Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 2024, Israel secara ilegal merampas 23,7 km persegi tanah Palestina di Tepi Barat yang diduduki, di tengah-tengah perang yang sedang berlangsung di Gaza.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Luasnya lebih besar daripada luas tanah yang diambil selama 20 tahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada 2 Juli, pihak berwenang Israel mengumumkan perampasan tunggal terbesar dalam lebih dari 30 tahun terakhir – 12,7 km persegi di Lembah Yordan.
Ini adalah yang terbaru dari serangkaian perampasan tanah yang diumumkan tahun ini oleh Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, yang mengawasi perencanaan pemukiman.
Israel telah merampas lebih dari 50 km persegi tanah Palestina sejak 1998, menurut Peace Now, sebuah lembaga pengawas anti-pemukiman Israel.
1917 - Palestina Sebelum Mandat Inggris
Ketika kekuasaan Ottoman di Levant berakhir, orang-orang Yahudi memiliki sekitar 3 persen tanah di Palestina.
Selama Perang Dunia I, Inggris membuat perjanjian untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok di Timur Tengah. Yang paling terkenal adalah Deklarasi Balfour 1917, yang menjanjikan "pendirian rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina".
Mandat ini memfasilitasi imigrasi Yahudi dari Eropa ke Palestina dari tahun 1910-an hingga 1940-an, sehingga populasi Yahudi di Palestina mencapai 33 persen pada 1947. Sementara itu luas wilayah Palestina pada masa lalu adalah 26.790 km persegi, kira-kira seluas Haiti (27.750 km persegi).
1948 – Nakba
Pada 14 Mei 1948, Mandat Inggris berakhir dan para pemimpin Zionis mengumumkan bahwa mereka akan mendeklarasikan sebuah negara, yang memicu perang Arab-Israel yang pertama.
Gerombolan Zionis mengusir sekitar 750.000 warga Palestina dan merebut 78 persen wilayah tersebut. Sisanya, 22 persen, dibagi-bagi ke Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Tepi Barat adalah wilayah berbentuk kacang merah di tepi barat Sungai Yordan. Luasnya 5.655 km persegi, sekitar 15 kali lebih besar dari Jalur Gaza seluas 365 km persegi, yang berbatasan dengan Mesir.
Pada 1950, Israel memberlakukan Hukum Properti Absentee, yang memungkinkannya untuk menyita properti Palestina yang pemiliknya dipaksa pergi pada 1948.
1967 – Naksa
Selama perang Juni 1967, Israel menduduki seluruh wilayah Palestina yang bersejarah - termasuk Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur - Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Sinai di Mesir.
Tak lama setelah perang, Israel mulai membangun pemukiman di wilayah yang didudukinya, melanggar Konvensi Jenewa Keempat yang melarang negara pendudukan untuk memindahkan penduduknya ke wilayah yang didudukinya.
Permukiman Israel adalah ilegal menurut hukum internasional dan sering disebut-sebut sebagai penghalang utama bagi kesepakatan perdamaian yang langgeng di bawah solusi dua negara.
Semenanjung Sinai dikembalikan ke Mesir pada 1982 sebagai bagian dari perjanjian damai tahun 1979, wilayah lainnya tetap berada di bawah kendali Israel.
1980 – Israel mencaplok Yerusalem Timur
Yerusalem Timur berada di sisi Palestina dari Garis Gencatan Senjata 1949 - atau Garis Hijau - batas yang diakui secara umum antara Israel dan Tepi Barat yang diduduki.
Yerusalem Timur memiliki luas sekitar 70 km persegi dan mencakup Kota Tua di mana terdapat beberapa situs tersuci dalam agama Kristen, Islam, dan Yahudi.
Situs-situs tersebut antara lain Kompleks Masjid Al Aqsa, Tembok Barat, Katedral St James dan Gereja Makam Kudus.
Pada 30 Juli 1980, Israel mengklaim Yerusalem Timur dalam Undang-undang Yerusalem, yang mengatakan "Yerusalem, yang utuh dan bersatu, adalah ibu kota Israel".
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 478 yang menyatakan bahwa Undang-undang Yerusalem "batal demi hukum" dan menyerukan kepada negara-negara anggota untuk menarik misi diplomatik mereka dari kota tersebut.
Di lapangan, undang-undang tersebut memiliki implikasi yang mendalam bagi warga Palestina, termasuk pengungsian lebih lanjut, kehilangan harta benda, dan pembatasan hak tinggal dan pergerakan.
Pada 14 Desember 1981, Israel secara sepihak mencaplok Dataran Tinggi Golan Suriah. Pencaplokan dan penaklukan wilayah adalah tindakan ilegal menurut hukum internasional.
1993-1995—Perjanjian Oslo
Perjanjian Oslo, perjanjian perdamaian Palestina-Israel pertama yang bersifat langsung, menghasilkan pembentukan Otoritas Palestina (PA), yang dimaksudkan untuk mengatur keamanan internal, administrasi, dan urusan sipil di daerah-daerah yang memiliki pemerintahan sendiri untuk periode sementara selama lima tahun.
Di bawah Oslo, Tepi Barat yang diduduki Israel dibagi menjadi tiga wilayah:
Area A: Awalnya 3 persen dari wilayah Tepi Barat yang diduduki yang kemudian berkembang menjadi 18 persen pada 1999. PA mengendalikan sebagian besar urusan di sini sementara Israel mengendalikan keamanan eksternal, yang berarti memiliki hak untuk masuk kapan saja.
Area B: Sekitar 22 persen dari Tepi Barat. Wilayah ini juga diatur oleh PA dengan Israel mengendalikan keamanan eksternal.
Area C: Terdiri dari 60 persen wilayah Tepi Barat. Di bawah Oslo, kendali atas wilayah ini seharusnya diserahkan kepada PA, namun Israel mengendalikan semua hal, termasuk keamanan, perencanaan, dan konstruksi.
2002 – Tembok Pemisah Israel
Pada 2002, Israel mulai membangun tembok yang mengular sepanjang lebih dari 700 km di Tepi Barat, membagi desa-desa, mengepung kota-kota dan memisahkan keluarga-keluarga satu sama lain.
Israel mengatakan bahwa tembok itu untuk keamanan tetapi tidak mengikuti Garis Hijau, 85 persen dari tembok tersebut dibangun di wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Pembatas setinggi dua lantai itu melintasi Yerusalem Timur yang diduduki, Area C, dan sebagian Area B, yang memakan lebih dari 500 km persegi Tepi Barat, demikian perhitungan B'Tselem, organisasi hak asasi manusia terkemuka di Israel.
2024 – Perampasan tanah lebih lanjut dan permukiman ilegal
Sekitar 700.000 pemukim tinggal di sekitar 300 permukiman dan pos-pos ilegal yang tersebar di Tepi Barat yang diduduki dan Yerusalem Timur.
Menteri Keuangan - dan juga seorang pemukim –Smotrich sangat marah dengan lima negara yang mengakui negara Palestina.
Sebagai pembalasan, ia berkata: "Untuk setiap negara yang secara sepihak mengakui negara Palestina, kami akan mendirikan pemukiman," dan menjanjikan satu juta pemukim baru di Tepi Barat yang diduduki untuk mencegah pembentukan negara Palestina.
Permukiman dan infrastrukturnya, termasuk jalan pintas yang hanya bisa dilalui oleh warga Israel, menempati sekitar 35 persen lahan di Yerusalem Timur dan sekitar 10 persen di Tepi Barat.
Pada Januari, setidaknya selusin anggota kabinet Israel, termasuk beberapa anggota partai Likud Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, berpartisipasi dalam sebuah konferensi yang menyerukan pembangunan kembali permukiman Israel di Gaza dan mendorong pemindahan warga Palestina yang tinggal di sana.
Bagi jutaan warga Palestina yang berada di bawah pendudukan, perluasan pemukiman dan perampasan tanah merupakan pengingat yang jelas akan berkurangnya prospek mereka untuk menentukan nasib sendiri.
AL JAZEERA