Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jejak-jejak Jimmy Carter di Indonesia

Mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, meninggal pada usia 100 tahun. Dia mendorong penerapan demokrasi di Indonesia.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tentara membawa peti jenazah mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, di Katedral Nasional Washington di Washington, Amerika Serikat, 9 Januari 2025. Reuters/Brendan McDermid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter meninggal pada usia 100 tahun.

  • Melalui The Carter Center, dia mendorong penerapan demokrasi di berbagai negara.

  • Carter memantau Pemilihan Umum 1999 di Indonesia secara langsung dan jajak pendapat di Timor Timur.

TUSUKAN udara dingin Washington, DC, pada Rabu fajar yang gelap, 8 Januari 2025, tidak menyurutkan niat 23 ribu lebih pelayat yang berbondong-bondong menyampaikan penghormatan terakhir kepada James Earl Carter, Jr., Presiden Amerika Serikat ke-39, yang wafat pada 29 Desember 2024 di usia 100 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rotunda, ruang di bawah kubah gedung Capitol, kuil demokrasi Amerika, sebelum dimakamkan esoknya di Kota Plains, Georgia, kota kelahirannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Antrean pelayat mengular sampai ke jalan raya. Mereka kemudian bergantian mengelilingi peti berselimut bendera Amerika Serikat berhias tiga rangkaian bunga yang dibatasi tali pita beludru dan dikawal prajurit dari lima angkatan Amerika dengan sikap sempurna. Tak sedikit yang menitikkan air mata dan menundukkan kepala seraya menjalin tangan dalam doa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petakziah itu datang dari berbagai kalangan. Ada seorang pria tua dengan memorabilia kampanye pemilihan umum Presiden Amerika pada 1977, tahun ketika Carter terpilih sebagai presiden—agaknya ia dari barisan relawan saat itu. Para veteran berkursi roda datang untuk memberikan hormat kepada mantan panglima tertinggi mereka.

Seorang ibu membawa anaknya dan membisikkan memori sejarah Carter. Ada pula anak-anak muda, yang tentu hidup di masa setelah Carter tak lagi menjabat presiden. Hal ini menunjukkan betapa luas dan panjang pengaruh Carter, bahkan puluhan tahun setelah dia tak lagi menjabat presiden.

Jimmy Carter, begitu James Carter biasa disapa, menjadi presiden berusia terpanjang dalam sejarah Negeri Abang Sam dan yang pertama mencapai usia 100. Semasa hidup, dia tidak pernah lelah memperjuangkan kemanusiaan dan demokrasi. “Jimmy Carter membawa gerakan hak asasi manusia ke dalam lorong-lorong kekuasaan dan berupaya menciptakan pemerintahan yang dipandu oleh martabat manusia,” kata Tirana Hassan, Direktur Eksekutif Human Rights Watch, dalam pernyataannya.

Dalam pidato mengenang Carter di Gedung Putih, Presiden Joe Biden meringkas capaian Carter dalam lima kalimat: seorang penganut Gereja Baptis dari Selatan berkulit putih yang memimpin hak-hak sipil, veteran Angkatan Laut terhormat yang menjadi perantara perdamaian, insinyur nuklir brilian yang memimpin nonproliferasi nuklir, petani pekerja keras yang memperjuangkan konservasi dan energi bersih, serta presiden yang mendefinisikan ulang hubungan dengan wakil presiden. “Jimmy Carter juga membangun model pasca-kepresidenan dengan membuat perbedaan yang kuat sebagai warga negara biasa di Amerika dan... di seluruh dunia,” tuturnya.

Kisah Carter, Biden mengatakan, adalah kisah tentang seorang pria dari sebuah rumah tanpa air bersih ataupun listrik dan mencapai puncak kekuasaan. “Sebuah kisah tentang seorang pria yang tidak pernah membiarkan gelombang politik mengalihkannya dari misinya untuk melayani dan membentuk dunia.”

Carter lahir dari keluarga petani kacang pada 1 Oktober 1924. Sarjana lulusan Georgia Institute of Technology ini masuk Akademi Angkatan Laut Amerika Serikat pada 1943 dan kemudian bertugas menangani pembangkit listrik tenaga nuklir. Dia pensiun dini dengan pangkat letnan demi meneruskan pertanian keluarga.

Karier politik Carter bermula sebagai aktivis gerakan hak-hak sipil dari Partai Demokrat faksi John F. Kennedy, kendati ayahnya pendukung diskriminasi terhadap kaum kulit hitam. Dia kemudian terpilih sebagai Gubernur Georgia 1971-1975. “Saya katakan dengan terus terang, masa untuk diskriminasi sudah berakhir,” ucapnya dalam pidato kemenangannya, yang mengejutkan baik pendukung maupun penentang diskriminasi.

Carter lalu melangkah lebih jauh dengan menjadi calon presiden menggandeng Walter Mondale, Senator dari Minnesota, sebagai kandidat wakil presiden. Mereka berhasil mengalahkan inkumben Gerald Ford dari Partai Republik dalam pemilihan presiden 1977 yang terbilang cukup runcing.

Mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter (kiri), dan istrinya, Rosalynn (kedua dari kiri), menyaksikan seorang pemilih memasukkan kertas suaranya kedalam kotak suara dalam pemilihan umum tahun 1999 di Jakarta Selatan, 7 Juni 1999. REUTERS

Pada hari pelantikan presiden, Kamis, 20 Januari 1977, Carter secara spontan memulai tradisi baru dengan berjalan kaki menuju Gedung Putih sebagai simbol pemimpin yang merakyat. Meskipun hanya selama satu periode atau empat tahun, kepresidenan Carter sangat padat akan sejarah.

Pada September 1978, misalnya, Carter meletakkan landasan untuk perdamaian Timur Tengah dengan membidani Perjanjian Camp David antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin—keduanya kemudian dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 1978. Pada tahun berikutnya, Sadat dan Begin meneken perjanjian damai Mesir-Israel yang masih berlaku hingga hari ini. Carter juga meletakkan dasar-dasar kebijakan efisiensi dan konservasi energi, program perumahan inklusif, penegakan hak asasi manusia, serta reformasi sistem kesehatan umum.

Carter gagal terpilih kembali sebagai presiden untuk periode kedua. Ia dikalahkan Ronald Reagan di tengah krisis penyanderaan 52 warga negara dan diplomat Amerika Serikat setelah kompleks Kedutaan Besar Amerika di Teheran diduduki pendukung Ayatullah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, pada 1979. Meskipun demikian, inspirasi Carter dalam kebijakan para penerusnya masih terasa hingga kini.

Banyak yang menilai warisan Carter, berbeda dengan pejabat pada umumnya, justru bermula setelah dia meninggalkan Gedung Putih. Bersama istrinya, Rosalynn, dia mendirikan The Carter Center, lembaga yang memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi serta meringankan penderitaan manusia di seluruh dunia, pada 1982.

Melalui lembaga itu, Carter dan Rosalynn aktif di lebih dari 80 negara membangun kelembagaan demokrasi, memantau pemilu, memediasi konflik, dan menggiatkan program kesehatan, seperti pemberantasan penyakit di Afrika. Atas jasa-jasanya, Carter dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2022.

Indonesia tidak asing bagi Carter. Dia sendiri yang datang ke kantor Komisi Pemilihan Umum untuk mendaftarkan The Carter Center sebagai pemantau Pemilu 1999, awal sejarah baru demokrasi Indonesia setelah reformasi. Saya bermuka-muka dengan Carter dalam sebuah perjamuan malam di Jakarta. Saat itu saya hadir mendampingi ayah saya, Harbrinderjit Singh Dillon, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Menurut catatan harian Carter, Juni 1999 adalah kesempatan pertama Indonesia untuk menggelar pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Stabilitas politik, kerukunan antarkelompok, dan pemulihan ekonomi pasca-krisis moneter 1998 akan ditentukan oleh berlangsungnya pemilihan umum legislatif dan presiden. Dari pantauannya, Carter yakin Indonesia telah bulat untuk maju meraih kebebasan sipil dan demokrasi sejati dalam kebinekaan.

The Carter Center juga memantau jajak pendapat di Timor Timur pada 4 September 1999 yang menentukan daerah itu tetap menjadi bagian dari Indonesia (integrasi) atau berdiri sendiri. Laporan lembaga itu membuat panas Jakarta. Mereka menyatakan Tentara Nasional Indonesia telah mendanai, mempersenjatai, dan memberikan instruksi atas segala sepak terjang milisi prointegrasi.

Kelompok milisi itu antara lain dibentuk oleh Prabowo Subianto, salah satu komandan Operasi Seroja. Tentara dan milisi prointegrasi dilaporkan memaksa puluhan ribu orang dengan ancaman dan kekerasan agar memilih integrasi.

Hasil jajak pendapat menunjukkan masyarakat Timor Timur memutuskan merdeka. Apakah keputusan itu berharga? “Berkali-kali muncul tanggapan yang sama dari orang Timor: ‘Mereka telah membunuh kami selama puluhan tahun, jadi ini bukan hal baru.... Namun sekarang kami bebas, dan pengorbanan itu sepadan.’ Kita harus menghargai keberanian itu,” tulis Carter dalam laporan tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Di Persemayaman Jimmy Carter

Harya Setyaka Dillon

Harya Setyaka Dillon

Merupakan Penerima Beasiswa Fulbright 2009, Doktor bidang Kebijakan Publik dari University of California, Irvine (2017)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus