Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menyerahkan dokumen untuk mengatur kapal selam nuklir ke PBB. Dokumen yang bernama 'Indonesian Paper' diklaim sebagai alternatif saat meningkatnya program kapal selam bertenaga nuklir di tengah ketegangan AUKUS dan Cina di Indo-Pasifik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Tri Tharyat, dalam keterangan pers Minggu, 31 Juli 2022, menyampaikan, ada 3 tujuan dari dokumen tersebut. Pertama, untuk mengisi kekosongan aturan hukum internasional terkait kapal selam bertenaga nuklir.
Kedua, membangun kesadaran atas potensi risikonya. Ketiga, menyelamatkan nyawa manusia dan kemanusiaan.
Kantor Kementerian Luar Negeri RI di Jln. Pejambon, Jakarta. Sumber: Suci Sekar/Tempo
'Indonesian Paper' disampaikan dalam 10th Review Conference of the Parties to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT RevCon) di New York, pada 1 Agustus - 26 Agustus 2022. Dokumen itu diajukan dalam bentuk kertas kerja (working paper) berjudul “Nuclear Naval Propulsion".
NPT RevCon adalah Konferensi untuk mengkaji implementasi perjanjian pembatasan kepemilikan senjata nuklir yang digelar setiap lima tahun sekali sejak 1975.
Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangannya menyatakan, posisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menambah tingkat kerentanan atas potensi risiko meningkatnya program kapal selam bertenaga nuklir. Oleh karenanya, dokumen ini diproyeksikan sebagai upaya untuk memperkuat sistem dan semangat multilateralisme yang saat ini terus tergerus.
Indonesia, beberapa waktu lalu sempat khawatir terhadap pakta keamanan trilateral AUKUS, yang disepakati Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Salah satu kerja sama itu memungkinkan Australia membuat kapal selam nuklir untuk memperkuat angkatan lautnya.
AUKUS dinilai merupakan respons untuk mengimbangi pengaruh Cina di Indo-Pasifik. Beijing belum lama ini juga dilaporkan sedang membangun kapal selam nuklir.
Direktur Jenderal Asia-Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, Abdul Kadir Jailani dalam acara diskusi 'AUKUS: Responses from Southeast Asia' Think-tank FPCI di Jakarta, pada 1 Oktober 2021, pernah menyebut ada alasan-alasan logis bagi Indonesia untuk was-was karena tindakan yang diambil Australia akan mengubah situasi geopolitik di kawasan, ini akan menjadi faktor yang mendestabilisasi.
“Karena tak ada yang namanya akuisisi kapal selam tenaga nuklir yang tanpa kemungkinan munculnya perlombaan senjata nuklir,” ujarnya.
Sedangkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pengajuan 'Indonesian Paper' ini berkaitan dengan AUKUS. Sebab Australia berencana membuat kapal selam militer bertenaga nuklir. Dalam polemik Indo-Pasifik dengan Cina dan AUKUS sendiri, dia menganggap posisi Indonesia bebas aktif karena semua negara adalah sahabat, sampai kepentingan nasional Indonesia terganggu.
"Kerja sama AUKUS ini mengganggu kepentingan nasional kita karena akan membangun kapal selam militer bertenaga nuklir," ujar Hikmahanto saat dihubungi Tempo.
Menjawab pertanyaan Tempo pada 1 Agustus 2022 apakah latar belakang pengajuan 'Indonesian Paper' ini merupakan sebuah respons terhadap AUKUS, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI Achsanul Habib, membantahnya. Menurutnya, inti perhatian Pemerintah Indonesia adalah isu saving lives. Pasalnya, ada potensi bahaya yang dapat menimpa negara-negara yang dilalui saat proses pengangkutan dan perawatan material Nuclear Naval Propulsion yang belum ada safeguardnya atau perlindungan dalam rezim NPT.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.