Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dampak Positif Moratorium Sawit

Pemerintah daerah dan penggiat lingkungan mendukung Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 diperpanjang dan diperkuat.

18 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Webinar Refleksi Tiga Tahun Moratorium Sawit, Kamis, 16 September 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sawit menjadi komoditas utama bagi Republik Indonesia. Namun, persoalan mengenai tata kelola perkebunan sawit, diantaranya konflik lahan, pelanggaran hak asasi manusia dan indikasi praktik deforestasi menjadi tantangan tersendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit mencoba menjawab persoalan yang terjadi. Sayangnya, pada 19 September 2021, kebijakan moratorium tersebut berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware, mengatakan Inpres No.8 Tahun 2018 menjadi langkah awal yang baik dalam upaya perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Dalam 3 tahun mengamati implementasinya terdapat sejumlah capaian yang patut di apresiasi. Misal di level nasional, hal utama yang dilakukan adalah membentuk tim kerja nasional lintas kementerian, melakukan konsolidasi data dan menetapkan luas tutupan perkebunan sawit bahkan beberapa daerah telah berkomitmen melaksanakan kebijakan ini.

“Beberapa daerah antara lain, Provinsi Aceh, Kabupaten Buol, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Gorontalo dan Aceh Utara telah menurunkan dalam kebijakan lokal” ujar Inda dalam diskusi yang diselenggarakan Tempo Media bertajuk “Refleksi Tiga Tahun Moratorium Sawit”, Kamis, 16 September 2021.

Selain Inda, hadir juga Bustar Maitar, Ceo Econusa Foundation, Kepala Dinas Tanaman Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat, Benediktus Hery Wijayanto, dan Sulistyanto, Spesialis Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam Serial Webinar Wanaswara: Svara Lokal Nasional yang ditayangkan di kanal Youtube Tempo.co, Facebook Live Tempo Media dan Saluran Digital TV Tempo.

Menurut Inda, kebijakan moratorium sawit membawa dampak dan respon positif dari berbagai kalangan sehingga patut diperpanjang. Jika moratorium dijalankan serius akan menjawab tudingan deforestasi yang dilakukan oleh perkebunan sawit. Serta akan berdampak pada membaiknya citra produk dan kredibilitas sawit Indonesia di mata dunia. Di sisi masyarakat, moratorium sawit juga dapat memperkecil potensi konflik yang kerap menimpa buruh, petani, serta masyarakat adat/lokal.

Dalam kesempatan yang sama, Bustar Maitar, Ceo Econusa Foundation, menyebut esensi utama dari Inpres Tahun 2018 adalah meluruskan praktik-praktik yang melanggar hukum dalam membangun perkebunan sawit. “Misalnya, membangun perkebunan di kawasan hutan dan pembukaan lahan di lahan gambut. Ini tidak boleh dan melanggar hukum,” ujarnya. Selain itu, moratorium mampu memaksimalkan pendapatan negara dari sawit.

Bustar menegaskan, jika masih terdapat pelanggaran hukum dalam tata kelola perkebunan sawit, maka belied pemerintah ini harus dilanjutkan. Terlebih lagi, kebijakan tersebut mendapatkan banyak sambutan positif dari pemerintah daerah.

Kepala Dinas Tanaman Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat, Benediktus Hery Wijayanto, mengatakan 14 perizinan sudah dicabut karena tidak memenuhi aspek legalitas. Menurut dia, penerbitan izin yang tidak diawasi dengan baik menjadi salah satu sebab adanya pelanggaran. “Banyak perizinan di tingkat kabupaten datanya tidak ada. KPK menemukan itu sebagai tidak terdokumentasikan dengan baik. Ini catatannya,” ujarnya.

Sulistyanto, Spesialis Monitoring KPK, mengatakan ada tiga aspek yang menjadi sorotan dalam izin sawit. Pertama, terkait tata kelola perizinan. “Tidak adanya regulasi dan mekanisme yang mengharuskan koordinasi antarkementerian menjadi celah untuk korupsi,” ujarnya.

Selain itu, semrawutnya tata kelola data perizinan. Sebab, menurut Sulistyo, jika data-datanya tidak valid, maka solusi yang akan dihasilkan juga tidak tepat.

Ketidakjelasan data turut memengaruhi perolahan pajak yang dihasilkan dari perkebunan sawit. Misalnya, Sulistyanto mencontohkan, identifikasi potensi pajak mencapai Rp 40 triliun, tapi realisasinya Rp 21 triliun. “Ini karena data sebelumnya tidak valid, sehingga perlu effort luar biasa dalam membenahi persoalan ini,” tuturnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus