TIDAK hanya marah, Presiden Ferdinand Marcos juga bersumpah. "Pemerintah ini tidak akan bisa ditumbangkan baik dengan peluru maupun pemilu," katanya tandas di Manila. Ahad lalu. "Dan Filipina tidak akan jadi anjing peliharaan negara Barat mana pun." Marcos bicara di depan rapat pimpinan angkatan bersenjata Filipina (AFP), lima hari sesudah Komisi Agrava menyerahkan berkas laporan mereka. Menurut laporan Komisi Agrava, ada komplotan militer yang merencanakan dan menutup-nutupi pembunuhan bekas senator Benigno Aquino, dan panglima AFP Jenderal Fabian Ver bertanggung jawab untuk itu. Marcos tampak terpukul sekali oleh hasil Komisi itu, karena Ver adalah orang kepercayaannya, dan kini begitu saja dituduh secara sewenang-wenang. (Lihat: "Cuti"-nya Seorang Kerabat). Tak cuma Ver yang dituduh. Laporan yang disusun empat anggota Komisi -Luciano Salazar, Ernesto Hcrrera, Dante Santos, dan Amado Dizon - juga menyeret dua perwira tinggi lainnya, Mayor Jenderal Prospero Olivas, kepala Kepolisian Metro Manila, dan Brigadir Jenderal Luther Custodio, komandan Avsecom. Walaupun dalang pembunuhan Aquino sama sekali tidak disebut, publik tak urung terkejut melihat keberanian Komisi menuding Fabian Ver, orang kuat kedua di Filipina. Selama 19 tahun pemerintahan Marcos, hal seperti ini tidak pernah terbayangkan. Harapan akan ditegakkannya keadilan kembali bergema di hati mereka. Tapi Presiden tidak melihatnya dari sudut itu. "Kita semua di sini terperangkap dalam rasa sedih, karena orang-orang militer kita diajukan sebagai tersangka," ucapnya di depan para perwira. Memang ada 25 oknum militer, menurut berkas anggota Komisi yang dinyatakan terlibat pembunuhan Aquino. Sedangkan menurut ketua Komisi Corazon Agrava hanya tujuh orang. Sesudah mengecam laporan anggota Komisi, Marcos menyanjung tentara yang "secara mengagumkan telah menyerah, siap diadili untuk kejahatan yang secara aneh dibebankan ke atas pundak mereka". Pada Ahad siang hujan mengguyur Kota Manila, tapi suasana terasa pengap, seperti dilaporkan koresponden TEMPO, Seiichi Okawa. Ia bertemu Agapito "Butz" Aquino dalam pesta ulang tahun Corazon, janda tokoh oposisi itu di Quezon City, Manila. "Jenderal Ver hanya menerima perintah saja," kata Butz. "Kami tetap percaya, Presiden Marcos telah turun tangan untuk melaksanakan pembunuhan yang sebenarnya." Corazon Aquino menyatakan pendapat serupa dalam sebuah konperensi pers beberapa hari berselang. Janda ini beserta seluruh keluarga menolak memberi kesaksian pada Komisi, karena "keadilan tidak akan terwujud selama Marcos berkuasa". Di pihak lain, Marcos tak langsung membela tiga jenderal tersangka sesudah ia menggebrak marah ke alamat pemerintah Amerika Serikat. Sementara itu, ia berusaha keras mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemerintahannya. Selangkah lagi, bila tidak hati-hati, Marcos bisa terdorong dalam krisis kepemimpinan. Padahal, dalam satu tahun belakangan ia sudah terjerumus dalam krisis kepercayaan yang menguras urat saraf dan menuntut banyak konsesi. Pembentukan Komisi Agrava, misalnya, adalah konsesi yang terpaksa ditawarkan agar kecurigaan rakyat bisa diredakan. Memang pada akhir 1983 penunjukan Corazon Agrava sebagai ketua Komisi masih bisa dianggap aman. Pensiunan hakim ini, menurut laporan Okawa, adalah kenalan baiknya, dan dia pula yang memberi nama Irene untuk putri kedua Marcos. Tapi dalam mengusut kesaksian sekitar 200 orang sipil dan militer, Agrava terbukti sama galaknya dengan empat anggotanya yang pria. Sikapnya yang lugas dan penuh muslihat berhasil mengangkat reputasi Komisi, sekaligus menyebabkan khalayak memanggilnya "Rosie". Ia bisa saja membentak-bentak saksi militer atau menguras keterangan tanpa kasihan dari saksi sipil yang gugup ketakutan. Tatkala sampai pada soal apakah Jenderal Ver terlibat pembunuhan atau tidak, Corazon juga bersikap tegar bukan alang kepalang. Tentang ini ia dan empat anggota pria bersilang pendapat. Akibatnya, mereka menyusun laporan terpisah. Dari 121 halaman laporannya, sang ketua menghabiskan empat halaman untuk menjelaskan soal komplotan militer lima halaman untuk membersihkan sangkut paut Ver dengan pembunuhan Aquino. Wajar jika ada poster bertuliskan: "Agrava Loves Ver". Penyerahan laporan Komisi ke Istana Malacanang diliput jaringan televisi, dan dalam konperensi pers ia tampak berlinang air mata. Tanggung jawab pembunuhan dibebankan Agrava pada Custodio, Ver dinyatakan tidak terlibat dan "bukan dalang pembunuhan". Akibat laporan Agrava, Custodio berikut tujuh anggota militer dirumahkan. Bagaimana Komisi bisa yakin bahwa memang ada komplotan militer? Mereka punya rekaman video dan ratusan foto saksi mati yang mampu menjelaskan banyak hal. Selain itu, juga ada keterangan yang memperkuat, misalnya dari Ramon Balang. Teknisi Philippines Airlines ini kebetulan melihat bahwa Tertuduh Rolando Galman berdiri di depan pesawat China Airlines, hingga tidak mungkin menembak kepala Aquino dari bagian belakang. Ada pula dua petugas keamanan bandar udara, Efren Ranas dan Olivia Rcyes, yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Aquino ditembak ketika masih berada di tangga pesawat. Mungkin sekali bertolak dari keterangan seperti ini, Komisi melibatkan tujuh oknum militer yang mengawal Almarhum sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah Rogelio Moreno dan Filomeno Mendoza. Dalam pengusutannya, Komisi telah diimbau dan ditakut-takuti. Saksi Balang terpaksa bersembunyi, Saksi Celso Loterinia mencabut kesaksiannya. Mereka merasa terancam. Dua anggota Komisi, Dante Santos dan Luciano Salazar, segera bertolak ke Amerika Serikat sesudah lebih dulu tertahan di bandar udara Manila. Mereka dikenai tindakan balasan karena lancang menjerumuskan Ver. Kata Santos, "Perjalanan itu untuk libur saja." Anggota Komisi Ernest Herrera juga bersiap-siap angkat kaki dari Manila. Sebaliknya anggota Komisi yang tertua, Amando Dizon. Ia akan tetap sibuk seperti biasa. Sehari-hari Dizon adalah rektor Universitas Filipina. Adakah empat anggota Komisi itu laksana empat musketeer yang berjuang menegakkan keadilan? Tanpa menunjuk otak pembunuhan, dalam batas-batas tertentu mereka sudah berbuat maksimal. Setidaknya Komisi merintis jalan ke keadilan. Sebab, di Filipina tidak sedikit peristiwa kematian yang tinggal gelap untuk selama-lamanya. Contoh terbaru: Brigadir Jenderal Baltazar Aquirre, komandan inteligen Philippines Constabulary, yang bersama istri mati dalam kecelakaan mobil misterius, sebulan sesudah tewasnya Aquino. Aquirre membocorkan bagaimana Aquino waktu di Taiwan mendapat informasi bahwa ia akan dibunuh dan pembunuhnya juga akan dihabisi seketika. Sebelum tragedi Aquirre, ada percobaan pembunuhan terhadap Wapres Emmanuel Pelaez, serangan jantung yang menamatkan Jenderal Marcos Soliman, lalu pengeboman Plaza Miranda. Semuanya dibungkus tabir rahasia, tanpa ada Komisi yang bertugas menyingkapnya. Tradisi 4ekerasan agaknya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari percaturan politik Filipina. Rakyat tampak jenuh, tapi kekerasan yang lebih berlumuran darah agaknya masih akan menyusul. Sekarang saja 66 jenderal terang-terangan menyatakan kesetiaan penuh pada Ver dan yakin 100% panglima itu bebas dari segala tuduhan. Pernyataan para jenderal yang cukup menantang ini dimuat sebagai iklan satu halaman pada surat kabar terbesar, Bulletin Today. Tapi 17 jenderal lainnya - kini ada 83 perwira tinggi aktif dalam dinas militer Filipina dengan perincian: satu jenderal: Fabian Ver satu letjen: Fidel Ramos delapan mayjen termasuk Olivas, 73 brigjen tidak ikut menandatangani pernyataan. Termasuk Letjen Fidel Ramos, pengganti Ver. Sebelum Agrava menyerahkan laporannya, Gabungan Lulusan Akademi Militer Filipina, yang dijuluki kelompok profesional dalam AFP (Lihat: Kalau Tentara ke Luar Barak), mengajukan resolusi agar 3.300 anggotanya berdiri di belakang Komisi. Ditegaskan, militer pada dasarnya tunduk pada supremasi sipil, yang pada gilirannya berarti mereka tunduk pada Marcos, apa pun tindakannya terhadap Ver. Ada kesan bahwa resolusi bermaksud membatasi plot pembunuhan hanya pada sekelompok kecil militer. Upaya membersih-bersihkan seperti ini bisa dimaklumi, karena di mata umum integritas AFP hampir tidak tertolong lagi. Kekhawatiran yang sama telah mendorong 33 jenderal pensiunan mengimbau Komisi Agrava supaya membongkar komplotan pembunuhan Aquino secara tuntas. Mereka khawatir martabat tentara, yang belakangan ini merosot, justru porak-peranda karena ulah Komisi Agrava. Memperbaiki citra dan martabat bukanlah perkara gampang. Untuk ini semua orang berpaling kepada Fidel Ramos yang terkenal sebagai tokoh militer paling bersih. Ia tidak karismatis, tapi cemerlang. Ramos tahu pula menempatkan diri sebaik-baiknya di sisi Ver dan di bawah Marcos. Sebagai penganut Protestan, di tengah mayoritas Katolik, ia memang tidak bisa berbuat lain. Tanggap akan situasi, Ramos menyerukan pada seluruh jajaran AFP agar meningkatkan disiplin, berusaha memenangkan kepercayaan rakyat, dan hormat pada hukum yang berlaku. Ada selentingan bahwa Washington telah "menekan" Presiden Marcos agar mengangkat Ramos sebagai pengganti Ver. Ini mungkin ada benarnya, karena Amerika Serikat berkepentingan Filipina aman. AS tidak mau ada risiko yang bisa merugikar pangkalan mereka di sana angkatan laut di Subic dari ankatan udara di Clark. Di samping itu, Marcos kabarnya sempat diperingatkan. Bila ternyata ia tidak mengacuhkan laporan anggota Komisi, ia akan menerima reaksi bermusuhan dari Amerika Serikat. Tak heran bila Marcos marah. Bagaimanapun, Washington, sejak tahun lalu, terus mengawasi perkembangan situasi politik Filipina dengan perasaan harapharap cemas. Para pengambil keputusan di sana dihantui kegagalan pendahulu mereka di Iran dan Nikaragua. Karena itu, Filipina akan dihadapi secara lain. Ini terlihat dari pembatalan kunjungan Presiden Ronald Reagan ke Filipina, akhir tahun lalu. Juga dari cara Washington mengambil jarak terhadap Manila. Mana kala, pekan silam, Reagan keseleo lidah, bicara tentang "tidak ada pilihan lain di Filipina, kalau tidak Marcos, komunis", pejabat Deplu John Hughes segera menjelaskan maksud Reagan sebenarnya. Washington, katanya, bagaimanapun akan mendukung perjuangan demokrasi di Filipina, tanpa mesti mengorbankan negeri itu ke tangan komunis. Sementara itu, lewat perundingan berbelit-belit pertengahan Oktober silam, IMF (Dana Moneter Internasional) akhirnya menerima rencana penyehatan ekonomi Filipina, dan segera akan menyetu1ui pinjaman US$ 650 sebagai utang baru. Sesudah itu barulah Filipina dapat menjadwal kembali utangnya dengan bank-bank swasta sebesar US$ 25,6 milyar. Marcos memutuskan pula peso mata uan Filipina, akan dibiarkan mengambang, jangkauan pajak diluaskan, pembebasan pajak beberapa perusahaan dihentikan. Seminggu kemudian, kabar itu disambut pemogokan sopir jeepney, kendaraan khas Filipina, seantero Metro Manila. Angkutan umum itu mogok sebagai protes terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak. Protes menjalar ke Cebu, di kawasan tengah, dan Davao, di selatan. Marcos juga masih harus menghadapi ratusan ribu penganggur yang terkena rasionahsasi. Sementara kesulitan ekonomi belum segcra teratasi, pekan lalu, 6.000 orang turun ke jalan dan menuding Marcos sebagai dalang pembunuhan. Di AS, surat kabar The New York Times dalam tajuknya menulis bahwa dilibatkannya Ver dalam pembunuhan Aquino langsung menunjuk bahwa ada yang tidak beres di Istana Presiden. Tanpa nama Marcos disebut Komisi, surat kabar itu percaya bahwa ada tangan-tangan misterius yang ikut berperan. Bukankah Imelda, istrinya, pernah mengingatkan Marcos di Boston tentang pengikut setia yang berada di luar kontrol mereka? Bahkan Marcos, lewat Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrille, mengetuk kawat pada Aquino supaya kepulangannya ditunda sebulan. Ada plot menantinya di tanah air, pesan Presiden. Aquino pulang juga, dan apa yang kemudian terjadi telah mengguncangkan sendi-sendi pemerintahan Marcos. Kecurigaan rakyat, misalnya, telah memojokkan Imelda sedemikian rupa hingga "kupukupu besi" ini terpaksa melupakan ambisinya menggantikan Marcos. Sedangkan Marcos, yang masih harus berhadapan dengan banyak krisis, tidaklah mungkin berdiam diri. Seperti dijanjikannya, laporan Komisi Agrava akan diproses Tanodbayan, sebuah lembaga ombudsman di Filipina. Keputusan Tanodbayan mengenai apakah saksi mesti diadili atau tidak, kabarnya, tidak bisa diubah presiden sekalipun. Jika diputuskan tersangka mesti dituntut, pada tahap selanjutnya mereka diadili oleh Sandigabayan. Diketuai Manuel Pamaran, yang dulu dikenal sebagai hakim algojo, lembaga ini menyediakan tiga hakim yang bisa ditambah dua hakim lagi bila kesepakatan tidak tercapai. Tapi masyarakat agak pesimistis kedua lembaga ini memperlihatkan reputasi. Seperti diungkapkan Butz Aquino kepada Okawa, sebegitu jauh lembaga itu cuma berhasil menjaring tokoh-tokoh teri. Kini jadi pertanyaan, apakah Ver bisa lolos. Kalau tidak, apakah tidak mungkin dalam keadaan yang sangat terpojok ia membocorkan segala rahasia? Bukankah ia pemimpin dinas inteligen nasional yang tahu apa saja? Jika krisis sulit teratasi, Butz menawarkan masa transisi damai hingga pemilihan presiden 1987 sebagai jalan keluar. Untuk masa itu, Butz mencalonkan tokoh tua Lorenzo Tanada, 86, sebagai presiden. Ia tidak bicara tentang kemungkinan Marcos secara sukarela "turun tahta", karena itu berarti penghinaan, kekalahan, dan kegagalan - tiga hal yang, menurut ahli ilmu politik Belinda A. Aquino, sama sekali tidak ada dalam kamus politik Marcos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini