Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Subsidi Tak Tepat Sasaran

Sebanyak 80 persen pembeli BBM bersubsidi adalah kalangan mampu. #Infotempo

29 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk “Subsidi BBM untuk Siapa?” di Jakarta pada Kamis, 25 Agustus 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo, di Istana Merdeka, telah menegaskan bahwa subsidi BBM sudah terlalu besar. Dari Rp170 triliun, kini menjadi Rp502 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itu, pemerintah tengah menghitung ulang terkait besarnya subsidi BBM ini yang tidak sepenuhnya tepat sasaran dan banyak dinikmati mereka yang tak seharusnya menerima subsidi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asisten Deputi Bidang Industri Energi, Minyak dan Gas Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Abdi Mustakim, mengatakan ada dua jenis BBM yang mendapatkan subsidi atau kompensasi dari pemerintah, yakni Solar dan Pertalite.

Abdi Mustakim, Asisten Deputi Bidang Industri Energi, Minyak dan Gas Kementerian BUMN dalam acara diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk “Subsidi BBM untuk Siapa?” di Jakarta pada Kamis, 25 Agustus 2022.

Menurutnya, berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebanyak 80 persen pengguna BBM bersubsidi adalah masyarakat mampu. Adapun lembaga lainnya ada yang mencatat 70 persen BBM bersubsidi digunakan oleh masyarakat mampu.

Pertamina melaporkan data tersebut kepada kementerian maupun lembaga terkait agar menjadi pertimbangan. Sebab, peningkatan subsidi secara drastis ini karena kenaikan harga minyak dunia.

Menurutnya, sulit memastikan agar subsidi BBM tepat sasaran. Sebab, hal ini pernah terjadi saat lebaran petugas di SPBU menegakkan aturan pembatasan solar. Namun, saat itu petugas di lapangan malah ditentang masyarakat.

"Ditentang pengemudi truk, membahayakan atau menjadi risiko untuk dirinya secara pribadi. Sampai sebegitunya kita berusaha untuk memstikan BBM bersubsidi ini tepat sasaran," ujarnya.

Karena itu, Abdi menyarankan, subsidi BBM perlu ditinjau kembali agar bisa dilakukan penghematan untuk pembangunan di sektor yang lain. Menurutnya, subsidi energi ini yang paling tinggi dalam sejarah yakni 502 triliun.

"Jadi mesti ditinjau kembali subsidi ini supaya penghematan dari subsidi energi ini bisa dilakukan untuk pembangunan di sektor yang lain," kata Abdi.

Abdi menilai, jika subsidi BBM diteruskan seperti sekarang, akan berdampak kepada pembangunan nasional. "Jadi kalau kita lebih memilih pengalokasian anggaran ini untuk konsumsi jangka pendek seperti subsidi BBM ini, maka dalam jangka panjang kita dirugikan. Diantaranya pembangunan yang terhambat," ujarnya.

Namun, dia melanjutkan, jika subsidi BBM dihilangkan, pemerintah bisa memanfaatkan ratusan triliun untuk sektor-sektor pembangunan yang produktif untuk jangka panjang. Ia juga berpendapat semestinya anggaran subsidi energi digunakan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan untuk masyarakat di bawah garis kemiskinan.

"Karena kebijakan yang diambil itu betul-betul dengan pertimbangan paling baik untuk negara dalam jangka panjang bukan untuk menyusahkan masyarakat," kata dia.

Ari Soemarno, pengamat migas dan energi dalam acara diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk “Subsidi BBM untuk Siapa?” di Jakarta pada Kamis, 25 Agustus 2022.

Adapun, Pengamat Migas dan Energi Ari Soemarno, mengatakan, sebenarnya subsidi BBM ini sudah berlangsung sejak orde lama, dan kemudian berlanjut pada orde baru. "Dari awal udah disadari bahwa subsidi ini tidak adil. Semua menikmati, karena umum dijual bebas," ujar Ari.

Menurutnya, agar subsidi BBM tepat sasaran sudah banyak diwacanakan untuk mengubah subsidi ini menjadi subsidi langsung, yaitu memberikan bantuan langsung kepada orang yang kembutuhkan, seperti BLT. "Kemudian bisa juga menargetkan komoditas itu kepada yang berhak, yaitu dengan penjatahan," kata Ari

Redaktur Tempo, Ali Nur Yasin, mengatakan, memang sejak orde lama hingga orde baru, subsidi BBM selalu ada dalam APBN. "Nah belakangan sejak reformasi subsidi itu menjadi komoditas politik, harusnya yang namanya produk bbm itu menjadi produk ekonomi," kata Ali.

Namun, di Indonesia kenaikan harga BBM selalu diputuskan dalam kebijakan politik. "Menurut saya ini yang harusnya dihindari oleh pemerintah," ujarnya.

Juga harus dipahami, Ali melanjutkan, bahwa anggaran 502 triliun itu adalah anggaran yang sangat banyak jika hanya untuk menyediakan BBM di seluruh Indonesia dan itu habis untuk dibakar. "Publik harus diedukasi bahwa yang namanya BBM itu bukan produk yang murah, tapi produk mahal. Dan, kemampuan Indonesia untuk memproduksi minyak itu sudah terbatas," ujarnya. (*)

#SubsisdiTepatSasaran

Iklan

Iklan

Artikel iklan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus