pembangunan umumnya sibuk dengan metrik teknis. Seperti melakukan survei pemetaan batas tanah konservasi, mengukur pendapatan ekonomi, hingga mengukur jumlah asupan gizi. Namun, pendekatan ini tidak melibatkan unsur sosial-politik yang tertanam di balik angka tersebut. Misalnya, persoalan siapa yang menguasai kepemilikan tanah dan ternak atau mengontrol sumber daya air sehingga menyebabkan ketimpangan ekonomi.
Ilmuwan politik yang terlibat mengusulkan transparansi sebagai jawaban terhadap tantangan tersebut. Ide transparansi ini bertujuan menutup akses para pemimpin politik yang dianggap korup dan tidak transparan dalam menjalankan sistem pemerintahan. Meski demikian, proses di lapangan tidak mudah. Sebab ada hubungan sejarah yang panjang dan bersifat turun-temurun antara pemimpin politik dan masyarakatnya.
Ketiga, akuntabilitas alias manajemen berbasis hasil. Contoh pembangunan ini diterapkan pada Dana Desa dan Otonomi Khusus. Berbeda dengan transparansi, pembangunan ini berdasarkan akuntabilitas yang mensyaratkan dana tidak disalahgunakan. Supaya pemerintah sebagai pemberi dana -selayaknya korporasi- tidak perlu mengalami kerugian. Caranya, hasil pembangunan harus terukur berdasarkan angka sebagai bukti efisiensi. Efek model pembangunan ini cenderung berfokus pada pembangunan fisik infrastruktur. Sebab presisi hasilnya terukur dan dikerjakan sesuai target terencana.
Lantas apa yang harus dilakukan Ilmuwan Sosial?
Ada tiga pelajaran yang patut dipetik dari kritik peranan ilmu sosial dalam intervensi terhadap pembangunan dari waktu ke waktu. Pertama, memberikan kebebasan masyarakat mengatur dirinya sendiri dalam melakukan inovasi. Hampir semua inovasi yang diberikan dalam proyek pembangunan ikut berhenti bila proyek selesai. Misalnya, koperasi yang ikut mati seusai proyek pembangunan rampung. Pada kasus lain, masyarakat kembali menanam tanaman lama yang lebih ia sukai sebelum muncul proyek penanaman baru. Padahal, apa yang sudah dimiliki oleh masyarakat, itulah yang perlu dikembangkan. Alih-alih menciptakan inovasi yang baru.
Kedua, pembangunan yang terukur tentu penting. Tetapi perlu pula mempertimbangkan pembangunan yang tidak terukur. Selain ilmu sains dan ilmu sosial, terdapat ilmu humaniora. Misalnya ilmu sejarah, antropologi, sastra, studi gender, dan ras. Ilmu humaniora peduli dengan kesemrawutan perilaku manusia yang terkadang tidak terukur dalam cara kerja ilmu sains. Seperti perihal ideologi, politik identitas, kepercayaan terhadap nenek moyang, hubungan metafisik manusia dengan lingkungan sekitar, ritual dan seremoni yang sering kali biayanya dianggap tidak masuk akal oleh agen pembangunan.
Ketiga, perlu mempertimbangkan pembangunan yang sifatnya lunak dan tidak semata pada fisik dan pertumbuhan ekonomi. Menciptakan pembangunan fisik jauh lebih mudah dibanding membangun kualitas manusia itu sendiri. Proyek infrastruktur tol dapat diukur ketepatan waktu proyek dalam satu-dua periode pemerintahan. Namun, kualitas pendidikan dan kesehatan membutuhkan lebih dari dua dekade untuk mendapatkan hasilnya.
Jika pembangunan diukur berdasarkan pertumbuhan ekonomi, maka tiga elemen yang paling termarginalisasi adalah perempuan, masyarakat adat, dan kaum difabel. Mereka adalah elemen yang tidak mampu bersaing dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi. Padahal mereka tetap mempunyai peranan penting. Seperti pemeliharaan lingkungan, yang sering kali dikorbankan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Sementara, berbagai laporan dari ANU Indonesia Project dan SMERU Research Institute menunjukkan perempuan terbukti mempunyai daya lenting (resiliensi). Perempuan juga menjadi penyangga ekonomi rumah tangga saat krisis ekonomi.
Agar pembangunan tepat sasaran, ilmu sosial perlu mengambil kesempatan dari kucuran dana riset pemerintah yang tidak sedikit ini. Tentunya dengan tetap membutuhkan pendekatan multidisipliner dan kolaborasi pengetahuan untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi. Sebab tidak ada ilmu tunggal yang bisa menjadi panasea atau obat untuk mengatasi segala masalah pembangunan.