Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, indikator ekonomi Indonesia melemah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tak meyakinkan dalam memperkuat kondisi fundamental ekonomi.
Ekonomi Indonesia terjepit dari dalam negeri dan gejolak global.
JANGANKAN jadi macan Asia, ekonomi Indonesia kini berada di tubir resesi. Selama lima bulan di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, pelbagai indikator ekonomi melemah. Indeks Harga Saham Gabungan anjlok, rupiah terseok-seok, daya beli masyarakat turun, pemutusan hubungan kerja meruyak di banyak industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menghadapi segala masalah itu, respons Prabowo dan para menterinya mengesankan kejemawaan, alih-alih menenangkan dan meyakinkan. Cara Prabowo merespons tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat Donald Trump mencerminkan salah jalan menghadapi masalah. Bukannya memperbaiki kondisi fundamental ekonomi di dalam negeri, Prabowo malah mengirim utusan untuk melobi Trump agar tak menerapkan tarif impor yang mencekik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Trump tak bisa disalahkan. Keputusannya menerapkan tarif impor dalam perang dagang adalah kebijakan dalam negeri Amerika. Jika kebijakannya direspons negatif dan membuat pasar panik, bukan semata karena kebijakan itu dinilai pelaku pasar ngawur dan sembrono. Toh, sebelum ada tarif Trump pun indikator ekonomi Indonesia sudah payah.
Bursa Efek Indonesia menghentikan sementara perdagangan saham (trading halt) jauh sebelum Trump mengumumkan tarif impor baru bagi 80 negara. Nilai tukar rupiah sudah melemah pada hari pertama Prabowo menjadi presiden. Dibuka senilai Rp 15.490, kini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika tembus 16.862.
Jika Prabowo paham, kebijakan Trump itu bisa menjadi peluang baru mengalihkan pasar komoditas Indonesia ke negara lain. Toh, nilai ekspor Indonesia ke Amerika hanya 9,9 persen. Untuk bisa ke sana, kebijakan-kebijakan ekonomi di dalam negeri mesti solid lebih dahulu. Tanpa kesigapan itu, Indonesia malah jadi pasar baru ekspor negara-negara yang pintar memanfaatkan keadaan karena ogah masuk pasar Amerika akibat tarif barang impor gila-gilaan.
Pangkal soal pelemahan indikator-indikator ekonomi Indonesia itu adalah ketidakpercayaan pasar kepada kemampuan Prabowo mengelola ekonomi Indonesia. Kebijakan pemangkasan anggaran yang seharusnya membalikkan kepercayaan malah memperburuk keadaan. Komandan efisiensi anggaran bukan Menteri Keuangan, melainkan Menteri Sekretaris Negara.
Kriteria pemangkasan juga tak jelas. Apalagi pemotongan itu ternyata dialihkan untuk membiayai program mercusuar Prabowo, yakni makan bergizi gratis, yang jauh dari urusan memperkuat fondasi ekonomi.
Belum lagi perilaku Prabowo dan para menteri yang tak mencerminkan keadaan werit. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia bepergian naik jet pribadi, Prabowo menjemput seorang ajudannya memakai pesawat kepresidenan. Prabowo dan para menterinya seperti tak memiliki sense of urgency setelah memotong pelbagai anggaran pelayanan publik.
Pembentukan Daya Anagata Nusantara atau Danantara agaknya jadi puncak kecemasan. Dividen badan usaha milik negara yang selama ini jadi pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dialihkan untuk memodali lembaga baru yang dipimpin oleh kroni-kroni Prabowo. Apalagi sistem Coretax yang dibangun dengan biaya lebih dari Rp 1 triliun malah menghambat penerimaan pajak.
Rancangan sampul Tempo di ambang resesi ekonomi.
Maka peluang Prabowo menahan agar ekonomi tak masuk fase resesi bahkan krisis kian sempit. Kita terjepit problem di dalam dan luar negeri. Jika ekonomi global tak bisa kita jangkau dan kendalikan, minimal Prabowo membuat kebijakan yang meyakinkan di dalam negeri.
Misalnya menyetop program makan bergizi gratis dan mengalihkan dananya untuk program padat karya agar ekonomi menggeliat kembali. Hentikan bicara mengentengkan keadaan genting karena itu hanya menambah kecemasan. Berkata tidak takut pada situasi di pasar modal adalah pernyataan sombong yang tak ada gunanya.
Seperti terbaca dalam laporan utama pekan ini, pelbagai kebijakan makroekonomi berantakan. Bersama Center of Economic and Law Studies (Celios), kami menganalisis pelbagai kebijakan dan dampaknya terhadap ekonomi secara keseluruhan. Data Celios kami bumikan dengan reportase ke lapangan untuk mengkonfirmasi analisis angka-angka di atas kertas.
Hasilnya telaah yang memperlihatkan pengelolaan ekonomi salah arah. Semua kebijakan Prabowo mercusuar, besar, grandeur, tapi tak meyakinkan. Jika terus seperti ini, Prabowo akan tampak seperti “macan” bingung yang makin menunjukkan ia inkompeten sebagai kepala pemerintahan. ●