Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

4 Fakta Project Nimbus, Layanan Teknologi untuk Israel yang Didemo Pekerja Google dan Amazon

Project Nimbus merupakan kontrak yang menyediakan bantuan teknologi kepada Israel.

7 Mei 2024 | 15.05 WIB

Personel militer Israel mengendarai pengangkut personel lapis baja (APC) di dekat perbatasan Israel-Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, seperti yang terlihat dari Israel 3 April 2024. REUTERS/Hannah McKay
Perbesar
Personel militer Israel mengendarai pengangkut personel lapis baja (APC) di dekat perbatasan Israel-Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, seperti yang terlihat dari Israel 3 April 2024. REUTERS/Hannah McKay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Para pekerja Google dan Amazon mengadakan aksi protes di kantor-kantor perusahaan tersebut di New York, California, dan Seattle. Mereka menentang kontrak senilai USD 1.2 miliar antara Google dan Amazon dengan pemerintah Israel yang dikenal sebagai Project Nimbus.

Aksi tersebut dipimpin oleh No Tech For Apartheid, sebuah kelompok yang telah mengorganisir karyawan Google sejak 2021 untuk melawan Project Nimbus.

Para pekerja tersebut menentang hubungan perusahaan mereka dengan Israel, yang juga dihadapkan pada tuduhan genosida atas perangnya di Gaza di Mahkamah Internasional. Mereka menuntut hak untuk mengetahui bagaimana produk teknologi yang mereka buat akan digunakan, dengan kekhawatiran bahwa teknologi tersebut dapat digunakan untuk tujuan yang merugikan.

Apa Itu Project Nimbus?

Dilansir dari Al Jazeera, Project Nimbus adalah kontrak senilai USD 1.2 miliar untuk menyediakan layanan cloud bagi militer dan pemerintah Israel. Teknologi ini memungkinkan surveilans lebih lanjut dan pengumpulan data secara ilegal terhadap warga Palestina, serta memfasilitasi perluasan permukiman ilegal Israel di tanah Palestina.

Menurut laporan The Intercept pada 2021, Google menawarkan kemampuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang canggih kepada Israel, yang dapat mengumpulkan data untuk pengenalan wajah dan pelacakan objek sebagai bagian dari Project Nimbus.

Aktivis dan akademisi mempertanyakan penggunaan AI Israel untuk menargetkan warga Palestina, sementara para ahli hukum menyatakan bahwa penggunaan kecerdasan buatan dalam perang melanggar hukum internasional.

Untuk Apa AI Tersebut?

Profesor dari Universitas California, Los Angeles (UCLA), Ramesh Srinivasan, menyatakan bahwa proyek ini pada dasarnya adalah sistem penyimpanan data, manajemen data, dan berbagi data.

Data bagi pemerintah Israel kemungkinan besar akan meluas ke militer Israel. Proyek ini menandai hubungan langsung yang dimiliki perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat, bukan hanya dengan industri militer, tetapi juga dengan membantu langsung pemerintah Israel.

Perusahaan tersebut mengatakan bahwa kontrak Nimbus tidak ditujukan untuk beban kerja yang sangat sensitif, terklasifikasi, atau militer yang relevan dengan senjata atau layanan intelijen". Perusahaan tersebut mengklaim bekerja dengan beberapa pemerintah di seluruh dunia, termasuk Israel. Perusahaan tersebut memecat setidaknya 28 karyawan minggu lalu karena "melanggar kode etik Google" dan "kebijakan tentang pelecehan, diskriminasi, dan balasan". Selain itu, setidaknya sembilan karyawan Google ditangkap karena melakukan unjuk rasa di kantor-kantornya di New York dan Sunnyvale.

Bukan Aksi Pertama

Para pekerja Google dan Amazon bukan kali pertama menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap Proyek Nimbus. Pada 2017, Google bermitra dengan Pentagon untuk menggunakan teknologi kecerdasan buatan perusahaan itu untuk menganalisis rekaman surveilans drone. Kemudian pada 2018, ribuan karyawan Google memprotes kontrak dengan Departemen Pertahanan AS yang dikenal sebagai Proyek Maven.

Pada 2021, karyawan Amazon dan Google menyatakan kekhawatiran mereka secara anonim dalam surat terbuka yang dipublikasikan oleh outlet berita Inggris, The Guardian. Lebih dari 90 pekerja di Google dan lebih dari 300 di Amazon telah menandatangani surat ini secara internal.

“Perusahaan kami menandatangani kontrak yang disebut Proyek Nimbus untuk menjual teknologi berbahaya kepada militer dan pemerintah Israel. Kontrak ini ditandatangani pada minggu yang sama ketika militer Israel menyerang warga Palestina di Jalur Gaza – menewaskan hampir 250 orang, termasuk lebih dari 60 anak-anak,” tulis para pekerja dalam laporan The Guardian.

Tanggapan Google

CEO Google, Sundar Pichai mengeluarkan peringatan terhadap protes pekerja. Atas aksi tersebut, Google memecat 20 pengunjuk rasa, sehingga total yang dipecat sekitar 50 orang.

Bahkan seorang insinyur perangkat lunak Google yang ditangkap karena berpartisipasi dalam aksi di New York. Insinyur tersebut mengatakan kepada outlet AS Democracy Now bahwa para pekerja ditangkap karena berbicara menentang penggunaan teknologi untuk mendukung genosida pertama yang didukung AI.

Google mengatakan pihaknya memecat pekerja tersebut setelah penyelidikannya mengumpulkan rincian dari rekan kerja yang “terganggu secara fisik” dan mengidentifikasi karyawan yang menggunakan masker dan tidak membawa lencana staf untuk menyembunyikan identitas mereka.

Pilihan Editor: Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata, Israel Ultimatum Rafah Dikosongkan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus