Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

5 Resesi Global yang Pernah Terjadi di Dunia

Dunia pernah lima kali dilanda resesi global, dari krisis minyak hingga pandemi Covid-19.

9 April 2025 | 15.33 WIB

Ilustrasi Resesi. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi Resesi. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Resesi global terjadi ketika perekonomian berbagai negara mengalami gangguan besar secara bersamaan. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menyebut resesi global sebagai kontraksi tahunan pada Produk Domestik Bruto (PDB) riil per kapita dunia, yang disertai penurunan aktivitas ekonomi lainnya, seperti konsumsi minyak, arus modal, dan kepercayaan bisnis. Situasi ini biasanya dibarengi dengan ketatnya kondisi keuangan serta ketidakpastian kebijakan yang meningkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Menurut laman The Conference Board, sejak Perang Dunia II, dunia mencatat lima kali resesi global, yakni pada 1975, 1982, 1991, 2009, dan 2020. Setiap periode memiliki pemicu berbeda, mulai dari lonjakan harga minyak, krisis keuangan, hingga pandemi. Namun polanya nyaris serupa, yakni perlambatan ekonomi yang meluas dan serentak. Meski tak semua negara mengalami kontraksi PDB per kapita, dampak resesi tetap terasa di banyak sektor, terutama di negara-negara dengan ekonomi terbuka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari berbagai sumber, berikut kilas balik lima resesi global yang pernah terjadi. 

1973-1975: The Oil Shock Recession

Dilansir dari laman Trend Spider, setelah dua dekade pertumbuhan pesat pasca-Perang Dunia II, dunia diguncang oleh embargo minyak dari negara-negara OPEC pada 1973 yang menyebabkan lonjakan harga minyak. Resesi global yang terjadi antara 1973 hingga 1975 memukul banyak negara dengan kombinasi inflasi tinggi, pengangguran melonjak, serta ketidakstabilan keuangan.

Periode sebelumnya bahkan dikenal sebagai Golden Age of Capitalism, masa negara-negara Barat menikmati kemakmuran berkat industrialisasi, konsumerisme, serta rekonstruksi pascaperang. Tapi fondasi yang dibangun selama dua dekade itu ternyata rapuh.

Sistem nilai tukar tetap yang diatur Bretton Woods mulai melemah, dipicu defisit perdagangan Amerika Serikat dan depresiasi nilai dolar. Ketergantungan pada minyak impor, terutama dari negara-negara OPEC, memperbesar kerentanan ketika krisis muncul.

Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang paling terdampak. Produk Domestik Bruto (PDB) riil negara itu merosot sebesar 2,1 persen pada 1974 dan turun lagi 0,2 persen pada 1975. Tingkat inflasi mencapai 12,3 persen dan pengangguran menyentuh angka 9 persen pada puncaknya.

Tak hanya AS, banyak negara industri menghadapi stagnasi ekonomi. Dunia memasuki situasi baru, yakni stagflasi atau gabungan stagnasi ekonomi dan inflasi tinggi yang saat itu dianggap tidak mungkin terjadi oleh teori ekonomi konvensional.

1982–1983: “Volcker Shock” dan Utang Negara Berkembang

Resesi 1982 dikenal luas sebagai hasil dari kebijakan agresif Ketua The Fed, Paul Volcker, yang menaikkan suku bunga secara ekstrem untuk meredam inflasi yang menggila di AS. Langkah ini berhasil mengendalikan harga, namun menjerumuskan dunia ke dalam resesi. Negara berkembang menjadi korban terbesar.

Kenaikan suku bunga membuat pembayaran utang luar negeri mereka membengkak. Krisis utang mulai merebak di Amerika Latin, terutama Meksiko dan Brasil. Dunia mengalami penyusutan perdagangan internasional dan perlambatan pertumbuhan ekonomi selama dua tahun berturut-turut.

Dikutip dari laman Federal Reserve History, awal 1980-an menjadi masa kelam perekonomian global akibat inflasi tinggi yang sudah mengakar sejak dekade sebelumnya. Kenaikan harga minyak dunia, pertumbuhan uang beredar yang tak terkendali, serta kebijakan fiskal ekspansif membuat banyak negara terjebak dalam tekanan harga.

Amerika Serikat menjadi episentrum gejolak dengan pengangguran hampir 11 persen pada akhir 1982, tertinggi sejak depresi besar. Sektor manufaktur, konstruksi, dan otomotif remuk dihantam suku bunga tinggi yang ditetapkan Federal Reserve. 

Paul Volcker, yang menjabat sebagai Ketua The Fed sejak 1979, pada saat itu mengubah pendekatan bank sentral dengan menargetkan pasokan uang secara agresif ketimbang suku bunga, demi menumpas inflasi dan mengembalikan kredibilitas lembaga moneter.

Langkah Volcker tak langsung membuahkan hasil. Setelah upaya awal melonggarkan inflasi justru memicu resesi singkat pada 1980, ia kembali mengetatkan kebijakan hingga suku bunga federal menyentuh 20 persen. Meski dihujani kritik dari parlemen dan publik karena lonjakan pengangguran, Volcker bergeming.

Keteguhan itu akhirnya membuahkan hasil. Pada akhir 1982, inflasi turun ke 5 persen dan suku bunga jangka panjang ikut mereda. Reputasi Volcker pun melambung sebagai sosok yang menaklukkan inflasi, membuka jalan bagi stabilitas harga sepanjang dekade berikutnya.

1990-1991: Akibat Perang Teluk dan Krisis Perbankan

Dinukil dari laman Tren Spider, resesi Perang Teluk yang berlangsung antara 1990 hingga 1991 menjadi momen penting dalam sejarah ekonomi global, terutama Amerika Serikat. Konflik militer antara Irak dan koalisi pimpinan AS yang mengguncang kawasan Teluk turut memicu lonjakan harga minyak dunia, memukul daya beli masyarakat, dan menciptakan ketidakpastian yang menghantam pasar finansial serta investasi bisnis.

Di sisi lain, ekonomi AS yang baru saja keluar dari era pertumbuhan ala Reagan sudah menyimpan potensi masalah, mulai dari kebijakan moneter ketat The Fed, krisis sektor properti, hingga utang korporasi yang menggunung.

Selama delapan bulan, dampak resesi pada saat itu terasa dalam banyak aspek. Tingkat pengangguran naik, produksi industri menurun, dan sejumlah sektor seperti manufaktur, konstruksi, serta ritel terpaksa memangkas tenaga kerja. Di tengah tekanan itu, pemerintah AS merespons dengan menurunkan suku bunga, menggulirkan proyek infrastruktur bernilai ratusan miliar dolar, dan menstabilkan sektor keuangan lewat intervensi langsung. 

2007–2009: The Great Recession

Dilansir dari laman Investopedia, krisis ekonomi yang melanda dunia pada 2007 hingga 2009 bermula dari kehancuran pasar perumahan Amerika Serikat. Ketika gelembung properti pecah, nilai aset keuangan seperti mortgage-backed securities (MBS) dan produk turunan lainnya anjlok tajam.

Situasi ini memperlihatkan rapuhnya fondasi sistem keuangan yang terlalu berani ambil risiko, ditambah kelonggaran regulasi dari pemerintah dan bank sentral yang gagal membendung praktik kredit sembrono. Dalam waktu singkat, ekonomi dunia terseret masuk ke dalam resesi terdalam sejak era Great Depression tahun 1930-an.

Namun penyebab krisis ini bukan semata kesalahan pasar, melainkan kombinasi dari kebijakan suku bunga rendah pasca-9/11, dorongan politik untuk meningkatkan kepemilikan rumah, serta inovasi keuangan yang memperdaya banyak peminjam tak layak kredit. Ketika suku bunga mulai naik pada 2004, sistem mulai retak.

Kredit macet menjamur, harga rumah anjlok, dan para pemilik rumah kehilangan aset sekaligus menyeret lembaga keuangan besar seperti Lehman Brothers ke ambang kehancuran. Gelombang krisis ini pun menular ke Eropa dan Asia, menelan jutaan pekerjaan dan menghancurkan triliunan dolar kekayaan masyarakat.

Pemerintah AS bereaksi dengan intervensi masif: suku bunga ditekan hingga nyaris nol, bailout triliunan dolar digelontorkan, dan stimulus ekonomi digagas lewat Undang-Undang Pemulihan 2009. T

ak hanya itu, regulasi pun diperketat lewat Dodd-Frank Act yang memberi pemerintah kuasa lebih besar mengawasi institusi keuangan. Meski pasar modal bangkit lebih cepat, pemulihan bagi rumah tangga berlangsung lambat. Pendapatan median baru kembali ke level sebelum krisis pada 2016. 

2020: Resesi Pandemi Covid-19 atau Great Lockdown

Dikutip dari Trend Spider, resesi global akibat pandemi Covid-19 yang dimulai pada Februari 2020 menjadi krisis ekonomi terdalam sejak depresi besar. Ekonomi dunia sebenarnya tengah menikmati pertumbuhan selama satu dekade pasca-krisis keuangan 2008, ditopang oleh suku bunga rendah, lonjakan teknologi, dan globalisasi.

Namun, ketika virus Covid menyebar cepat ke seluruh dunia, negara-negara mengambil langkah drastis berupa lockdown dan pembatasan sosial yang langsung melumpuhkan aktivitas mobilitas manusia, produksi, dan konsumsi. 

IMF menyebut ini sebagai “resesi besar” (great lockdown) dengan kontraksi ekonomi global mencapai -3,1 persen. Ratusan juta pekerjaan hilang, sektor pariwisata runtuh, dan ketergantungan pada bantuan sosial meningkat tajam. Selain itu, krisis ini melanda dari dua sisi: suplai dan permintaan.

Pabrik-pabrik berhenti berproduksi, rantai pasok terganggu, dan konsumen menahan belanja. Industri seperti pariwisata, ritel, hingga UMKM dan pekerja gig economy menjadi yang paling terpukul. Sementara itu, angka pengangguran di Amerika Serikat melesat hingga 14,8 persen pada April 2020, tertinggi sejak era 1930-an. 

Namun krisis ini juga menjadi pemicu transformasi jangka panjang. Kebijakan bekerja dari rumah menjadi norma baru, mengubah peta permintaan properti komersial dan cara orang menilai keseimbangan hidup.

Di sisi lain, pandemi mempertegas kesenjangan ekonomi, yakni kelompok berpendapatan rendah paling merasakan dampaknya, sementara sektor teknologi justru melesat. Meskipun pemulihan ekonomi berlangsung cepat di beberapa negara, pandemi menyisakan tantangan panjang berupa utang tinggi dan ketimpangan digital.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus