Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Bagaimana Amerika Serikat Menjadi Pendukung Kuat Israel?

Kepentingan strategis di Timur Tengah dan peran lobi pro-Israel mempertahankan arah politik luar negeri Amerika Serikat untuk mendukung Israel.

20 Mei 2021 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketika serangan Israel membunuh ratusan orang Palestina di Gaza, termasuk puluhan anak-anak, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dikabarkan mau menjual senjata berpemandu canggih buatan Boeing senilai USD 735 juta atau setara Rp 10,4 triliun ke Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak sangsi, Amerika Serikat adalah pendukung kuat Israel dan bahkan menggelontorkan bantuan masif daripada negara lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembar fakta Departemen Luar Negeri AS menyebut AS adalah negara pertama yang mengakui Israel pada 1948, dan yang pertama mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017 di era Donald Trump.

"Komitmen Amerika Serikat terhadap keamanan Israel didukung oleh kerja sama pertahanan yang kuat dan Memorandum of Understanding (MoU) 10 tahun senilai US$ 38 miliar (Rp 543,8 triliun) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Israel pada tahun 2016," kata Departemen Luar Negeri AS di situs webnya, yang dirilis 20 Januari 2021.

Sesuai dengan MOU tersebut, Amerika Serikat setiap tahun menyediakan US$ 3,3 miliar (Rp 47,2 triliun) dalam Pembiayaan Militer Asing dan US$ 500 juta (Rp 7 triliun) untuk program kerja sama untuk pertahanan rudal.

Bahkan Joe Biden, yang menjanjikan dukungan Palestina selama kampanye pilpres AS, tidak melepas dukungan historis kepada Israel. Sikap Biden telah dikecam oleh sesama Demokrat yang progresif seperti Rashida Tlaib, Ilhan Omar, dan Alexandria Ocasio-Cortez.

Pertanyaannya adalah kenapa dan bagaimana Amerika Serikat bisa menjadi pendukung utama Israel, bahkan ketika Israel melanggar hak asasi manusia?

Riwayat hubungan Amerika Serikat dan Israel

Presiden Harry Truman adalah kepala negara pertama yang mengakui Israel ketika dibentuk pada 1948.

Dikutip dari Al Jazeera, 19 Mei 2021, pengakuan itu sebagian karena ikatan pribadi. Mantan mitra bisnis Truman, Edward Jacobson, memainkan peran penting dalam meletakkan dasar bagi AS dalam mengakui Israel sebagai sebuah negara. Namun ada juga pertimbangan strategis yang mendorong keputusan tersebut.

Pengakuan itu terjadi tepat setelah Perang Dunia II, ketika Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet mulai terjadi.

Timur Tengah, dengan cadangan minyak dan jalur airnya yang strategis (Terusan Suez) adalah medan pertempuran utama untuk pengaruh hegemoni negara adidaya. AS mengambil alih dari kekuatan Eropa yang sangat lemah sebagai poros kekuatan barat utama di Timur Tengah.

Tentara Israel berbicara dengan pemuda Palestina selama protes anti-Israel atas kekerasan lintas perbatasan antara militan Palestina di Gaza dan militer Israel, dekat pos pemeriksaan Hawara dekat Nablus di Tepi Barat yang diduduki Israel, 18 Mei 2021. REUTERS/Raneen Sawafta

Dalam perang 1967 Israel mengalahkan pasukan Mesir, Suriah dan Yordania, dan menduduki Palestina serta beberapa wilayah dari Suriah dan Mesir.

Sejak itu, AS telah bertindak tegas untuk mendukung superioritas militer Israel di wilayah tersebut dan untuk mencegah tindakan permusuhan terhadapnya oleh negara-negara Arab.

Hubungan AS-Israel tumbuh dengan pesat setelah tahun 1967, karena sebagian besar karena perubahan penahanan dan postur strategis AS.

Dilansir dari Vox, menurut Michael Barnett, pakar ilmu politik Universitas George Washington, presiden dan ahli strategi Amerika melihat Israel sebagai alat yang berguna untuk menahan pengaruh Soviet di Timur Tengah, yang signifikan di antara negara-negara Arab, dan menggunakan dukungan diplomatik dan militer untuk menjalin Israel dengan kuat ke dalam blok anti-Soviet.

Untuk satu hal, pendekatan AS ke Timur Tengah tidak banyak berubah setelah Perang Dingin. AS semakin terlibat dalam mengelola perselisihan dan masalah di Timur Tengah selama Perang Dingin, dan mempertahankan peran itu sebagai satu-satunya kekuatan super dunia pada tahun 90-an. Stabilitas di Timur Tengah terus menjadi kepentingan utama Amerika, karena sejumlah alasan termasuk pasar minyak global, dan AS mengambil peran sebagai penjamin stabilitas regional.

Secara strategis AS melihat penting untuk mendukung negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan Israel yang membutuhkan dukungan konservatif AS. Tidak seperti Iran, Suriah, dan Irak, negara-negara ini pada dasarnya baik-baik saja dengan status quo di Timur Tengah.

Mendukung Israel bagus untuk politik dalam negeri AS

Mendukung Israel telah lama memberi keuntungan politik di Amerika Serikat. Sejak 1980-an, politisi Amerika Serikat telah membaca pemilih mereka yang ternyata lebih condong ke Israel.

Suara kongres tentang masalah yang berkaitan dengan Israel selalu berpihak ke Zionis.
Pada 2014, resolusi Senat mendukung serangan Israel ke Gaza dan disahkan dengan suara bulat, seperti yang terjadi pada banyak undang-undang dan resolusi "pro-Israel".

Penjelasan paling sederhana untuk suara bulat ini adalah bahwa mendukung Israel benar-benar populer di kalangan pemilih.

Data Gallup sejak 1988 secara konsisten menunjukkan persentase orang Amerika yang bersimpati dengan Israel lebih tinggi daripada dengan orang Palestina dalam konflik.

Meski demikian, saat ini lebih banyak orang Amerika yang simpati pada perjuangan Palestina, menurut survei tahunan yang dilakukan oleh Gallup, menurut Al Jazeera pada 18 Mei.

Jajak pendapat Februari menemukan bahwa 25 persen orang Amerika lebih bersimpati dengan orang Palestina, naik 2 poin persentase dari tahun sebelumnya dan enam poin persentase lebih tinggi dari 2018.

Peringkat yang menguntungkan untuk Otoritas Palestina juga mencapai tertinggi baru 30 persen, peningkatan 7 poin persentase selama tahun 2020.

Tapi Israel masih memegang kekuasaan yang jauh lebih besar di pengadilan opini publik AS.

Jajak pendapat Gallup yang sama menemukan bahwa 58 persen orang Amerika lebih bersimpati dengan Israel, sementara 75 persen orang Amerika menilai Israel dengan baik.

Orang Yahudi ultra-Ortodoks Pro-Palestina melakukan protes balasan pada unjuk rasa pro-Israel di Times Square di New York City, 12 Mei 2021. [REUTERS / David 'Dee' Delgado]

Peran lobi pro-Israel

Tidak bisa dipungkiri lobi pro-Israel memainkan peran penting dalam mempertahanan dukungan Amerika Serikat.

American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) adalah lobi pro-Israel terbesar di Amerika. Survei orang dalam Capitol Hill yang dilakukan oleh Fortune (1997) dan National Journal (2005) menempatkannya sebagai kelompok lobi terkuat kedua di Washington, setelah American Association of Retired Persons (AARP) dan National Federation of Independent Business.

Tidak jelas seberapa jauh lobi pro-Israel bisa mengubah arah kebijakan strategis AS terhadap Israel, tetapi menurut Foreign Policy In Focus (FPIF), meskipun peran lobi pro-Israel sering dilebih-lebihkan, perannya penting dalam pemilihan kongres tertentu yang ketat.

Kelompok pro-Israel menyumbangkan jutaan dolar untuk kandidat politik federal AS. Selama kampanye 2020, kelompok pro-Israel menyumbangkan US$ 30,95 juta (Rp 443 miliar), dengan 63 persen ke Demokrat, 36 persen ke Republik. Itu sekitar dua kali lipat dari yang mereka sumbangkan selama kampanye 2016, menurut OpenSecrets.org.

Sementara pro-Palestina telah lama diwakili oleh American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC), yang didirikan pada 1980 dan US Campaign for Palestinian Rights, sebuah jaringan aktivis yang didirikan pada 2001. Tetapi kelompok pro-Palestina hampir tidak aktif mengucurkan dana untuk kampanye federal AS.

AIPAC mengadakan konferensi tahunan di Washington DC, dengan sekitar 20.000 peserta yang dihadiri oleh politisi papan atas AS, termasuk Presiden Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump, Al Jazeera melaporkan.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga hadir secara rutin.

Mantan Presiden Trump, didorong oleh dukungan untuk Israel dari orang-orang Kristen evangelis dan pemimpin yang berpikiran sama di Netanyahu, adalah pembela setia Israel selama empat tahun masa jabatannya.

Mayoritas besar Kongres AS di partai Demokrat dan Republik secara terbuka mendukung Israel.

Ketua DPR AS Nancy Pelosi, Pimpinan Mayoritas DPR AS Steny Hoyer, dan Pimpinan Mayoritas Senat Chuck Schumer, yang semuanya Demokrat, memiliki rekam jejak panjang dalam mendukung Israel dan menyuarakan dukungan kuat bagi hak Israel untuk membela diri di saat-saat konflik.

"Faktanya adalah kami memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Israel, dan keamanan Israel adalah masalah keamanan nasional bagi kami, sebagai teman kami, negara demokratis di wilayah tersebut. Hamas mengancam keamanan orang-orang di Israel. Israel punya hak untuk membela diri," kata Pelosi.

US DEPARTEMENT OF STATE | REUTERS | VOX | AL JAZEERA | FOREIGN POLICY IN FOCUS

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus