Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Buntut Boikot TikToker

Donald Trump melarang aplikasi TikTok beroperasi di Amerika Serikat dengan alasan mengancam keamanan nasional. Gara-gara ulah TikToker dalam kampanye Partai Republik.

26 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi aplikasi Titok, 9 September 2020. Reuters/Dado Ruvic

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Trump melarang aplikasi TikTok beroperasi di Amerika Serikat dengan alasan mengancam keamanan nasional.

  • Larangan muncul setelah penggemar TikTok dan musik pop Korea memboikot kampanye Trump.

  • TikTok beberapa kali berurusan dengan pengadilan karena pelanggaran privasi data pengguna.

APLIKASI berbagi video TikTok sedang berjuang agar tak tersingkir dari Amerika Serikat. Presiden Amerika Donald Trump meneken perintah eksekutif yang melarang dua media sosial Cina, TikTok dan WeChat, digunakan di Negeri Abang Sam pada 6 Agustus lalu. Larangan itu mulai berlaku pada Ahad, 27 September 2020, kecuali aplikasi tersebut dijual ke perusahaan Amerika. Gedung Putih mengklaim kebijakan ini bertujuan membersihkan jaringan Internet dan infrastruktur telekomunikasi dari perusahaan Cina yang dianggap membahayakan keamanan nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan Trump itu telah menggerogoti bisnis TikTok. Vanessa Pappas, pemimpin global sementara TikTok, menyatakan lusinan perusahaan telah membatalkan atau menunda iklan yang seharusnya memberikan pemasukan senilai US$ 10 juta bagi TikTok pada Agustus. Dia juga memaparkan, jika aplikasi video pendek mereka dilarang selama dua bulan saja, separuh dari pengguna di Amerika akan pergi. Jika larangan berlangsung selama enam bulan, 90 persen pengguna akan kabur selamanya. “Kami tak mungkin bisa memperbaiki kekalahan karena orang-orang yang telah mengunduh TikTok akan pindah ke platform pesaing, seperti Byte, Triller, Zynn, dan fitur Reels di Instagram,” tulis Pappas seperti dikutip NPR dalam surat gugatan TikTok ke pengadilan federal, Rabu, 23 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam gugatan itu, TikTok meminta larangan Trump tersebut dicabut. Pengacara TikTok menyatakan Trump sebenarnya menyasar bisnis kliennya gara-gara para TikToker—sebutan bagi pengguna TikTok—menggunakan aplikasi tersebut untuk “mengerjai” sang Presiden.

Ini berpangkal dari rencana Trump menggelar kampanye politik pertamanya di BOK Center, Tulsa, Oklahoma, 19 Juni lalu. Rencana ini diprotes banyak pihak karena bertepatan dengan hari perayaan emansipasi budak. Tulsa adalah tempat pembantaian sekitar 300 budak kulit hitam pada 1921. Setelah keributan pecah, panitia menggeser jadwalnya sehari sesudah tanggal tersebut.

Saat itulah muncul kampanye agar para TikToker “mengerjai” Trump. Salah satu penggalangnya adalah Mary Jo Laupp, perempuan asal Iowa yang pernah bekerja untuk kampanye Pete Buttigieg, calon presiden dari Partai Demokrat. “Saya menyarankan kita semua yang ingin melihat 19 ribu kursi auditorium terisi penuh atau kosong sama sekali agar memesan tiketnya sekarang dan biarkan dia (Trump) berdiri sendirian di panggung,” katanya dalam sebuah video di TikTok.

The New York Times dan Forbes melaporkan bahwa para TikToker memborong tiket acara itu. Brad Parscale, manajer kampanye Trump, mengklaim lebih dari satu juta tiket ludes terjual. Trump pun memuji animo besar masyarakat. “Ini adalah kerumunan, yang saya kira, tidak pernah terjadi sebelumnya. Kami menerima permintaan tiket yang sangat luar biasa seperti, saya pikir, mungkin belum pernah terjadi secara politik sebelumnya,” ujar politikus Republikan itu.

Namun para TikToker tak datang ke kampanye tersebut. Saat Trump berjalan ke panggung BOK Center, hanya 6.200 dari 19.200 kursi yang terisi. Trump dan Wakil Presiden Mike Pence akhirnya membatalkan pidatonya dalam acara tersebut. “Hal itu telah mempermalukan kampanye Presiden,” tutur John Hall, pengacara TikTok.

Tak lama setelah peristiwa itulah Trump menerbitkan larangan terhadap TikTok dan WeChat. Tapi hakim federal kemudian mencabut keputusan Trump mengenai WeChat karena menilainya melanggar kebebasan berpendapat. Aplikasi WeChat, menurut hakim, berperan sebagai “ruang publik virtual” dan pelarangan itu juga membuat orang Cina di Amerika tak dapat berkomunikasi dengan keluarganya di kampung halaman. Namun permohonan TikTok agar pengadilan menggelar sidang darurat mengenai pelarangannya ditolak.

Beijing ByteDance Technology, perusahaan Internet berbasis di Beijing, meluncurkan TikTok pada September 2017, setahun setelah merilis Douyin, aplikasi serupa yang hanya beroperasi di Negeri Tirai Bambu. ByteDance lalu membeli aplikasi video Musical.ly seharga US$ 1 miliar dan menggabungkannya dengan TikTok. Nilai bisnisnya kini sekitar US$ 50 miliar.

TikTok punya 1,8 miliar pengguna di seluruh dunia, yang 9 persen di antaranya di Amerika, dan 100 juta pengguna aktif setiap bulan di Amerika. Catatan ini melampaui mikroblog Twitter. Bisnis Twitter bernilai US$ 23 miliar lebih dan baru punya 48 juta pengguna aktif di negeri itu.

Trump berdalih bahwa TikTok berpotensi mengancam keamanan karena Cina dapat saja menggunakan data TikTok untuk melacak lokasi para pejabat federal, menghimpun informasi pribadi untuk pemerasan, dan mematai-matai bisnis. Sejumlah anggota parlemen menekankan soal Undang-Undang Intelijen Nasional Cina tahun 2017 yang memberikan mandat kepada perusahaan Cina untuk “mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan intelijen negara”. Seperti dikutip The New York Times, analis Badan Intelijen Amerika (CIA) mengakui Cina mungkin saja menyedot datanya karena aplikasi tersebut milik ByteDance, tapi mereka belum punya bukti hal itu telah terjadi.

Seperti media sosial lain, TikTok mengumpulkan data pengguna, termasuk lokasi dan kebiasaan mereka. Yang membedakan adalah TikTok milik ByteDance dan kebijakan privasi TikTok menggariskan perusahaan itu dapat berbagi data pengguna dengan perusahaan induk dan anak usahanya. TikTok berkali-kali menekankan bahwa Partai Komunis Cina tidak campur tangan dalam bisnisnya dan mereka menyimpan data pengguna di Amerika dan Singapura.

Perusahaan itu beberapa kali berurusan dengan pengadilan Amerika berkaitan dengan privasi pengguna. Pada Februari 2019, Komisi Perdagangan Federal (FTC) dan Departemen Kehakiman mendakwa TikTok melanggar Undang-Undang Perlindungan Privasi Daring Anak dengan menyimpan data biometrik anak-anak tanpa persetujuan orang tua mereka. TikTok membayar US$ 5,7 juta atas pelanggaran itu—denda terbesar dalam sejarah FTC atas kasus privasi anak.

TikTok juga diduga telah mengirim data pengguna ke Cina. November tahun lalu, Misty Hong, seorang mahasiswa di Palo Alto, California, mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) ke Pengadilan Distrik California Utara. Dia mengunduh aplikasi itu, tapi tak pernah membuat akun. Belakangan, dia menemukan TikTok ternyata membuatkannya akun dan mengirim datanya ke server di Cina, termasuk mengenai gawai dan situs yang pernah ia kunjungi. Persidangan atas kasus ini masih berjalan.

September tahun lalu, The Guardian mengungkap bocoran dokumen ByteDance yang memerintahkan moderator dan algoritma TikTok menyensor video-video yang dianggap sensitif dalam politik Cina. Video yang menyebutkan peristiwa berdarah di Lapangan Tiananmen, Falun Fong, dan kemerdekaan Tibet diminta dihapus dari aplikasi itu.

ByteDance kini berusaha menyelamatkan bisnisnya dengan menggandeng Oracle dan Walmart. Dua korporasi Amerika itu akan menguasai 20 persen saham perusahaan baru bernama TikTok Global, yang akan menggelar penawaran umum tahun depan. Empat dari lima anggota dewan direksinya nanti adalah orang Amerika dan Oracle akan menampung semua data pengguna Amerika di servernya. “Kami seratus persen yakin pada kemampuan kami untuk menciptakan lingkungan yang sangat aman bagi TikTok dan memastikan keamanan privasi data pengguna Amerika dan dunia,” ujar CEO Oracle Safra Catz.

Namun Hu Xijin, Pemimpin Redaksi Global Times, media yang disokong Partai Komunis Cina, mencuit bahwa Beijing tak menyetujui kesepakatan ByteDance dengan Oracle dan Walmart karena akan “membahayakan keamanan, kepentingan, dan martabat nasional Cina”. Agustus lalu, pemerintah Cina menerbitkan aturan baru yang membatasi ekspor teknologi inteligensia buatan. Kebijakan baru ini membuat kesepakatan tersebut terkatung-katung.

IWAN KURNIAWAN (NPR, CNET, THE GUARDIAN, THE NEW YORK TIMES, AL-JAZEERA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus