Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

iklan

Peristiwa 27 Juli Pintu Awal Reformasi

PDI Perjuangan mengenang kejadian perebutan kantor partai pada 28 tahun lalu sebagai gerakan reformasi.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto, ingat betul peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 28 tahun silam. Pada 27 Juli 1996, Kantor Pusat PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diserbu massa yang berujung kerusahan. Saat itu kubu Suryadi yang didukung pemerintah mengklaim sebagai ketua umum partai yang sah dan mengerahkan massa untuk merebut kantor partai. Kejadian itu dikenang sebagai kudatuli atau kerusahan dua puluh tujuh Juli pada masa rezim orde baru di bawah Presiden Suharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri teguh memperjuangan partai secara konstitusional. “Beliau tetap menempuh jalur yang sangat konsisten agar suara-suara rakyat yang saat itu terbungkam, tidak berani berbicara dapat berani berbicara,” kata Hasto dalam acara diskusi bertajuk "Kudatuli, Kami Tidak Lupa" di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan, Sabtu, 20 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasto menceritakan penyerangan kantor partai terjadi karena Megawati teguh dan berani dalam mempertahankan ajaran Bung Karno, yakni Sukarnoisme yang memerdekakan demokrasi. Dia mengatakan penyerangan itu bukan hanya sekedar penyerangan terhadap Kantor PDI Perjuangan, tetapi menjadi serangan terhadap peradaban demokrasi.

“Penyerbuan kantor PDI Perjuangan saat itu dasarnya bukanlah sekedar serangan terhadap bangunan fisik. Tapi serangan terhadap peradaban demokrasi, serangan terhadap sistem hukum, dan serangan terhadap kemanusiaan,” tutur Hasto. 

Bukan melawan dengan mengerahkan massa, tapi Megawati dengan bijak melawan secara konstitusional melalui jalur hukum. Mantan Presiden kelima itu tidak ingin perlawanan kepada rezim orde baru yang dapat menimbulkan korban jiwa. 

Megawati, kata Hasto, adalah ketua umum partai yang taat hukum, sehingga tidak ada celah bagi penguasa untuk membubarkan PDI Perjuangan. “Ini menunjukkan bahwa konsistensi Ibu Mega telah teruji di dalam sejarah, bukan hanya sekarang, tapi juga ke depan,” ujarnya. 

Dia menjelaskan keputusan menempuh jalur hukum atas berbagai serangan kepada partai Perjuangan adalah salah satu cara membangun supremasi hukum yang mengedepankan nurani dan keadilan. Hal itulah yang selalu dipegang teguh PDI Perjuangan.

Pasca 28 tahun penyerangan Kantor PDI Perjuangan, lanjut Hasto, fungsi hukum di Indonesia justru mulai bergeser. Hukum seperti menjadi alat kekuasaan. “Maka pilar konstitusi, pilar ideologi, pilar hukum ini sangatlah penting karena itulah esensi dari pergerakan reformasi,” ucapnya. 

Hasto mengatakan yang diperjuangkan Megawati pada dasarnya adalah menempatkan pentingnya politik kesetaraan. “Politik emansipasi harus dimulai dengan penolakan terhadap pandangan politik dogmatis," kata dia. 

Hasto menjelaskan, dogmatisme politik seringkali mengabaikan dinamika perubahan sosial yang penting dan cenderung mempertahankan status quo yang pada akhirnya melanggengkan ketidakadilan. Akibatnya praktik demokrasi hanya dikendalikan oleh elit yang mempertahankan status quo. “Tentunya dengan mengorbankan supremasi hokum dan menciptakan banyak masalah," tuturnya. 

Menurut Hasto, peristiwa kudatuli menjadi ujung tonggak reformasi dengan membangun semangat perjuangan melawan kekuasaan otoriter yang dibangun selama 32 tahun. Karena itu, harus menjadi acuan untuk tetap melanjutkan pejuangan demi kedaulatan rakyat.

“Hakikat perjuangan merupakan nafas kehidupan partai yang tidak pernah padam karena mengakar pada ide gagasan cita-cita dan perjuangan Bung Karno, Proklamator Bangsa Indonesia,” kata Hasto. 

Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kesehatan, Ribka Tjiptaning, mengatakan reformasi menjadi jalan agar semua anak bangsa bisa memiliki kesempatan yang sama dalam mencapai cita-cita. “Jika tidak ada reformasi, tidak ada anak buruh bisa jadi gubernur, jika tidak ada reformasi tidak ada anak petani bisa jadi bupati atau wali kota. Dan jika tidak ada reformasi tidak ada anak tukang kayu jadi presiden,” ujarnya. 

Tjiptaning menuturkan, sebelum reformasi yang bisa menjadi pengurus RT, RW, lurah, camat dan bupati hanya dari partai tertentu. Peristiwa 27 Juli 1996 menjadi pintu awal lahirnya reformasi dan mendorong partisipasi rakyat dalam demokrasi. "Sehingga semua anak rakyat mimpinya bisa tercapai,” kata dia.

Menurut Tjiptaning, Megawati adalah sosok pemimpin yang memiliki kekuatan dan semangat bersatu dengan rakyat yang tidak dapat dikalahkan. Kepemimpinan Megawati dapat menumbangkan diktator otoriter yang selama 32 tahun berkuasa. “Dan ini harus ditumbuhkan kembali,” ucapnya.

Dia mengajak seluruh masyarakat selalu mengingat perjuangan menegakkan demokrasi yang dicapai dengan reformasi. Tjiptaning mengatakan proses menuju reformasi tidak berdiri secara mandiri. Ada banyak rentetan peristiwa sebelumnya yang berasal dari kekuatan rakyat melawan rezim otoriter. 

Sebelum pecah peristiwa 27 Juli, kata Tjiptaning, terjadi peristiwa Gambir dimana massa PDI Perjuangan betrok dengan aparat keamanan. “Saya ingat betul, saya diselamatkan Pak Pangat Ketua DPC PDI Perjuangan Jakarta Barat walaupun dimasukin taksi, taksinya juga dihancurkan digebukin macam-macam itulah dulu rezim Soeharto,” ujarnya. 

Rentetan peristiwa 27 Juli pada 28 tahun lalu bagian rentetan perjuangan reformasi. Tjiptaning mendorong Presiden Joko Widodo memasukan peristiwa kudatuli ke dalam pelanggaran hak asasi manusia berat karena memiliki berdampak luas. 

Berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) HAM, jumlah korban akibat peristiwa 27 Juli, terdiri dari lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp100 miliar.

Komnas HAM menilai ada enam bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa tersebut, yakni pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut dan pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji. Selain itu pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan tidak manusiawi, pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda. 

Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Wilson Obrigados, mengatakan, saat ini negara sedang dihadapkan pada permasalahan yang sama. Bukan hanya persoalan antara PDI Perjuangan dengan pemerintahan, tapi tentang kekuasaan yang sudah mulai keluar dari. “Negara sekarang sudah bukan lagi rule of law. Tapi sudah negara kekuasaan,” ujarnya.

PDI Perjuangan, kata dia, sejak lama menjadi partai yang konsisten untuk mengawal konstitusi meskipun mendapatkan banyak intervensi. “Dan saya mengambil istilah satu oposisi konstitusional yakni oposisi dalam perdamaian terhadap pemerintahan yang ada sebagai penyeimbang,” ucap Wilson.

Menurut dia, jika PDI Perjuangan mengambil sikap oposisi konstitusional, akan membangkitkan kelompok lain di luar sistem untuk kembali bersuara menegakan demokrasi. 

Pendapat Wilson diamini Hasto yang menyebut orde baru sedang dibangun oleh pemerintahan saat ini. "Yang tadi dikatakan Bung Wilson ini sepertinya ada Neo Orde Baru Jilid II. Itu tadi kesimpulan dari Bung Wilson," kata Hasto.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus