Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia, Uni Eropa, dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) meluncurkan Indeks Risiko Perpindahan Akibat Iklim atau Risk Index for Climate Displacement (RICD). RICD merupakan perangkat yang dirancang memberikan proyeksi operasional untuk mengantisipasi, mengurangi, dan merespons pengungsian akibat iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kepala Misi IOM Indonesia, Jeffrey Labovitz, mengatakan semua mitra yang terlibat dalam RICD menyumbangkan keahlian mereka untuk mengembangkan solusi komprehensif terhadap pengungsian yang disebabkan oleh iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Keterlibatan kolektif ini penting memperkuat kemampuan kita dalam mengantisipasi, mengurangi, dan menanggapi tantangan ini secara efektif, yang pada akhirnya dapat mengurangi dampak terhadap populasi yang rentan,” kata Jeffrey di Jakarta, Rabu, 16 Oktober 2024.
RICD turut disusun oleh berbagai lembaga pemangku kepentingan, diantaranya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Universitas Indonesia (UI), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). RICD memanfaatkan beragam keahlian untuk membangun model data komprehensif yang bertujuan meningkatkan kapasitas Indonesia dalam memprediksi, mengurangi, dan menanggapi risiko pengungsian yang disebabkan perubahan iklim.
Pada 2023, di Asia dan Pasifik terdapat 12,6 juta pengungsian internal yang disebabkan bencana, yang mewakili 41 persen dari total pengungsian internal secara global. IOM menyebut pada tahun 2050 akan ada 48,4 juta orang di Asia Timur dan Pasifik yang mengungsi karena bahaya yang terjadi secara perlahan, yang sebagian besar terkait dengan perubahan lingkungan.
Dalam kondisi seperti itu, IOM menyebut RICD akan mendukung pembuatan kebijakan yang terinformasi dan akan memandu respons operasional untuk meningkatkan ketahanan serta melindungi masyarakat yang rentan. Berkenaan dengan itu, Komisioner Eropa untuk Manajemen Krisis, Janez Lenari, menyatakan Uni Eropa mendukung RICD, yang berhasil mempertemukan berbagai mitra untuk mengatasi meningkatnya ancaman perpindahan penduduk akibat perubahan iklim.
"Dengan memanfaatkan keahlian kolektif, proyek ini akan memperkuat kemampuan kita untuk memprediksi dan mengurangi risiko perpindahan penduduk, memastikan bahwa masyarakat di Indonesia lebih siap dan terlindungi dalam menghadapi perubahan iklim,” ujar Janez dalam kesempatan yang sama.
RICD beroperasi pada dua tingkat untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang dinamika perpindahan pengungsian. Perangkat itu dapat meneliti faktor-faktor pendorong perpindahan, termasuk faktor-faktor mendasar seperti kondisi ekonomi, politik, budaya, dan demografi yang menciptakan kondisi untuk migrasi terkait iklim. RICD juga berfokus pada pemicu migrasi yang memaksa orang meninggalkan rumah mereka, seperti hilangnya mata pencaharian, kerawanan pangan atau air, atau hilangnya lahan yang layak huni.
Tak hanya itu, indeks tersebut juga mengidentifikasi titik kritis yang merupakan ambang batas kritis di mana dampak kumulatif perubahan iklim menjadi cukup parah sehingga secara signifikan meningkatkan kemungkinan perpindahan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi BNPB Abdul Muhari menilai RICD memiliki peran penting bagi Indonesia karena sejalan dengan prioritas nasional dalam kesiapsiagaan bencana, pengurangan risiko, dan ketahanan iklim.
"RICD akan memberikan data dan wawasan yang dibutuhkan untuk mengantisipasi dan menanggapi pengungsian akibat iklim dengan lebih baik, memperkuat kesiapsiagaan kita, dan melindungi masyarakat yang rentan," tuturnya.
Dalam beberapa bulan ke depan, seluruh mitra proyek akan bekerja sama mengembangkan model data, dimulai dengan analisis makro tingkat nasional tentang risiko pengungsi. Upaya kolaboratif ini akan beralih ke penilaian tingkat mikro di lokasi-lokasi utama, yang memberikan wawasan terarah untuk formulasi kebijakan dan respons operasional di seluruh wilayah Indonesia.