RUMAH berdinding gedeg, berukuran 6 x 8 meter itu terletak dalam gang sempit yang berbelok-belok, di Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. Beralas ubin semen dan tanpa langit-langit, rumah itu agaknya tengah diperbarui, karena tampak tembok batu bata yang sedang dibangun. Ada halaman depan seluas 3 x 1,5 meter yang penuh pot tanaman hias. "Bang Eddy memang menjual tanaman hias," kata pemuda di rumah itu. Bang Eddy yang dimaksud adalah Eddy Ramli, yang dituduh meledakkan kantor cabang BCA di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, 4 Oktober lalu. Eddy, 42, pria asli Jakarta yang berhidung agak mancung, tinggi 156 dan berat 48 kg, hingga kini masih buron. Istri Eddy Ramli, Ningsiyah, yang biasa dipanggil Iyah, tampak tak begitu peduli akan nasib suaminya. "Laki saya itu pendidikannya cuma kelas 5 SD. Kerjanya tukang sablon dan sesekali memperbaiki listrik. Saya nggak percaya kalau ia terlibat peledakan. Tapi memang saya tak peduli. Soalnya, dia memang jarang pulang ke rumah," kata Ivah, 36, di ruang tamu rumahnya, sekitar sepekan setelah peledakan. Ruang tamu seluas 2 x 2 meter itu hanya terisi kursi yang diiapis beludru cokelat. Di dinding ada foto Bung Karno besar yang dibingkai dan dilapis kaca. Di kaca itu tertempel sriker GPK warna hijau, dan gambar Khomeini yang robek sebagian. "Yang merobek petugas yang datang ke sini mencari Bang Eddy," ujar Amin, adik Eddy. Menurut Iyah, Tasrif, Rachmat Basoeki, Chairul, Yunus, serta beberapa orang lagi memang sering datang ke rumah suaminya. "Tapi saya nggak peduli dengan apa yang mereka omongkan," kata Iyah. Dengan Eddy, katanya, ia belakangan sering ribut karena Eddy merencanakan kawin lagi di samping Iyah, Eddy pernah memikahi tiga perempuan laim, yang semuanya telah diceraikannya. Seingat Iyah, sebelum ia berangkat ke tempat kerjanya di sebuah perusahaan konveksi, pada Kamis 4 Oktober ia melihat dua buah tas plastik warna biru dan sebuah bungkusan kardus diletakkan di atas kursi di ruang tamu. "Saya tidak tahu isinya. Saya kira, ya, kaus sablon saja, wong memang Pak Tasrif dan suami saya itu biasa mendapat order sablon," katanya. Hari Kamis itulah ia terakhir melihat suaminya. "Nasib suami saya? Ya, saya pasrah saja. Semoga dia selamat, wong dia itu 'kan suami saya," kata Iyah lugu. Ditemui di rumahnya di Cikini dua pekan lalu, Ny. Ida, istri Rachmat Basoeki yang kurus itu, tampak sedih. Ia tidak percaya bahwa suammya terlibat perkara peledakan 4 Oktober itu. "Suami saya baru tahu ada peledakan itu setelah ditelepon seorang temannya Kamis siang itu," katanya dengan yakin. Menurut Ida, pekerjaan suaminya adalah menerima order untuk mengetik skrlpsi. Bekas pegawai BNI 1946 ini juga sering menjadi perantara dalam jual beli tanah. Walau terletak dalam gang sempit, rumah Rachmat cukup besar dan memiliki telepon. Ny. Ida mengakui, Rachmat Basoeki sering dikunjungi para temannya, misalnya Eddy Ramli dan Tasrif. "Mereka memang suka mengobrol keras di sini," katanya. "Keras" yang dimaksudnya ialah kata-kata seperti "umat Islam dalam keadaan resah dan terpojok", "pemerintah tidak adil", dan "dominasi Cina dalam ekonomi Indonesia". Seorang tertuduh pelaku peledakan lainnya, Yunus, 28, tak punya kerja tetap. Pemuda kelahiran Palembang itu bekerja serabutan, antara lain mencari order percetakan. "Pekerjaan apa saja saya mau, habis penghasilan saya sebulan cuma sekitar Rp 50 ribu," ceritanya. Ia mengaku bersedia meledakkan pertokoan Glodok karena alasan pribadi. Ia menyatakan "dendam sama Cina". Alasan: dikccewakan seorang keturunan Cina dalam urusan sewa-menyewa kamar. Ia kini terpaksa tidur di masjid Nurul Amal karena tak punya pondokan. Pakaiannya, ya, dititipkannya saja di sana-sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini