Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Balapan Formula E yang akan digelar pada Juni mendatang dipastikan tak hanya sekadar adu kencang di Sirkuit Ancol. Balapan dengan menggunakan mobil listrik ini dipastikan juga akan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan sesuai tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainability development goals (SDGs).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nilai keberlanjutan jangka panjang menjadi inti dari Formula E, yang dicapai melalui strategi keberlanjutan menyeluruh serta target keberlanjutan yang lebih spesifik di segala bagian dari balapan ini,” kata Senior Sustainability Manager FIA Formula E, Iona Neilson, dalam webinar yang diselenggarakan Tempo dan JakPro bertajuk “Net Zero Sport Emission Race, Worlds First: Season 8 - Jakarta E-Prix: Sustainability Perspective” pada awal pekan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iona mengatakan, strategi keberlanjutan dalam ajang balapan itu menurutnya akan diselaraskan dengan empat pilar. Pertama yaitu balapan ini memiliki keunggulan dari sisi lingkungan dengan mencoba menyelaraskan emisi karbon dan kaitannya dengan perubahan iklim. Dalam pilar ini Iona harus fokus pada pemantauan, pengukuran, dan pengurangan dampak lingkungan dari kejuaraan Formula E.
“Kejuaraan ini termasuk memimpin dalam hal jejak karbon, yang mencakup strategi dengan nol emisi karbon dan memastikan olahraga ini menggunakan bahan bakar yang netral karbon. Secara kolektif emisi 45 persen pada tahun 2030,” tutur dia. Pilar kedua, lanjut dia, dari sisi pembangunan sosial. Ajang ini dapat membentuk komunitas yang beragam dan berkelanjutan dari kota-kota tuan rumah penyelenggara Formula E.
Sementara pilar ketiga yaitu kepemimpinan dan inovasi. Iona mengatakan, untuk memperkuat merek, kepemimpinan, reputasi, dan kredibilitas, Formula E menerapkan manajemen acara berkelanjutan sesuai standar terbaik yang diakui secara internasional. Sedangkan pilar keempat yaitu dengan menciptakan sebuah nilai melalui nilai. “Untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan reputasi dari tim dan mitra maka kami mengembangkan kampanye dan aktivitas keberlanjutan.”
Iona menuturkan terdapat elemen kepatuhan lingkungan yang memastikan Formula E beroperasi sesuai dengan semua standar/undang-undang dan peraturan lingkungan yang relevan. “Ini termasuk berbagai sertifikasi dan akreditasi seperti ISO 20121, standar internasional untuk acara berkelanjutan, dan Akreditasi Lingkungan Bintang Tiga FIA,” ujarnya.
Dia melanjutkan, “kami diaudit beberapa kali setiap musim untuk memastikan kami tetap mematuhi standar dan adalah peran saya untuk terus meningkatkan pendekatan kami dalam menanamkan keberlanjutan ke dalam acara kami.”
Vice President Infrastructure & General Affairs OC Jakarta E-Prix 2022 Irawan Sucahyono, mengatakan penerapan keberlanjutan dari event ini tidak hanya dari sisi kendaraan saja. Namun nilai-nilai keberlanjutan ini bisa disebarkan melalui hal-hal kecil. “Contohnya kami tak lagi menjual makanan dengan pembungkus seperti styrofoam, dan mengimbau untuk menggunakan botol air,” kata dia.
Melalui Formula E, upaya menebarkan kesadaran itu tak terlepas dari konsep nol emisi atau keberlanjutan yang dikampanyekan. Tak seperti balapan konvensional yang hanya menyuguhkan pertunjukan, Formula E menyuguhkan tiga hal yaitu pertunjukan, efisien, dan keberlanjutan. “Balapan ini mengandalkan tenaga listrik sehingga lebih bersih, efisien, serta pengelolaan acara lebih berkelanjutan.”
Menurut Irawan, Formula E adalah masa depan dari green motorcross. “Mungkin saja nanti dunia balap akan berubah semua menjadi seperti ini.”
Tak hanya itu, ajang Formula E ini diharapkan dapat memicu masyarakat memanfaatkan kendaraan listrik. “Gunakan momentum ini untuk merebut pasar agar teknologi hijau dan ekonomi hijau betul-betul bisa masuk dan diadopsi,” kata Executive Director Joint Committee for Leaded Gasoline Phase Out, Ahmad Safrudin.
Penggunaan kendaraan listrik, kata dia, akan membawa tiga keuntungan di Tanah Air. Pertama, keuntungan ekonomi hingga Rp 9,603 triliun sebagai konsekuensi dari penghematan bahan bakar fosil pada 2030. Kedua, penurunan emisi pencemaran udara kota dan gas rumah kaca (GRK) hingga 100 persen pada 2030. “Ketiga, merupakan pemicu pertumbuhan ekonomi hijau dari sektor otomotif,” tutur Ahmad.