Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO GAYA - Pagi buta. Di perbukitan yang gelap terlihat ratusan suluh berpendar. Latar musik string yang melengking menambah suasana kian mencekam, dan mengiringi narasi yang bercerita tentang hancurnya kampung kelahiran, Lampadang, oleh tentara Kerajaan Belanda, termasuk sebuah masjid agung di kota itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sejak saat itu Tano Aceh dikotori oleh nafsu dan ketamakan manusia-manusia yang tidak mengerti betapa besar cinta kita kepadaTano Nangroe nyoetelah banyak memberi,” demikian suara Tjoet Nja’ Dhien(Christine Hakim) dalam narasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikisahkan, setelah suami pertamanya, Ibrahim Lamnga gugur dalam perjuangan, Tjoet Nja’ Dhienkini bersuamikan Teuku Umar(Slamet Rahardjo Djarot) yang bersiasat menjadi sahabat Belanda. Tjoet Nja’ Dhien tidak ingin pilihan suaminya itu berlangsung lama. “Jangan bawa aku lagi hidup bersama kaphe-kaphe itu.Tiga tahun sudah cukup,” katanya. Kaphe artinya kafir, demikianlah sebutan masyarakat Aceh terhadap para penjajah, kaphe londo atau kafir Belanda.
Umar meyakinkan istrinya bahwa siasat itu dijalankan untuk mengumpulkan senjata,sekaligus mempelajari taktik perang Belanda. Perkataannya tersebut akhirnya dibuktikan. Esok harinya, sebelum subuh menyapa, Umar memimpin ratusan prajurit Aceh menyerbu benteng pertahanan Belanda.
Serangan-serangan serupa terus dilancarkan, sehingga para perwira tentara Kerajaan Belanda di Kutaraja panik. Teuku Umar dan Tjoet Nja’ Dhien ditetapkan menjadi target yang harus diatasi karena menjadi penyebab pemberontakan rakyat Aceh.
Upaya Belanda menghadang perlawanan Umar mendapat bantuan dari Leubeh (Muhammad Amin), seorang penghianat pertama yang muncul dalam film ini. Teuku Umar akhirnya terbunuh oleh peluru emas dalam sebuah pertempuran pada 11 Februari 1899.
Gugurnya Teuku Umar membuat Tjoet Nja’ Dhien hijrah dan melanjutkan perjuangan suaminya. Selama berjuang dan berpindah-pindah, ia didampingi anak perempuannya, Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti), dan Panglima Laot (Pietrajaya Burnama), atau disapa Pang Laot, yang menjadi sidekick (pendamping) setia sejak Teuku Umar memimpin perjuangan.
Pasukan Kerajaan Belanda terus memburu tokoh perempuan berpengaruh ini,karena Tjoet Nja’ Dhien menjadi panutan rakyat Aceh yang selalu mengobarkan semangat juang fisabilillah, berjuang di jalan Allah mengusir para penjajah.
Perjuangan tokoh perempuan kelahiran Lampadang, 1848, ini memang tak pernah surut. Ia selalu mengingatkan para pengikutnya, bahwa inilah perjuangan dalam iman. Gugur selama mengangkat senjata berarti mati syahid. Gugur di jalan Allah.
Namun hidup yang selalu diburu Belanda, tinggal di hutan, melemahkan sebagian pengikutnya. Beberapa kali Tjoet Nja’ Dhien nyaris tertangkap gegara penghianatan. Bahkan, penghianatan dari orang-orang terdekat di sekelilingnya.
Menonton film ini, terlebih dengan bekal kuat pernah mempelajari sejarahnya di bangku sekolah tentu sudah tahu seperti apa akhir cerita. Namun, film garapan sutradara Erros Djarot ini terbilang detail dalam mengisahkan lika-liku sebuah perjuangan. Bahkan, boleh jadi kita akan lebih mengerti sosok Tjoet Nja’ Dhien sehingga layak dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 1962. Pasalnya, sangat sulit menemukan buku pahlawan yang menceritakan secara gamblang tentang Tjoet Nja’ Dhien.
Film Tjoet Nja’ Dhien semakin menemukan ruhnya di tangan Eros Djarot, seniman penghasil berbagai mahakarya. Lama berkecimpung dalam dunia musik, masterpiece-nya “Badai Pasti Berlalu” mengantarkan Eros jadi penata musik di banyak film, antara lain Kawin Lari, Usia 18, Di Balik Kelambu, Kembang Kertas, dan Kodrat.
Keberhasilan Eros menghadirkan alur cerita yang enak ditonton pada Tjoet Nja’ Dhien, mengiringnya untuk menggarap film Kantata Takwa (2008) dan menjadi penulis skenario di film Marsinah: Cry Justice (2001) yang mengantarnya sebagai nominator pada FFI 2004.
Sedangkan kesuksesan Tjoet Nja’ Dhien saat diluncurkan pada 1988 langsung mendapat pujian dan prestasi. Film ini memboyong delapan Piala Citra di FFI 1988, salah satunya dengan gelar Film Terbaik. Bahkan Eros dinobatkan sebagai Sutradara Terbaik di ajang tersebut. Tjoet Nja’ Dhien juga menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Festival Film Cannes, Prancis pada 1989.
Tjoet Nja’ Dhien bisa dibilang mahakarya Eros di dunia film. Demi kesempurnaan film ini, ia menggandeng George Kamarullah sehingga kita bisa melihat sinematografi di film ini berhasil menggambarkan suasana mencekam di dalam hutan Aceh, sekaligus eksotisnya alam Bumi Serambi Mekkah. Eros juga menggamit maestro Idris Sardi untuk membangun suasana dengan komposisi-komposisi musiknya yang terkadang menimbulkan aura mistik, kesedihan, hingga semangat berjuang.
Demi mahakarya itu pula, biaya produksi Tjoet Nja’ Dhien menggelembung hingga Rp 1,5 miliar. Sementara produksi film kolosal sejenis di masa tersebut sekira Rp 500 juta, bahkan film G 30 S/PKI karya Arifin C Noer yang fenomenal itu masih di angka Rp 800 juta.
Karena biayanya membengkak, pembuatan film Tjoet Nja’ Dhien menghabiskan waktu tiga tahun karena kekurangan biaya. Ndilalah, demi terwujudnya karya besar ini, para aktor yang terlibat rela tidak dibayar.
Dengan segudang capaian Tjoet Nja’ Dhien, sangat tepat film kolosal ini kembali direstorasi setelah 33 tahun. Kian beruntung, generasi sekarang dapat menyaksikan Film Tjoet Nja’ Dhien di Mola TV tanpa perlu membeli tiket tambahan, sehingga kita dapat lebih memahami betapa berat perjuangan demi kemerdekaan.
Kita dapat mengerti, bahwa ada oknum-oknum yang memilih menjadi penghianat dalam sebuah perjuangan. Kita juga menjadi mengethaui tentara Belanda juga merekrut pribumi untuk menjadi marsose atau prajurit. Namun, sepahit apa pun kondisi yang terjadi, tekat juang tak boleh surut karena keyakinan bersama Tuhan akan memberi hasil pada waktunya.
Film ini sangat tepat untuk jadi pembelajaran agar teguh berjuang dalam iman, dan memaknai Hari Kemerdekaan sebagai penyemangat agar tak mudah menyerah. “Semoga kehadiran film Tjoet Nja’ Dhien di Mola bisa menjadi inspirasi, motivasi dan menambah kekuatan serta semangat di tengah ujian menghadapi pandemi,” ujar Christine Hakim, aktris periah enam Piala Citra dan juri Festival Film Cannes 2002. (*)