Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan ReformasiDiKorupsi gagal membendung niat pemerintah merevisi UU KPK.
Gerakan ini menciptakan satu elan baru tentang posisi civil society.
SETAHUN lalu, 23 September 2019, muncul gerakan #ReformasiDikorupsi. Berumur pendek. Bahkan ada yang menganggapnya gerakan yang gagal karena tuntutan-tuntutannya tak mencapai final. Misalnya, tak berhasil menggagalkan niat pemerintah merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengamputasi pelbagai kewenangan sehingga lembaga yang menjadi harapan Reformasi ini tak lagi punya taji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi saya, #ReformasiDikorupsi memiliki signifikansi lebih besar dari sekadar tuntutannya yang gagal. Gerakan yang sekejap itu berhasil memprovokasi lahirnya generasi civil society baru di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk memahaminya, kita perlu menengok kondisi civil society satu dasawarsa terakhir. Pada 2012, Marcus Mietzner mengidentifikasi tanda-tanda stagnasi demokrasi di Indonesia. Ia menemukan secara umum orang Indonesia memiliki aspirasi yang kuat terhadap demokrasi. Indonesia, menurut dia, juga memiliki civil society yang tahan banting dan sanggup menahan arus kemerosotan demokrasi dari kemungkinan yang lebih parah.
Menurut Mietzner, stagnasi demokrasi lebih banyak disebabkan oleh elite antireformasi yang merusak bangunan-bangunan baru perpolitikan demokratis pasca-Orde Baru. Yang lebih buruk, civil society Indonesia nyaris bekerja sendiri dalam menopang bangunan demokrasi, sebagai akibat dari—dengan mengutip penelitian Ed Aspinall—perubahan kebijakan donor yang memindahkan program-program mereka dari civil society ke lembaga-lembaga pemerintahan.
Donor mengira demokrasi Indonesia sudah lolos dari lubang jarum dan berkolaborasi dengan pemerintah dianggap lebih efektif serta memiliki impak yang lebih besar yang mereka kehendaki (Mietzner, Democratization, April 2012). Kini, delapan tahun kemudian, ia menulis kembali sebuah artikel yang menyimpulkan demokrasi Indonesia memburuk dari stagnasi ke regresi.
Lebih dari itu, yang lebih penting, ia juga menemukan civil society di Indonesia mengalami penurunan kapasitas sebagai akibat dari polarisasi politik yang berasal dari pemilihan presiden 2014 dan 2019. Polarisasi dalam civil society dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para elite untuk kepentingan-kepentingan mereka. Akibatnya, kapasitas civil society dalam mempertahankan demokrasi melemah (Mietzner, Democratization, Juli 2020).
Yang sedikit kurang ditekankan oleh Mietzner adalah fakta bahwa kemenangan Joko Widodo dalam Pemilihan Umum 2014 merupakan kemenangan yang sedikit-banyak ditopang suatu kelompok generasi civil society di Indonesia. Pemilu 2014 boleh dibilang sebagai peristiwa dipanennya civil society masuk ke pemerintahan Joko Widodo. Ini ditandai dengan terlibatnya banyak mantan aktivis civil society dalam pemerintahan, baik sebagai pejabat publik maupun komisaris di perusahaan negara. Dengan itu, pelemahan terhadap civil society bukan sekadar akibat polarisasi, melainkan paradoks politik hasil akomodasi dan kooptasi.
Deteksi Mietzner selebihnya benar: korban terbesar Pemilu 2019 adalah civil society. Kerusakan dan tekanan terhadapnya terjadi pertama-tama sebagai akibat dari rusaknya percakapan publik yang didominasi politik partisan, pendengung, dan hoaks. Akibatnya, rasionalitas publik tenggelam dan agenda-agenda dasar demokrasi serta hak asasi luput dari pembicaraan.
Kerusakan kedua disebabkan oleh polarisasi dan partisanship yang mendorong kedua kubu calon presiden melakukan tekanan terhadap kelompok-kelompok civil society yang menyerukan abstensi (golput) dalam pemilihan presiden 2019. Yang paling mengherankan adalah tekanan dan cercaan terhadap abstensi dan pekerja hak asasi manusia justru banyak dilakukan oleh mereka yang berlatar belakang intelektual dan aktivis civil society sendiri.
Tekanan terhadap golput dan pekerja hak asasi ini mencerminkan beberapa gejala. Pertama, ilusi bahwa demokrasi dan hak asasi hanya bisa diselamatkan melalui pemilihan presiden. Ilusi karena mereka melupakan fakta historis mengenai kegagalan demi kegagalan janji hak asasi manusia dari pemilihan presiden sebelumnya. Mereka juga tidak pernah membayangkan demokrasi tumbuh tanpa civil society.
Kedua, ada kecongkakan etis seakan-akan politik yang “baik dan benar” hanya yang berada di seputar kekuasaan negara. Ketiga, melupakan fakta bahwa demokrasi yang sehat justru hanya bisa dijamin dengan civil society yang kuat dan berani dalam berhadapan/berdampingan dengan negara. Dengan itu, pelemahan terhadap civil society bukan semata-mata datang dari perbedaan pilihan politik dalam pemilihan presiden, tapi juga disebabkan oleh ketakmampuan para mantan aktivis di kekuasaan untuk “menyediakan public sphere”, yang memungkinkan kritik dan sikap nonpartisan mengambil tempat sehingga suara civil society tetap kuat. Dalam Pemilu 2019, banyak mantan aktivis yang terlibat dalam satu kubu mampu mempertahankan kemadaniannya dan malah mereplikasi perilaku elite di atasnya.
Di titik inilah gerakan #ReformasiDikorupsi memenuhi tugas historisnya. Dilihat dari agenda dan tuntutannya, gerakan ini adalah pertemuan terencana antara dunia kampus dan civil society di pelbagai kota. Secara politik, gerakan ini melampaui polarisasi politik yang menjemukan warisan pemilihan presiden 2014 dan 2019.
Gerakan ini pada akhirnya menyudahi suatu generasi aktivis civil society lama. Ia memang hanya sebentar melintas, tapi telah membuka pertanyaan dan pilihan eksistensial baru kepada pelbagai komponen civil society di Indonesia: “Kamu ada di mana?”
Dari segi ini, #ReformasiDikorupsi sebenarnya juga menawarkan semacam rekonsiliasi baru di kalangan civil society yang dulu masuk ke polarisasi untuk pulang kembali ke rumah lama mereka. Dengan kata lain, secara politik ia barangkali tidak menghasilkan perubahan apa pun dalam matriks kekuasaan, tapi secara sosial mengkreasi sejenis seleksi etis: siapa dan mana yang masih ada di dalam demarkasi society, dan siapa yang terus berada di pangkuan kekuasaan.
Ada banyak konsep dan teori tentang siapa itu civil society. Dalam konteks Indonesia, ia memang berkembang pada 1980-an akhir hingga 1990-an. Setelah era Reformasi, ia nyaris sudah tidak dianggap penting lagi. Pada masanya, ia memang muncul sebagai bekal epistemis yang mendampingi gerakan demokrasi dan hak asasi dalam melawan pemerintahan otoriter Orde Baru. Lepas dari kerumitan dan variasi teoretisnya, dari segi praktis pada dasarnya civil society lebih banyak dipahami sebagai semacam etika keterlibatan. Etika keterlibatan yang diturunkan dari politik berbasis demarkasi: di bawah kooptasi negara atau hidup otonom dan merdeka.
Di masa Orde Baru, civil society diidentifikasi berdasarkan etika keterlibatan itu: bersama rezim politik ataukah hidup independen dan merdeka. Dari demarkasi inilah ide dan tuntutan diajukan dan perubahan dimungkinkan. Tanpa distansi dengan kekuasaan, perubahan sulit diajukan.
Etika keterlibatan ini yang kemudian berubah dan bergeser setelah Reformasi. Reformasi menghancurkan semua demarkasi lama dan membentuk semacam ruang baru yang mempertemukan aktor-aktor civil society lama dengan aktor-aktor lama dalam format kekuasaan baru. Partai politik tumbuh dan para mantan aktivis masuk ke dalamnya. Lembaga negara baru, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman, dan banyak lembaga lain, diisi para aktivis. Dari sini, demarkasi dan model otonomi lama yang disediakan oleh etika era otoritarian telah sama sekali berubah.
Meski begitu, kemerosotan demokrasi yang parah dan kekecewaan besar terhadap pemerintahan Jokowi tampaknya mulai mendorong suatu pandangan dan sikap baru dari kalangan civil society yang saat ini tersisa terhadap negara. Di satu sisi, tekanan dan penderitaan yang mereka hadapi selama beberapa tahun belakangan barangkali menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka. Di sisi lain, hal itu tampaknya telah mendorong mereka mulai bertindak dengan mengambil sikap etis berdasarkan demarkasi lama: mengambil jarak dengan negara, membangun otonomi, dan menolak intervensi.
Sudah barang tentu mereka tetap akan menghadapi kesulitan sebagai akibat dari buruknya politik donor di Indonesia yang partisan dan cenderung terkooptasi oleh politik formal. Namun, dari pengalaman beberapa tahun terakhir, bahkan di masa pandemi Covid-19 ini, ketika ruang makin terbatas, mereka tetap mampu mengorganisasi diri, memobilisasi protes, dan mempertahankan sikap kritis.
Civil society Indonesia jatuh-bangun, tapi mereka selalu menjadi harapan terakhir yang terbukti tahan banting.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo