Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Roy Soemirat, pada Selasa, 8 Oktober 2024, memastikan Kementerian Luar Negeri RI akan menerapkan prinsip non-refoulement terhadap pada pengungsi, termasuk etnis Rohingya. Artinya, Kementerian Luar Negeri RI tidak akan mengembalikan pengungsi, termasuk pengungsi Rohingya ke negara asal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prinsip non-refoulement adalah asas larangan suatu negara untuk menolak atau mengusir pengungsi ke negara asalnya atau ke wilayah di mana pengungsi itu akan berhadapan dengan ancaman ataupun bahaya karena alasan ras, agama, atau kebangsaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hal ini untuk mencegah berulangnya tindakan kepada pengungsi," ujar Roy kepada Tempo.
Roy menjelaskan pemulangan etnis Rohingya ke Myanmar akan dipengaruhi oleh kondisi politik negara asal mereka itu. Demokrasi dan stabilitas di Myanmar akan menjadi kunci penyelesaian masalah Rohingya agar mereka pulang ke Myanmar secara sukarela, aman dan bermartabat. Oleh sebab itu, Kementerian Luar Negeri RI secara konsisten mendorong penyelesaian krisis di Myanmar, khususnya lewat Five Point Consensus (5PC) ASEAN.
Adapun sejumlah poin utama 5PC itu meliputi seruan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, penunjukan utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar.
Lebih lanjut, Roy mengatakan Indonesia telah melakukan diplomasi, baik secara bilateral dengan negara pihak Konvensi Jenewa 1951 maupun secara multilateral di berbagai forum. Kementerian Luar Negeri RI mendorong pelaksanaan resettlement segera para pengungsi, termasuk pengungsi Rohingya, ke negara ketiga.
Roy menyebut Menteri Luar Negeri RI (Menlu) Retno Marsudi juga telah bertemu beberapa kali dengan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) untuk membahas isu ini. Retno mendesak agar negara pihak Konvensi mulai menerima resettlement sehingga beban tidak bergeser ke negara lain.
Kementerian Luar Negeri RI melalui berbagai jalur dan forum diplomatik, menekankan bukan negara pihak Konvensi Pengungsi 1951 & Protokol 1967. Namun atas dasar kemanusiaan, Indonesia menerima pengungsi, termasuk Pengungsi Rohingya, sebagai negara transit.
Dalam penanganan Pengungsi Rohingya, Roy menuturkan, Indonesia berkoordinasi dengan UNHCR untuk registrasi status pengungsi dan proses resettlement pengungsi ke negara ketiga yang menjadi negara pihak Konvensi Jenewa 1951. Selain itu, Roy menuturkan pemerintah Indonesia juga berkoordinasi dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi atau International Organization for Migration (IOM) untuk fasilitas penampungan dan persiapan resettlement.
Penanganan pengungsi di Indonesia diatur melalui Perpres 125/2016. Implementasi Perpres dilakukan melalui pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (PPLN) yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengkoordinasikan penanganan pengungsi di pusat dan daerah.
Pilihan editor: Pulau St. Martin di Tengah Krisis Sheikh Hasina dan Bangladesh
Serial liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung oleh International Media Support.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini