Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Myanmar dan Bangladesh akan memulai upaya baru untuk memulangkan ribuan penduduk etnis Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar. Rencananya, kelompok pertama akan dipulangkan ke Myanmar Minggu depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami telah menyetujui pemulangan 3.540 orang pada 22 Agustus," kata Myint Thu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Myanmar, Kamis, 15 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber di pemerintah Bangladesh mengatakan upaya itu adalah rencana pemulangan dalam bentuk skala kecil. Dalam langkah ini pun tidak ada pengungsi Rohingya yang akan dipaksa kembali.
"Bangladesh tidak menginginkan apa pun selain repatriasi yang aman, sukarela, bermartabat, dan berkelanjutan," kata pejabat itu yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena ia tidak berwenang berbicara kepada media.
Pengungsi Rohingya di Thailand.[The Nation]
Terkait rencana Myanmar dan Bangladesh itu, Mohammed Eleyas, aktivis asal Rohingya untuk Perdamaian dan HAM mengatakan para pengungsi belum diajak berkonsultasi tentang proses tersebut. Myanmar tetap harus menyetujui tuntutan utama para pengungsi sebelum repatriasi dimulai.
Lebih dari 730.000 orang melarikan diri dari negara bagian Rakhine, Myanmar ke Bangladesh setelah meletup tindakan keras yang diduga dipimpin militer pada Agustus 2017. PBB menyebut tindak kekerasan itu dilakukan dengan niat genosidal dan banyak pengungsi menolak untuk kembali karena takut akan terjadi kekerasan.
Sejumlah sumber mengatakan sebanyak 3.540 pengungsi telah masuk daftar untuk dikembalikan oleh Myanmar dari 22.000 nama yang belum lama ini dikirim oleh Bangladesh.
Upaya sebelumnya untuk membujuk Rohingya kembali ke Rakhine telah gagal karena ditentang oleh para pengungsi. Pada November 2018 lalu, rencana pemulangan para pengungsi etnis Rohingya ini telah menebarkan ketakutan dan kebingungan di kamp-kamp hingga akhirnya gagal dilakukan setelah diprotes oleh para pengungsi.
REUTERS MEIDYANA ADITAMA WINATA