Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Tanggal 8 Desember 35 tahun silam, kelompok Jihad Islam Palestina menyerang Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Aksi perlawanan ini disebut Intifadah Pertama. Tujuannya menggulingkan pendudukan Israel atas wilayah itu dan mendirikan negara Palestina merdeka. Intifadah pertama berakhir pada September 1993 dengan penandatanganan Kesepakatan Oslo.
Apa Pemicu Pecahnya Perlawanan Palestina?
Ada banyak penyebab rakyat Palestina “memberontak” terhadap Israel. Dikutip dari Britannica, penyebabnya yaitu pengambilalihan tanah dan pembangunan pemukiman yang intensif oleh Israel, meningkatnya tekanan Israel akibat protes Palestina setelah invasi Israel ke Lebanon pada 1982, munculnya kader baru aktivis lokal Palestina yang menantang kepemimpinan Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO, dan munculnya kamp perdamaian yang kuat di pihak Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan adanya motivasi, sarana, dan peluang yang dirasakan, hanya diperlukan pencetus untuk memulai perlawanan. Pemicu akhirnya terjadi pada awal Desember tahun 1987. Sebuah kendaraan Israel menabrak dua mobil van yang membawa pekerja Palestina. Insiden itu menewaskan empat dari mereka. Peristiwa ini dianggap oleh orang Palestina sebagai tindakan balas dendam. Karena beberapa hari sebelumnya, satu orang Israel tewas tertusuk di Gaza.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar kerusuhan Palestina terjadi selama tahun pertama. Warga Palestina melakukan aksi perlawanan dengan melempar batu dan bom Molotov ke sasaran Israel. Serangan menjadi lebih intens menggunakan senapan, granat tangan, dan bahan peledak. Serangan yang lebih intens ini disebabkan kerasnya pembalasan militer dan polisi Israel. Menurut kelompok HAM Israel B’Tselem, hampir 2.000 kematian akibat kekerasan terjadi selama Intifadah pertama. Banyak korban jiwa berjatuhan di pihak Palestina.
Baca : Kemnaker dan Palestina Jajaki Kerja Sama Sektor Ketenagakerjaan
Pada 1988, PLO menerima persyaratan Amerika Serikat untuk membuka dialog AS-Palestina. Dialog itu tentang penolakan terorisme, pengakuan hak Israel untuk hidup, dan penerimaan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Dengan Intifadah yang terbukti merugikan Israel secara politik dan ekonomi, pemerintah baru Israel yang terpilih pada 1992 diberi mandat untuk bernegosiasi demi perdamaian.
Kemudian, pada tahun berikutnya PLO dan Israel melakukan pembicaraan rahasia di bawah naungan pemerintah Norwegia. Pembicaraan itu menghasilkan Kesepakatan Oslo, serangkaian perjanjian yang ditandatangani pada 1993-1995. Perjanjian tersebut menegaskan kembali komitmen PLO pada 1988 tentang hak Israel. Sementara Israel harus mengakui PLO sebagai perwakilan sah rakyat Palestina, serta setuju untuk menarik diri secara bertahap dari wilayah Tepi Barat dan Gaza. Isi perjanjian juga berkaitan dengan Israel mengizinkan pembentukan Otoritas Palestina untuk mengatur wilayah tersebut.
Namun setelah terbitnya Kesepakatan Oslo, muncul organisasi baru bernama Hamas. Organisasi ini memiliki pandangan berlawanan dengan PLO. Hamas menolak Kesepakatan Oslo. Dalam upaya menghentikan pembicaraan damai, mereka memulai serangkaian serangan bunuh diri terhadap sasaran-sasaran Israel. Sementara itu, Israel juga tak menepati kesepakatan. Mereka terus membangun pemukiman di wilayah pendudukan. Palestina juga melanggar kesepakatan dengan mengimpor senjata dan membangun pasukan keamanan mereka.
Akibatnya, pembicaraan damai macet pada tahun 2000. Tak lama kemudian, calon perdana menteri Likud, Ariel Sharon, mengunjungi Temple Mount di Yerusalem. Dia menegaskan penegasan kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aq, situs tersuci ketiga Islam. Klaim itu menyebabkan kerusuhan pecah lagi. Polisi Israel menanggapi dengan kekuatan mematikan. Kerusuhan pun dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah pendudukan. Setelah Intifadah berakhir pada 1993, Intifadah kedua pun dimulai.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga : Israel Bunuh Dua Milisi Palestina di Tepi Barat
kuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.