Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengukur Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

Tata kelola perikanan yang tidak efektif dan efisien membuat kinerja industri perikanan menurun secara signifikan. 

19 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tata kelola perikanan yang tidak efektif dan efisien membuat kinerja industri perikanan menurun secara signifikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan perikanan yang dijalankan selama periode 2014-2023 dinilai membuat kinerja industri perikanan menurun secara signifikan. Penurunan ini terjadi karena tata kelola perikanan yang tidak efektif dan efisien sehingga tingkat keberlanjutan perikanan tidak seimbang antara ekologi dan ekonomi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gejala itu paling tidak terjadi di Bitung, Sulawesi Utara. Menurut Wali Kota Bitung Maurits Mantiri, pada 2014 produksi ikan olahan kaleng mencapai 70 ton perhari. Namun saat ini tingkat produksi hanya berkisar antara 20-40 ton saja. “Ini penurunan yang sangat jauh dan mengakibatkan 14 ribu pekerja dirumahkan,” kata Maurits dalam focus group discussion tentang ‘Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Bagi Nelayan Bitung’, pada 16 November 2023. “Bagaimana jalan keluar yang akan diberikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan agar kondisi perikanan di Bitung dapat membaik?” 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara Tienneke Adam menyampaikan, Bitung adalah kota pelabuhan yang memiliki banyak industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun pasca-tangkap. “Pengolahan ikan yang dimiliki sebanyak 111 unit yang terdiri dari processing untuk produk kaleng, frozen tuna, fresh, dan smoke fish,” katanya. Dengan potensi ini, Bitung berpeluang untuk menguasai perikanan dunia.  

Secara geografis, kata Tienneke, Sulawesi Utara memiliki posisi strategis untuk mengekspor produk perikanan ke Cina, Korea, Jepang, dan negara-negara lain. Karena itu, perlu ada kebijakan baru yang mendukung produksi olahan perikanan. 

Untuk menjawab persoalan tersebut, Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) secara bertahap mulai menjalankan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota. Kuota ini ditentukan berdasarkan potensi sumber daya ikan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Kuota ini juga sangat mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya ikan.

Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 11/2023. Sebelum aturan ini dijalankan secara penuh, KKP berupaya mensosialisasikan lewat focus group discussion (FGD). 

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ridwan Maulana mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur adalah upaya untuk mengendalikan penangkapan ikan secara proporsional berdasarkan kuota yang telah ditetapkan. Dengan pengendalian ini diharapkan terjadi optimalisasi dari seluruh aspek biologi, sosial ekonomi, dan lingkungan. Adapun komponen kebijakan penangkapan ikan terukur  adalah, pengaturan pendaratan ikan pelabuhan, perizinan dan bagaimana kontribusi sektor perikanan negara yang lebih baik.

“Sebelum ada PIT,  izin penangkapan ikan bukan berdasarkan kuota,” kata Ridwan. Sehingga untuk mengukur kapasitas tangkapan hanya didasarkan pada perkiraan kemampuan alat tangkap ikan pada kapal nelayan. Metode ini membuat pemerintah tidak bisa mengawasi eksploitasi dalam penangkapan ikan. Ekploitasi inilah yang pada akhirnya menguras sumber daya ikan. “Melalui kuota ini, diharapkan tidak ada unsur perkiraan lagi dan loss control dalam penangkapan ikan.”

Pembagian kuota penangkapan ikan dibedakan atas tiga jenis, yaitu kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota non-komersial. Kuota industri berlaku di wilayah perairan yang jaraknya lebih dari 12 mil. Sedangkan untuk nelayan lokal di bawah 12 mil sebagai batas kewenangan pemerintah. Di antara itu ada batas non-komersial untuk keperluan penelitian. 

Dengan kebijakan penangkapan ikan terukur, data-data dari perizinan yang dicatat di Pelabuhan menjadi kredibel. Data-data ini tentu sangat membantu perencanaan dan pengembangan perikanan yang lebih baik.  Sehingga pada akhirnya sumber daya alam menjadi lebih terkontrol.

Kepala Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung  Ady Candra optimistis pelaksanaan penangkapan ikan terukur dapat dilaksanakan secara penuh. Kebijakan ini tentu akan mengubah pola kerja di lapangan karena itu diperlukan koordinasi dengan pemerintah daerah masing-masing.

Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi khawatir, pemberlakuan PIT justru membahayakan keberlanjutan usaha perikanan. Sebab saat ini pasokan bongkar dan ekspor mulai menurun karena diterapkannya penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “Seharusnya kita memprioritaskan pemanfaatan sumber daya alam yang ada, hal ini agar persebaran kapal yang merata,” katanya. “Sehingga data pascaproduksi diterapkan terlebih dahulu dibandingkan penerapan kuota agar tidak memberatkan nelayan.”  

Menurut Hendra, ketentuan penangkapan ikan terukur harus dijelaskan lebih lanjut dalam aturan teknisnya. Misalnya saja tentang kuota yang diperbolehkan. Ia merasa ada perbedaan antara apa yang disosialiasikan kepada pengusaha dengan ketetapan pada PP No 11 Tahun 2023. "Jangan sampai kontraproduktif," kata Hendra.

Abrizal dan Esther Satyono, pelaku usaha perikanan, juga memiliki kekhawatiran serupa. Bagi mereka yang paling penting adalah kepastian untuk dapat menjalankan usaha. Mereka percaya tujuan baik pemerinah dalam memberlakukan kebijakan penangkapan ikan terukur. Namun kebijakan itu perlu dipersiapkan secara matang agar tirak merugikan pelaku usaha dan nelayan. Apalagi pemerintah kerap mengubah-ubah aturan yang sudah ditetapkan. 

Nimmi Zulbainarni, ahli perikanan dari Universitas IPB, mengatakan kuota penangkapan ikan dapat dilakukan selama data yang dipaparkan memang akurat. Tanpa data yang akurat, dikhawatirkan akan muncul place grading dan kuota boosting yang dapat menimbulkan kegiatan destructive, serta unreported. Sehingga perlu kinerja ekstra pengawasan dalam pelaksanaan kuota penangkapan ikan ini.

“Dari 14 perusahaan pengolahan ikan di Indonesia, tujuh di antaranya ada di Kota Bitung,” kata Nimmy. “Sebelum kebijakan ini muncul, kapasitas produksi tidak terpenuhi namun produksi tetap berlanjut. Hal ini mengakibatkan 5 hingga 6 yang tersisa, ini artinya kebijakan yang ada membuat produksi menurun.”  

Menurut Yonvitner, juga dari Universitas IPB, kebijakan penangkapan ikan terpadu dalam PP 11/ 2023 memiliki tiga tujuan, yaitu kuota, kelestarian ekosistem, dan kesejahteraan serta pemerataan pendapatan. Namun di tahap implementasi, hanya satu tujuan yang terlihat, yaitu kuota. Sedangkan ekosistem dan pemerataan pendapatan tidak mendapat akomodasi yang sesuai. “Perlu diingat bahwa usaha ini adalah usaha yang mahal, sehingga perlu adanya tahapan perencanaan yang matang dan tidak berfokus pada satu poin saja,” katanya. “Tentunya diperlukan sosialisasi yang luas dan merata terhadap pelaku usaha dan nelayan, terutama nelayan kecil.”  

Bitung yang memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan bergerak di dalam bidang perikanan memiliki banyak pelabuhan yang dapat mendaratkan ikan dalam jumlah besar. Lokasi yang strategis membuat Kota Bitung menjadi gerbang transportasi pengiriman produk perikanan.

Itu sebabnya pemerintah harus mempersiapkan dengan baik aturan yang akan diterapkan. Perlu juga untuk memperhatikan aturan tentang retribusi dan pajak antara pemerintah pusat dan daerah. Kota Bitung, sebagai penyumbang industri perikanan terbesar, tentu harus memenuhi kuota bahan baku. Penerapan kebijakan yang salah berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan yang ujungnya menambah angka pengangguran. 

Iklan

Iklan

Artikel iklan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus