Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Romantisisme dan Arah Politik Luar Negeri

Politik luar negeri Indonesia belum memiliki pijakan yang kuat, tapi sudah ingin bermain di ranah global.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Here is my first principle of foreign policy: good government at home.
William E. Gladstone (1809-1898)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINAMIKA politik internasional dewasa ini berlangsung cepat, tapi kita masih terbuai romantisisme dan terbius rasa puas diri (complacency) dengan slogan “negara besar, strategis, dan penting”. Padahal keluasan wilayah serta potensi sumber daya manusia dan alam Indonesia cenderung menjadi beban dan menimbulkan kerawanan. Konferensi Asia-Afrika (1955) dan Gerakan Non-Blok (GNB) dulu memang menginspirasi kemerdekaan banyak negara. Namun, bersama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), gerakan itu kini mulai rontok giginya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelaksanaan politik luar negeri selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo rasanya masih menyisakan banyak isu lama yang belum terselesaikan atau mungkin belum tersentuh. Kita belum memiliki pijakan yang kuat dan berperan sebagaimana mestinya, tapi ingin bermain di ranah global.

Politik luar negeri kita masih tetap berfokus pada perdagangan, wisata, dan investasi (TTI), meskipun kini dilengkapi dengan perlindungan warga negara Indonesia. Kita memang sudah menjadi anggota The Trillion Dollar Club—julukan bagi negara dengan produk domestik bruto lebih dari US$ 1 triliun—tapi ketergantungan pada impor, termasuk pakaian bekas dan garam, tetap tinggi dan kebijakan strategis penghiliran mineral dihadang negara maju.

Pengembangan tujuan wisata memang masif. Namun, di antara negara anggota ASEAN saja, Indonesia menempati urutan keempat dalam hal jumlah kunjungan wisatawan (5,47 juta kunjungan pada 2022), di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Perlindungan WNI makin baik, antara lain lewat pembebasan sandera dari kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan dan seorang pekerja migran dari ancaman hukuman mati di Arab Saudi. Tapi penyambutan para sandera yang “bak pahlawan” oleh Menteri Luar Negeri dan Panglima Tentara Nasional Indonesia justru menuai kontroversi dan dinilai berlebihan. Selain itu, pembebasan melalui pemberian tebusan dapat berdampak panjang karena akan menyulitkan upaya diplomasi.

Alur laut kepulauan Indonesia jelas belum aman karena masih mudah diterobos para penyelundup komoditas, imigran gelap, dan narkotik. ASEAN telah melahirkan Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (ZOPFAN); Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC); Traktat Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara atau Traktat Bangkok; serta kode tata perilaku untuk penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan. Semua itu belum tuntas dilaksanakan, tapi kini kita menyodorkan prospek keamanan untuk Indo-Pasifik. Bahkan, dengan sekadar bekal amanat konstitusi dan tanpa daya ungkit, kita ingin menjadi juru damai di Gaza, Palestina, dan Ukraina, sementara ASEAN masih kedodoran menghadapi isu Rohingya.

Apa pula arti kemurahan hati dan gegap gempita penyelenggaraan Asian Games (2018), Konferensi Tingkat Tinggi G20 (2022), dan KTT ASEAN (2023), bila seusai “pesta” Indonesia diperkarakan oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena kebijakan penghiliran nikel? Fareed Zakaria mengingatkan bahwa “kebijakan luar negeri adalah masalah biaya dan manfaat, bukan teologi”.

Memahami politik luar negeri memerlukan setidaknya pengetahuan dasar, jika tidak luas, tentang apa yang sedang terjadi di seluruh dunia. Resminya, politik luar negeri dirancang dan diformulasikan oleh berbagai pemangku kepentingan dan dilaksanakan oleh kementerian luar negeri. Di banyak negara, aktor, terutama kepala negara atau pemerintahan, kerap menjadi pengambil keputusan.

Pentingnya peran aktor disoroti Graham T. Allison dalam Essence of Decision Making: Explaining Cuban Missile Crisis (1971). Salah satu model Allison adalah aktor rasional yang menganggap pemerintah sebagai blok monolitik, ketika seorang aktor tunggal mempertimbangkan semua kemungkinan dan memilih satu yang paling rasional untuk memenuhi targetnya. Dua model lain adalah perilaku organisasi dan politik pemerintahan.

Pada periode pertama pemerintahannya, Joko Widodo tidak diragukan telah membawa perubahan yang signifikan dengan berfokus pada pembangunan dalam negeri, yang dampaknya membawa citra positif Indonesia di luar negeri dan menggetarkan tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Jokowi kemudian menduduki posisi ke-13 dalam daftar 50 tokoh muslim berpengaruh di dunia pada 2022 versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre dan meraih Global Citizen Award 2022 dari Atlantic Council.

Sayangnya, pada periode kedua, mungkin karena berpuas diri, pemerintahan Jokowi tampak kedodoran sehingga dinilai offside dan bahkan “keluar jalur”. Sejumlah proyek ambisiusnya, seperti Ibu Kota Nusantara dan kereta api cepat; korupsi; dan politik dinastinya kini menjadi olok-olok media dalam dan luar negeri.

“Di batas kesalahan terdapat ruang bagi kita untuk bermanuver,” kata James Geary, penulis Amerika Serikat. Mengingat karakter dan kiprahnya, presiden terpilih Prabowo Subianto tampaknya akan menjadi aktor yang makin dominan dalam penentuan politik luar negeri. Berbekal novel Ghost Fleet: A Novel of the Next World War (2015) karya P. W. Singer dan August Cole, Prabowo memperingatkan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030 akibat perang dunia antara Amerika dan Cina. Prabowo bahkan sudah “mencuri start” dengan berkunjung ke Cina dan Jepang sebagai awal manuvernya. Ini mungkin tidak salah, mengingat dalam setting geopolitik saat ini Indonesia harus “mendayung di antara tiga karang” (Dian, 2020).

Sebagai kekuatan menengah (middle power), potensi Indonesia untuk berperan di kawasan atau global selalu terbuka. Namun beberapa hal perlu menjadi perhatian. Pertama, kerja sama bilateral selektif perlu dijaga, terutama dengan ketiga negara adidaya, untuk menjamin kelangsungan ketidakberpihakan Indonesia.

Kedua, kolaborasi dan keberpihakan harus dikedepankan secara cerdas dan kreatif. GNB, OKI, G77, dan bahkan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), atau dalam beberapa hal Perserikatan Bangsa-Bangsa sekalipun, sudah berkurang greget dan daya ungkitnya. Indonesia perlu lebih mengembangkan kerja sama minilateralisme dan memainkan peran sebagai “pembangun jembatan”, seperti OPEC dulu. Kerja sama MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia), misalnya, perlu diberdayakan untuk menggarap potensi besar geotermal di antara anggotanya. Demikian pula Asosiasi Negara Penghasil Karet Alam (ANRPC) yang beranggotakan 13 negara. Upaya Indonesia, Uni Emirat Arab, dan Norwegia dalam Aliansi Mangrove untuk Iklim (MAC) perlu dimatangkan, mengingat Indonesia merupakan rumah bagi hamparan mangrove terluas di dunia.

India, salah satu pendiri GNB, memainkan bentuk lain keberpihakan ini. New Delhi kini telah menjadi anggota Dialog Keamanan Segi Empat atau Quad, yang beranggotakan Australia, India, Jepang, dan Amerika Serikat yang dibentuk Amerika, serta Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) yang didirikan Cina dan Rusia. India juga sudah menjadi anggota BRICS—organisasi antarpemerintah yang pada mulanya terdiri atas Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan—dan berada dalam daftar tunggu keanggotaan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Ketiga, pekerjaan rumah yang tertimbun—dari perbaikan iklim investasi, kepastian hukum, pemberantasan korupsi, penyediaan lapangan kerja, hingga pelayanan pendidikan dan kesehatan—harus diselesaikan. Keempat, Prabowo harus selektif dalam memilih forum internasional yang perlu dihadiri untuk tetap menunjukkan komitmen pada upaya multilateral. Ketidakhadiran Jokowi dalam Sidang Umum PBB mudah-mudahan tidak ditiru.

Jenderal John Hackett dalam The Third World War: The Untold Story (1982) pernah memaparkan tiga skenario perang antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Pakta Warsawa yang akan menyulut Perang Dunia III pada 1985, yang tidak menjadi kenyataan. Prabowo lebih baik tidak menghiraukan Perang Dunia III dan mengingat kata Gladstone mengingat banyaknya kebijakan luar negeri yang perlu dibenahi dan berfokus pada tugasnya hingga 2029 agar rasa hormat dan keseganan terhadap Indonesia datang dengan sendirinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus